1. Ijtihad Merupakan Langkah Penting dalam upaya mendapatkan kepastian hukum dari dalail yang bersifat ijtihad, coba jelaskan:
· Dalil Al-Qur’an
Artinya
: Hai
orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nissa; 59)
Kebolehan ijtihad juga
didasarkan pada firman Allah surat Al-Hasyir ayat 2: “…Maka
ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai
wawasan.”
Melalui ayat ini Allah Memerintahkan orang-orang yang mempunyai pandangan untuk mengambil i'tibar (pelajaran) atas mala petaka yang menimpa kaum yahudi disebabkan tingkah laku mereka yang tidak baik sebagaimana dikemukakan
pada awal ayat ini. Maksud
dari ayat tersebut ialah: Maka jika
kamu berselisih paham tentang sesuatu
perkara, maka kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul….
· Dalil Hadits
Dalil yang menceritakan
tentang muaz bin jabal yang diutus nabi menjadi hakim di yaman. Dalam hadits
ini terjadi dialog antara nabi dengan muaz, nabi saw bertanya kepada muaz, “bagaimana engkau memutuskan hukum ?”menjawab
pertanyaan ini ia menjawab secara berurutan, “yaitu Al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah, kemudian dengan melakukan
ijtihad” . nabi kemudian membenarkan jawaban muaz ini dengan mengatakan: “segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufiq atas diri utusan nabi Allah dengan apa yang di ridhai Allah dan Nabi-NYA.
“ (HR. Abu Daud).
b.
Langkah
langkah apa yang harus dilakukan dalam berijtihad ialah:
Apabila
suatu kasus ditanyakan kepada seorang mujtahid, hendaklah ia mengkaji hukumnya
pada nash-nash Al-Kitab, jika tidak menemukannya di sana, hendaklah mencarinya
pada nash hadits mutawatir, jika tidak ditemukan juga, ia harus mencarinya
dalam nash Hadits Ahad, jika disitu juga tidak ada, ia belum boleh melakukan
qiyas, tetapi mesti mencarinya pada petunjuk zahir Al-Quran, jika menemukan
petunjuk zahir, ia harus pula meneliti terlebih dahulu apakah ada qiyas atau
Hadits yang mentakhsiskannya, apabila tidak dalil yang mentakhsis barulah ia
menetapkan hukum berdasarkan petunjuk zahir tersebut.
Jika sama sekali tidak menemukan hukum dari dua
sumber itu, ia mesti meneliti fatwa-fatwa dari berbagai mazhab. Jika ternyata
masalahnya telah mendapatkan ijma’, maka harus mengikuti ijma’ tersebut. Jika
tidak ada ijma’ ia harus melakukan qiyas. Dalam menerapkan qiyas mesti memperhatikan
kaedah-kaedah umum (kulliyah) yang harus didahulukan atas kaedah khusus
(juz’iyah) seperti pembunuhan dengan benda berat, maka diutamakan prinsip
pencegahan terjadinya pembunuhan. Kemudian jika tidak menemukan kaedah umum
maka ia perlu meneliti nash-nash dan ijma’ yang ada. Jika kasus yang
dihadapinya itu termasuk dalam cakupan nash atau ijma’, ia harus memberlakukan
hukum tersebut dan jika hal ini tidak ditemukan, barulah ia beralih kepada
qiyas mukhil (yang ‘illahnya sesuai dengan hukum).
Jika hal ini tidak dapat dilakukan karena tidak
ditemukan ‘illah yang sesuai, ia harus beralih kepada qiyas Al-Syabah dan
jangan berpijak kepada metode thardi (yang ‘illahnya tak diketahui segi
kesesuaiannya dengan hukum). Jika tidak ditemukan juga dari semua sumber di
atas, ia harus berpijak pada istishhab ashl. Ketika terjadi pertentangan di
antara dalil-dalil, jalan pertama yang harus ditempuh adalah mengkompromikannya
dengan metode yang dapat diterima dikalangan ulama. Para ulama telah sepakat bahwa melakukan ijtihad itu
hukumnya adalah wajib. Wajib
bagi siapa ? Tentu, wajib bagi para Faqih
atau Mujtahid yaitu mereka yang
memiliki kapasitas dan otoritas dalam melakukan ijtihâd tersebut. Oleh karena itu, bagi mereka yang memiliki
otoritas, seperti faqih dan mujtahid, wajib melakukan ijtihâd dan bagi orang awam tidak
wajib melakukan ijtihâd.
Adapun yang berhak melakukan ijtihad yakni orang yang
mampu memenuhi syarat dan kriteria seorang mujtahid yaitu:
·
Syarat umum : Telah baligh/berakal dan
ia harus beriman secara sempurna
·
Syarat khusus : mengetahui bahasa arab,
mempunyai pengetahuan yang baik tentang al-Qur’an, memahami hadits Nabi,
mempunyai pengetahuan yang luas tentang ijma’ para ulama begitu pula dengan
qiyas, mempunyai pengetahuan tentang maksud syar’i dalam menetapkan hukum dan
terakhir mujtahid harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ushul fiqh.
c.
Sesuai Hadits Nabi Muhammad Saw
dalam Shahihain yang diriwayatkan oleh Imam bukhari dan Imam Muslim ‘’Jika seorang hakim memutuskan hukum dengan
berijtihad dan kemudian benar maka dia mendapat dua pahala, dan jika memutuskan
hukum dengan berijtihad dan kemudian salah maka ia mendapat satu pahala”
melalui hadits ini cukup untuk membuka pintu ijtihad dan hadits ini sangat
menekankan pentingnya ijtihad apalagi disaat sekarang yang banyak bermunculan
permasalahan baru yang belum ada hukumnya. Ijtihad tidak akan pernah terhenti
karena ia merupakan kebutuhan umat islam sepanjang masa, sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan zaman. Sekiranya ijtihâd tidak
ada, maka umat Islam akan menemukan problem dan mengalami kemunduran.
d.
Mujtahid fi at-Tarjih, karena kegiatan kita
bukan mengistinbatkan hukum tapi kita masih dalam taraf membandingkan berbagai
madzab atau pendapat dan kita dapat mentarjih atau memilih pendapat terkuat
dari pendapat-pendapat yang sudah ada dengan memakai metode tarjih yang telah
dirumuskan oleh ulama-ulama mujtahid sebelumnya. Dalam tingkatan ini kita sanggup
mengemukakan di mana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana keunggulannya.
2.
a. Ijma’ adalah kekuatan yang sangat besar dalam
perkembangan syari’ah.
Tidak
saja sebagai sumber yang indEpenden, tetapi juga berkaitan dengan otoritas teks
dan interpretasi terhadap Al-Qur’an dan sunnah itu sendiri, pada tingkat
tertentu, rekaman awal Al-Qur’an dan seleksi sunnah telah menjadi otoritas dan
terangkum melalui ijma’.
Zaman sekarang banyak muncul Negara,
yang banyak maupun sedikit penduduknya adalah muslim. Meskipun Negara tersebut
sekalipun penduduk islamnya sedikit pemerintah masih membuat peraturan atau
Undang-undang untuk umat islam. Jika persepakatan mujtahid dalam pemerintahan Negara
tersebut dikatakan ijma’ maka ada
kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai
sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal. keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau
para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat
dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59
surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul
halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang
atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat
mereka.Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam.
Jika agama Islam membolehkan seorang
yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa
orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan
permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan.
Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi
nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang. Kontroversi mengenai
boleh tidaknya berIjma’ masih berlanjut dimasa sekarangkarena tidak adanya
perangkat metodologi yang menghantarkan umat (baik ulama maupun umat islam pada
umumnya) pada ijma dalam berbagai permasalahan. Dengan
adanya sarana-sarana modern untuk organisasi, transportasi, komunikasi dan
sebagainya, tentu permasalahan ijma’ di masa sekarang tidak menjadi masalah.
b. Dalam surat Al Baqarah ayat 2 disebutkan:
Artinya
: “Dan sekali-kali mereka tidak akan
mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah
diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), dan Allah Maha Mengetahui siapa
orang-orang yang aniaya.”
Kemudian dari Hadits Nabi dari
Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh
berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan
(pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.233)
Melihat dua dalil di atas sesuatu yang membawa kemandharatan
adalah haram. Akan tetapi yang menjadi
persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat
pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam
meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan
kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa
pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya. Seandainya semua sepakat,
bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil,
maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh.
Demikian
pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka
akan sepakat pula dengan hukum haram. Melihat kasus seperti itu dikembalikan
kepada individunya msing-masing, jika rokok itu membawa membawa kemandharatan
maka hukunya haram dan jika rokok itu tidak membawa kemandaratan maka hukumnya
boleh dapat dinyatakan bahwa rokok bukanlah benda yang memabukan dan jika rokok
membawa kemandaratan yang relatif kecil maka hukumnya makruh.
3. Metode Istinbat Ormas (NU, Muhammadiyah dan MUI):
a.
Metode istinbath NU dibedakan menjadi 2
bagian :
·
Ketentuan umum
Dalam
ketentuan ini dijelaskan mengenai al-kutub
almu’tabarat (kitab standar) kemudian mengenai cara-cara bermazhab atau
mengikuti aliran hukum fiqh dan keyakinan (akidah) tertentu.
·
System pengambilan keputusan hukum,
dengan melalui beberapa prosedur yaitu :
o Apabila
telah terjawab dalam kitab standar, kemudian dalam kitab-kitab tersebut hanya
satu qawl atau wajah, maka qawl itu dapat digunakan sebagai keputusan.
o Apabila
telah terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standar tetapi terdapat beberapa qawl, maka yang dilakukan adalah taqrir jama’I untuk menentukan pilihan salah satu wajah atau
qawl.
o Apabila
tidak ada jawabannya sama sekali dalam kitab standar,langkah yang dilakukan
adalah ilhaqul masaili binadzoriha. Ilhaq
dilakukan oleh ulama secara kolektif serta dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilayh, wajh al-ihlaq.
o Apabila
tidak terdapat jawabannya dalam kitab standard an tidak memungkinkan melakukan
ilhaq, maka langkah yang ditempuh adalah istinbath secara kolektif dengan
prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.
b.
Metode istinbath Muhammadiyah
Menelusuri
metode istinbath Muhammadiyah, tidak bisa terlepas dari peran Majlis Tarjih
(MT) dan Pengembangan Pemikiran Islam (PPI), MT-PPI membedakan 3 istilah teknis
dalam ijtihad, yaitu :
·
Metode ijtihad :
o Bayani
(semantik), dengan pendekatan kebahasaan
o Ta’lili
(rasional), dengan pendekatan berfikir (logis)
o Istishlahi
(filosofis), dengan pendekatan kemaslahatan
·
Pendekatan dalam berijtihad, yaitu:
o Sejarah
(tarikhiyyat)
o Sosiologi
o Antropologi
o Hermenetik
· Teknik
ijtihad, yaitu:
o Ijma’
o Qiyas
o Mashlih
mursalat
o Al-,urf
c. Metode istinbath MUI melalui 3 tahapan yaitu :
·
Dasar-dasar penetapan fatwa
Bahwa
setiap fatwa didasarkan pada adiillat yang paling kuat dan membawa
kemashlahatan bagi umat yang berdasarkan Al-Qur’an, Hadit, ijma’,
qiyas dan dalil hukum yang lain.
·
Prosedur penetapan fatwa yaitu:
o Setiap
masalah yang diajukan MUI dibahas dalam rapat komisi
o Dihadirkan
ahli yang berkaitan
o Ulama
melakukan kajian terhadap pendapat para imam mazhab dan fuqaha dengan berbagai
cara istidlal-nya dan kemaslahatan
bagi umatnya.
o Jika
fuqaha memiliki ragam pendapat, komisi melakukan pemilihan pendapat melalui
tarjih dan memilih salah satu pendapat yang difatwakan.
o
Jika
terjih tidak mendapatkan produk hukum, komisi melaksanakan ilhaaqul masaili binadzoriha.
o jika
ilhaq tidak menghasilkan produk yang
memuaskan, komisi dapat melakukanijtihad jama’I dengan menggunakan al-qawa’id al-ushuliyyat dan al-qawa’id al-fiqhiyyat.
·
Kewenangan MUI berfatwa tentang
o Masalah
keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara
nasional
o Masalah
keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas kedaerah lain.
Contoh :
1.
Beberapa waktu lalu Majellis Tarjih dan
Tajdid Muhammadiyah mengeluarkan fatwa Haram bagi rokok. Tapi sebaliknya,
Nahdlatul Ulama malah memfatwakan mubah rokok. MUI lebih condong untuk
memfatwakan rokok Haram bersyarat. "Artinya merokok tidak mutlak haram
ataupun tidak mutlak mubah.
2.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan
suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang
berdasarkan kaidah-kaidah agama.Namun, para ulama melarang penggunaan teknologi
bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan di rahim perempuan lain.
"Itu hukumnya haram," papar MUI dalam fatwanya. Apa pasal? Para ulama
menegaskan, di kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam
kaitannya dengan warisan. Para ulama MUI dalam fatwanya juga memutuskan, bayi
tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram. "Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik
dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan," tulis
fatwa itu. Lalu bagaimana dengan proses bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak
berasal dari pasangan suami-istri yang sah? MUI dalam fatwanya secara tegas
menyatakan hal tersebut hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan
hubungan kelamin antarlawan jenis di luar penikahan yang sah alias
zina.Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam
forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan
yang ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung: Pertama, apabila mani
yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani
suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.Hal itu didasarkan pada
sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda,
"Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di
dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya."Kedua, apabila sperma yang
ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak
muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram adalah mani yang
keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara'," papar
ulama NU dalam fatwa itu.Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para
ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. "Seandainya
seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan
istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau
wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang." Ketiga, apabila mani
yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram,
serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi
mubah (boleh).Meski tak secara khusus membahas bayi tabung, Majelis Tarjih dan
Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait boleh tidak nya
menitipkan sperma suami-istri di rahim istri kedua. Dalam fatwanya, Majelis
Tarjih dan Tajdid mengung kapkan, berdasarkan ijitihad jama'i yang dilakukan
para ahli fikih dari berbagai pelosok dunia Islam, termasuk dari Indonesia yang
diwakili Mu hammadiyah, hukum inseminasi buat an seperti itu termasuk yang
dilarang."Hal itu disebut dalam ketetapan yang keempat dari sidang periode
ke tiga dari Majmaul Fiqhil Islamy dengan judul Athfaalul Anaabib (Bayi
Tabung)," papar fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Rumusannya,
"cara kelima inseminasi itu dilakukan di luar kandungan antara dua biji
suami-istri, kemudian ditanamkan pada rahim istri yang lain (dari suami itu)
... hal itu dilarang menurut hukum Syara'." Sebagai ajaran yang sempurna,
Islam selalu mampu menjawab berbagai masalah yang terjadi di dunia modern saat
ini.
3. Ketua
Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan, Muhammadiyah tidak perlu
mengeluarkan fatwa mengenai mengenai haramnya infotaiment. Alasannya, fatwa
yang disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia dan ulama NU telah sejalan dengan
pendapat Muhammadiyah. Fatwa itu
sudah disetujui oleh semua ulama, termasuk ulama Muhammadiyah. Sebelumnya,
Nahdlatul Ulama memberikan fatwa haram kepada infotainment. Fatwa tersebut,
seperti kata Ketua Pengurus Besar NU Hasyim Muzadi, diputuskan berdasarkan
hasil Musyawarah Alim Ulama NU di Surabaya pada Juli 2006. PB NU menilai
pemberitaan yang mengobral masalah pribadi dan keluarga berdampak buruk bagi
masyarakat.
REFRENSI
Zahro, Dr ahmad. (2004). Tradisi
Intelektual NU. Yogyakarta: LKiS
Barut, Muhammad Jamal. (2002). Al-Ijtihad; al-nas, al-waqi’I,al-maslahah.
Alih bahasa oleh Ibnu Rusyid: Erlangga
An-Na’im, Abdullahi Ahmed. (1990). Dekonstruksi Syari’ah. Yogyakarta: LKiS
Syarifuddin, Amir. (2001). Ushul
Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu
4 Comments
tulisannya keren
ReplyDeleteakhi MasyaAllah
Sebelumnya saya mohon maaf, saya ada koreksi sedikit berkaitan dengan tulisan yang anda posting, itu Q.S. Al-Baqarah ayat 2 bukan seperti itu artinya, mohon agar kiranya bisa diperbaiki. Itu saja dari saya sekian dan terimakasih
ReplyDeleteshare ilmunya banyak bermanfaat, trims
ReplyDeleteSip deh
ReplyDelete