Pendidikan Indonesia Masih Diskriminasi Bagi Penyandang Disabilitas

Memperoleh pendidikan merupakan hak setiap warga negara, termasuk bagi penyandang disabilitas. Hal tersebut bahkan sudah tertuang dalam Undang-Undang (UU), di antaranya UU Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sayangnya, pada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014, hak para penyandang disabilitas untuk masuk ke perguruan tinggi sempat pupus. Pasalnya, pada sublaman Panduan Pendaftaran SNMPTN untuk siswa dipaparkan, pendaftar SNMPTN tidak boleh tunanetra, tidak tunarungu, tidak tunawicara, tidak tunadaksa, dan tidak buta warna keseluruhan maupun sebagian.

Persyaratan itu tercantum di antaranya dalam kolom pilihan program studi Biologi, Fisika dan Ilmu Keolahragaan. Persyaratan yang dikeluarkan Panitia Pelaksana SNMPTN 2014 dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Indonesia itu dinilai sebagai sebuah bentuk diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas.












Pembatasan tersebut kemudian dikecam berbagai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Gugatan pertama datang dari pihak korban penyandang disabilitas beserta keluarganya. Adapun salah satu pihak yang lantang melakukan penolakan terhadap persyaratan tersebut adalah Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).

FSGI menganggap, pemerintah tidak mampu mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan kaum difabel, serta dengan sengaja berlaku diskriminatif. Pemerintah dianggap melukai konsep diri dan harga diri para penyandang disabilitas sebagai anak manusia yang tidak beruntung dan berpotensi menyalahkan nasib, serta takdir yang mereka miliki karena peraturan diskriminatif tersebut. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang saat itu dijabat oleh Mohammad Nuh, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia, serta Panitia Pelaksana SNMPTN 2014 didesak untuk segera mencabut persyaratan yang menghalangi difabel menjadi peserta SNMPTN 2014, dan mengumumkannya di media massa.

Tak sampai di situ, puluhan orang dari 10 Organisasi Penyandang Disabilitas menyambangi kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) guna menyerahkan surat somasi kepada Mendikbud. Isi somasi meliputi tuntutan agar Mendikbud menyampaikan permohonan maaf kepada penyandang disabilitas Indonesia.

Selain itu, tuntutan lainnya adalah mengganti para rektor perguruan tinggi yang memperlakukan dan membuat kebijakan diskriminasi bagi penyandang disabilitas.
Sedangkan menanggapi penolakan tersebut, Mohammad Nuh ketika itu menjelaskan bahwa persyaratan yang diberlakukan bukan untuk membatasi penyandang difabel, namun untuk keselamatan mereka sendiri dan layanan yang akan diberikan pada saat nanti setelah lulus.

Sementara beberapa universitas melakukan pengkajian ulang terhadap persyaratan yang menimbulkan kontrovesi tersebut. Seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) yang akhirnya menghapuskan persyaratan tentang disabilitas. Termasuk Universitas Dipenogoro (Undip) yang saat itu mengklaim tidak membedakan calon mahasiswa, termasuk penyandang disabilitas. Sebab, Undip mengizinkan penderita tunadaksa mendaftar ke semua program studi yang tersedia.

Sumber: okezone

Post a Comment

0 Comments