Jika Paham Sejarah PGRI, Menteri Tidak Akan Keluarkan Surat Edaran

Masih dalam suasana polemik surat edaran Menpan dan Kemendikbud. Kini giliran Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Profesor HAR Tilaar yang membuka suaranya.

Ia merasa heran dengan kebijakan pemerintah untuk mengeluarkan surat edaran berisi imbauan agar guru tidak mengikuti perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-70 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Menurutnya, pemerintah seharusnya ikut diuntungkan dengan adanya acara-acara PGRI karena akan memperkuat solidaritas dan persatuan diantara para guru.

Tilaar mengungkapkan, PGRI yang berdiri tahun 1945, lahir dari semangat revolusi kemerdekaan. PGRI bertujuan mempersatukan guru-guru yang tercerai berai dan dikotak-kotakan akibat peperangan melawan penjajah.

"Kalau dia (menteri) tahu sejarah PGRI, surat itu tidak akan keluar," kata Tilaar, yang juga dewan pakar dan penasihat PGRI, usai menjadi pembicara dalam diskusi di kantor PGRI.


Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Yuddy Chrisnandi mengeluarkan surat edaran tanggal 7 Desember lalu perihal perayaan Hari Guru 2015. Di dalam suratnya, Yuddy mengimbau para guru menghindari semua aktivitas yang dapat mengurangi citra guru sebagai pendidik profesional, seperti ikut dalam perayaan guru dan peringatan HUT PGRI hari Minggu (13/12) nanti.

Surat edaran Menpan didukung oleh pernyataan Menteri Pendidikan Anies Baswedan dan surat edaran serupa yang ditandatangani Sekjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Didik Suhardi. Edaran sekjen itu memuat enam poin, salah satunya pemerintah meminta organisasi publik menjaga diri untuk tidak mengorganisir dan memanfaatkan guru-guru demi tujuan berbagai kepentingan politik.

Terkait hal itu, Tilaar mengatakan, PGRI bukan bertujuan politik praktis melainkan konsensi masyarakat untuk merdeka. Sebelum PGRI terbentuk, para guru tersebar ke mana-mana karena kekuatan kolonial.

Oleh karena itu, ujarnya, PGRI menjadi kapital atau modal sosial untuk mempersatukan guru.

"Ada banyak guru yang menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan. Misalnya Jenderal Sudirman dari Muhammadiyah. Inilah yang saya sebut kapital sosial. Mereka dengan kerelaan melakukan solidaritas sosial seperti saat ini untuk memperjuangkan kenapa gaji guru rendah," kata Tilaar.

Tilaar menambahkan organisasi profesi juga bagian dari pengembangan profesi, bukan perkumpulan untuk hura-hura. Di situ, para guru bisa saling berbagi pengalaman mengajar dan meningkatkan kapasitasnya.

"Kalau PGRI memperingati usianya ke-70 tahun, itu malah akan memperkuat kapital sosial," kata Tilaar yang terakhir menulis buku bahasa Inggris berjudul "Sowing The Seed of Freedom: Ki Hadjar Dewantara as Pioneer Critical Pedagogy."

Sumber; beritasatu

Post a Comment

0 Comments