BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan dalam islam
memperoleh tempat dan posisi yang sangat tinggi, karena melalui pendidikan
orang dapat memperoleh ilmu, dan dengan ilmu orang dapat mengenal Tuhannya,
mencapai ma’rifatullah, peribadatan sesorang juga akan hampa jika tidak
dibarengi dengan ilmu. Demikian juga tinggi rendahnya seseorang, disamping
iman, juga sangat ditentukan oleh
kualitas keilmuan (kearifan) seseorang.
Karena ilmu sangat menentukan, maka pendidikan
sebuah proses perolehan ilmu menjadi sangat penting.
Pendidikan islam dipahami
sebagai sebuah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai ajaran islam
terhadap peserta didik, melalui proses pengembangan fitrah agar memperoleh
keseimbangan hidup dalam semua aspeknya.[1]
Sebagai agama, islam
memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan komperensif dibandingkan dengan
agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang
paling sempurna, ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman.
Islam tidak hanya mengatur
cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri
kepada Allah saja. Melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup
di dunia dan di akhirat, termasuk didalam mengatur masalah pendidikan.
Sumber untuk mengatur
kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai
sumber ajaran, Al-Qur’an sebagai sumber ajaran sebagaimana telah dibuktikan
oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah
pendidikan dan pengajaran.
Demikian pula dengan hadis,
sebagai sumber ajaran islam, diakui memberikan perhatian yang amat besar
terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad Saw. telah mencanangkan program
pendidikan seumur hidup (long life
education). Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada
Al-Qur’an dan hadis sejak awal telah menancapkan revolusi dibidang pendidikan
dan pengajaran.
Sdemikian pentingnya
pendidikan sehingga harus dilkukan secara terus-menerus oleh manusia sampai
akhir hayatnya. Dan yang paling penting pendidikan dalam keluarga, karena dari
pendidikan keluarga jugalah yang paling berperan untuk mendidik seorang anak
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaiman
konsep islam tentang pendidikan dalam keluarga?
2.
Bagaiman
pola asuh orang tua kepada anak yang perlu dikembangkan dalam membentuk
Ahklakul karimah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsepsi Tentang Pendidikan Keluarga
Dalam islam, keluarga dengan istilah usrah, nasl, ‘ali, dan nasb. Keluarga dapat diperoleh melalui
keturunan perkawinan , persusuan dan pemerdekaan.[2]
Dalam pandangan antropologi, keluarga adalah suatu kesatuan sosial terkecil
yang dimiliki oleh manusia sebagai mahkluk sosial yang memiliki tempat tinggal
dan ditandai oleh kerja sama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi,
merawat, dan sebagainya, sedangkan inti keluarga adalah ayah, Ibu, dan bapak.[3]
Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan pertama dan
utama, dimana orang tua menjadi pendidiknya yang paling bertanggunag jawab
terhadap perkembangan anaknya terutama dalam pembentukan ahklakul karimah.kaidah
ini ditetapkan secara kodrati, karena mereka ditakdirkan menjadi orang tua anak
yang dilahirkan. Dan Al-Qur’an disinyalir adanya do’a anak kepada Tuhan untuk
kebahagiaan orang tuanya, yang didalamnya terbawa serta tinggi rendah tingkat
identitas dan kesungguhan usaha pendidikan oleh orang tua kepada anak.
Secara sederhana kewajiban orang tua hanyalah mengembangakan
apa yang secara primordial sudah ada pada anak, yaitu nature, kebaikannya sendiri sesuai dengan fitrahnya. Tetapi disisi
lain orang tua juga mempunyai peranan menentukan dan memikul beban tanggung
jawab utama jika sampai tarjadi anak menyimpang dari nature dan potensi
kebaikannya itu sehingga menjadi manusia ciri-ciri kualitas rendah. Sebuah
hadis yang terkenal mengaskan “ bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah (nature, kesucian), kemudian ibu bapaknya
yang mungkin membuat menyimpng dari fitrah itu.
Pada dasarnya, setiap orang tua juga menginginkan anaknya
menjadi orang yang berkembang secara sempurna, mereka menginginkan anak yang dilahirkan
itu kelak menajdi orang yang sehat, kuat, berketerampilan, cerdas, pandai, dan
beriman. Intinya bahwa tujuan pendidikan dalam rumah tangga adalah agar anak
mampu berkembang secara maksimal, meliputi seluruh aspek perkembangan jasmani,
akal dan rohani. Dari tiga perkembangan tersebut, Ahmad Tafsir menyatakan bahwa
kunci pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan kalbu (rohani) atau
pendidikan agama. Ini disebabkan karena pendidikan agama islam sangat besar pengaruhnya dalam membentuk
pandangan hidup seseorang. Pendidikan agama diarahkan pada dua arah, yaitu:
1.
penanaman nilai dalam arti pandangan
hidup, yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akalnya.
Jika digali ayat-ayat Al-Qur’an, maka kewajiban orang tua
kepada anak-anaknya antara lain:
1)
Mendo’akan anak-anaknya dengan do’a
yang baik (QS. 25: 74), dan tidak sekali-kali mengutuk anaknya dengan kutukan
yang tidak manusiawi;
2)
Memelihara anak dari api neraka (QS.
66: 6).
3)
Menyerukan shalat pada anaknya (QS. 20:
132).
4)
Menciptakan kedamaian dalam rumah
tamgga (QS. 4: 128).
5)
Mencintai dan mencintai anak-anaknya
9QS. 3: 140).
6)
Bersikap hati-hati kepada anak-anaknya
(QS. 64: 14).
7)
Memberi nafkah yang halal (QS. 2: 233).
8)
Mendidik anak agar berbakit kapada ibu
bapak (QS.4: 36).
Sementara itu, menurut An-Nahlawikewajiban orang tua dalam
pendidikan anak-anaknya, yaitu:
1)
Menegakkan hukum-hukum Allah Swt.[6]pada
anaknya (QS. 2: 229-230.
2)
Merealisasikan ketenteraman dan
kesejahteraan jiwa keluarga (QS. 7: 189, 30: 21).
3)
Melaksanakan perintah agama dan
perintah Rasulullah Saw (QS. 66: 6).
4)
Mewujudkan rasa cinta kepada
anak-anaknya melalui pendidikan.
Nurcholis Madjid menyatakan pentingnya pendidikan agama
dalam lingkungan keluarga.[7] Pendidikan agama disini
dimaksudkan bukan hanya dalam bentuk
ritus dan formalitas, tapi harus dilihat dari tujuan dan makna haqiqinya,
yaituupaya mendekatkan (taqarrub) kepada Allah dan membangun budi pekerti
yang baik sesama manusia (akhlak
al-karimah). Sebab itu perlu ditekankan pada pendidikan bukan pengajaran, pengajaran dapat dilimpahkan
pada lembaga pendidikanapi pendidikan , tetap menjadi tanggung jawab orang tua.
Adapun dasar-dasar pendidikan yang diberikan kepada anak
didik dai orang tuanya, menurut Ali Saifullah adalah:
a)
Dasar-dasar pendidikan budi pekerti,
memberi norma pandangan hidup tertentu walaupun masih dalam bentuk sederhana
kepada anak didik.
b)
Dasar pendidikan sosial, melatih anak
didik dalam tatacara bergaul yang baik terhadap lingkunagan sekitarnya.
c)
Dasar pendidikan intelek, anak
diajarkan kaidah pokok dalam percakapan, bertutur bahasa yang baik, kesenian
dan disajikan dalam bentuk permainan.
d)
Dasar pembentukan kebiasaan, pembinaan
keperibadian yang baik dan wajar, yaitu membiasakan kepada anak untuk hidup
yang teratur bersih, tertib, disiplin,
rajin, dan dilakukan secara berangsur-angsur tanpa unsur paksaan.
e)
Dasar pendidikan kewarganegaraan,
memberikan norma nasionalisme, dan patriotisme, cinta tanah air dan
keperimanusiaan yang tinggi.[8]
Melihat tugas dan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan
anaknya, maka harus dipahami bahwa lembaga-lembaga pendidikan baik formal
maupin non formal, harus dilihat sebagi kelanjutan rumah tangga,sedangkan para
pelaku pendidikan seperti guru-guru dan kaum pendidik adalah wakil-wakil oran
tua dan pelanjut peran orang tua menumbuhkan dan mengembangkan anak mereka.
A.
Pola Asuh dan Pembentukan Akhlakul
Karimah
Pola asuh adalah merupakan suatu cara
tebaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan
dari rasa tanggung jawab kepada anak dimana tanggung jawab untuk mendidika anak
merupakan tanggung jawab perimer.karena akan merupaka buah dari kasih sayang
yang diikat dalam tali perkawinan antara suami istri dalam suatu keluarga.
Keluarga adalah suatu elemen terkecil dalam masyarakat yang merupakan institusi
sosial terpenting dan meruapakan unit sosial yang utama melalui
individu-individu di siapkan nilai-nilai hidup dan kebudayaan yang utama.[9]
Demikian peran eluarga
menjadi penting untuk mendidik anak baik dari tinjauan agama, tinajauan sosial
kemasyarakatan maupun tinjauan individu.yang menjadi persoalan sekarang bukan
lagi pentingnya pendidikan keluarga, melainkan bagaimana pendidikan keluarga
dapat dapt berlangsung dengan baik sehingga mampu menumbuhkan perkembangan
keperibadian anak menjadi mansia dewasayang memilki sikap positif terhadap
agama, keperibadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta
intelektual yang berkembang secara optimal.cara mendidik seperti ini, dapat
dilihat dari tiga [ola asuh orang tuaterhadap anak yakni pola asuh yang
demokratis, otokratik, dan permisive
.
Menurut Khon, pola asuh
merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan ananknya, sikap ini dapat
dilihat dalam berbagai segi, antara lain dari cara orang tua memberikan
peraturan kepada anak, cara memberikan hukuman dan hadiah, cara orang tua
memberikan otoritas dan orang tua memberikan perhatian atau tanggapan terhadap
keinginan anak.[10] Dengan demikian yang
disebut dengan pola asuh orang tua adalah bagaimana cara mendidi orang tua
kepada anak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Cara mendidik secara
langsung artinya bentuk-bentuk asuhan orang tua yang berkaitan dengan
pembentukan keperibadian, kecerdasan, dan keterampilan yang dilakukan secara
sengaja baik berupa perintah, larangan, hukuman penciptaan situasi maupun
pemberian hadiah sebagai alat pendidikan. Dalam keadaan seperti ini yang
diharapkan muncul dari anak adalah efek instruksional yakni respons-respons
anak terhadap aktifitas pendidikan itu.
Pendidikan secara tidak
langsung adalah berupa contoh kehidupan sehari-hari, baik tutur kata sampai
kepada adat kebiasaan dan pola hidup, hubungan antar keluarga, masyarakat,
hubungan suami istri. Semua ini secara tidak sengaja telah membentuk situasi
dimana anak selalu bercermin terhadap kehidupan sehari-hari dari orang tuanya.
Hourlock mengemukakan ada
tiga jenis pola asuh asuh orng tua terhadap ananknya, yaitu:
a)
Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan
aturan-aturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti
dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi.
Anak jarang diajak berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua, orang
tua menganggap bahwa semua sikapnya sedah benar sehingga tidak perlu
dipertimbangkan dengan anak. Pola asuh yang bersifat otoriter juga ditandai
dengan penggunaan hukum yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman badan,
anak juga diatur segala keperluan dengan segala aturan yang ketat dan masih
diberlakukan meskipun sudah menginjak dewasa. Orang tua punya kewajiban untuk
menolong anaknya memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi tidak boleh
berlebih-lebihan dalam menolong sehingga anak tidak kehilangan kemampuan untuk
berdiri sendiri (mandiri).[11]
b)
Pola asuh demokratis
Pola asuh seprti ini ditandai dengan adanya pengakuan orang
tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu
tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak
untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan
dalam pembicaraan terutama yang menyangkut kehidupan anak itu sendiri.anak
diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi
sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri.anak dilibatkan
diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.
Namun tidak semua orang tua harus mentolelir terhadap anak,
dalam hal-hal tertentu orang tua orang tua perlu ikut campur tangan, misalnya:
v Dalam keadaan membahayakn
hidupnya atau kesehatan anak;
v Hal-ahal yang terlarang
bagi anak dan tidak tampak alasan-alasan yang lahir;
v Permaina yang
menyenangkan bagi anak, tetapi menyebabkan keruhnya suasana yang mengganggu
ketenangan umum.
Demikian pula kepada hal-hal yang sangat prinsif sifatnya
mengenai pilihan agama, pilihan nilai hidup yang bersifat universal dan
absolut, orangtua dapat memaksakan kehendaknya kepada anak, karena anak belum
memiliki wawasan yang luas dan cukup mengenai hal itu.karena itu tidak semua
materi pendidikan agama harus seluruhnya diajarkan secara demokratik kepada
anak. Jika dikembalikan dengan kisah lukman sebagaiman disebutkan dalam
Al-Qur’an, nampak bahwa pendidikan aqidah islamiyah tidak harus disajikan
secara demokratis, melainkan secara dogmatis.
c)
Pola asuh yang permisif.
Pola asuh yang ketiga ini, adalah pola asuh yang ditandai
dengan cara orangtua mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang
dewas/muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang
dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sanagt lemah, juga tidak
memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anak.semua apa yang dilkukan oleh
anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan teguran, arahan, dan bimbingan.
Cara mendidik yang demikian ternyata dapat diterapkan kepada
orang dewasa yang sudah matang pemikirannya, tetapi tidak sesuai jika
diterapkan kepada anak-anak remaja. Apabila diterpkan untuk pendidikan agama,
banyak hal yang harus disampaikan secara bijaksana.
Dalam menghadapi anak usia remaja, Sumadi Suryabrata
memberikan beberapa petunjuk, antara lain:
1)
Jangan berdiri didepan mereka, tetapi
berdirilah disamping mereka;
2)
Jangan menunjukkan otoritas, tetapi
tunjukkan simpati;
3)
Usahakan mendapatkan kepercayaan dari
mereka dan selanjutnya beri mereka bimbingan;
Keluarga merupakan bagian dari pranata sosial begitu juga
dengan pendidikan. Pengaruh keluargasangat mempengaruhi keperibadian anak,
sebab waktu terbanyak anak adalah keluarga, dan didalam keluarga itulah
diletakkan sendi-sendi dasar pendidikan.
Pendidikan keluarga yang dapat membentuk karakter anak didik
memiliki maksud sebagai berikut:
1)
Pendidikan dan anak;
2)
Pengaruh sekolah selama tahun-tahun
pertama;
3)
Pendidikan selama remaja;
Setiap siswa mempunyai latar belakang
sosial yang berbeda-beda, ada yang berasal dari lingkungan perkotaan, ada pula
yang berasal dari lingkungan pedesaan, yang sudah tentu dua lingkungan yang
berbeda ini memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap siswa terutama dalam
hal psikisnya, dan hal ini sudah tentu memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap prestasi belajar siswa. Dan lingkngan ekonomi pun diindikasikan
mempunyai pengaruh terhadap perkemabangan prestasi siswa, karena dengan adanya
kesenjangan ekonomi, memberikan peluang adanya perbedaan gaya hidupyang sudah
tentu hal ini dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap prestasi belajar
siswa. Dan sangat berpengaruh pada pendidikan keluarga.
Faktor internal yaitu keadaan
yang mempengaruhi keberhasilan siswa yamg berasal dari dalam, istilah ini
menunjukkan adanya pembawaan yang di miliki siswa, yang meliputi aspek
psikologis, seperti kesehatan pisik, kesehatan psikis,minat, bakat dan
sikapnya.
Kesehatan fisik jelas berpengaruh
sekali terhadap proses pembelajaran siswa, bagaimana mungkin seorang siswa
dapat berkonsentrasi dalam belajar apabila ia tidak merasa nyaman yang
disebabkan kondisi tubuhnya yang tidak sehat.
Kondisi kesehatan psikis pun
merupakan hal yang sangat penting sebagai kontrol kemampuan berfikir seseorang
secara sadar, bagaimana mungkin seorang siswa mampu berfikir dan mencerna
materiyang disampaikan apabila pola pikirnya tidak dapat berfungsi dengan baik.
Minat merupakan salah satu faktor
yang memberi motifasi untuk dapat belajar dengan baik, karena dengan adanya
minat ini seorang siswa akan melakukan proses pembelajaran dengan senang hati,
tanpa adanya keterpaksaan sehingga semua perhatiannya akan terfokus secara
menyeluruh terhadap materi pembelajaran.
Bakat berfungsi sebagai modal
pembelajaran, dengan adanya bakat seorang siswa akan jauh lebih mudah mencerna
bahan pembelajaran bahkan tanpa hadirnya seorang pendidik sekalipun.
Terakhir sikap, saat berlangsung
proses belajar mengajar, sikap berperan sebagai alat pengendalian diri,
misalnya dengan adanya sikap yang baik seseorang akan mempu menempatkan diri
dengan situasi yang dihadapinya. Sikap merupakan faktor internal yang
berpengeruh dalam kebiasaan belajar, namun perkembangan kebiasaan belajar tidak
terlepas dari faktor proses pendidikan baik langsung maupun tidak langsung.,
sikap merupakan kesiapan mental individu yang mempengaruhi, mewarnai, bahkan
menentukan kegiatan individu yang bersangkutan dalam memberikan respon dalam
obyek atau situasi yang memberi arti baginya (Rochman Nata Widjaya. 1987:40).
Seorang siswa yang memiliki sikap
positif pada materi pelajaran, dalam hal ini pelajaran akidah akhlak, maka ia
akan berupaya secara maksimal untuk membiasakan belajar dengan baik. Bahkan
sikap positif itu memungkinkan pula termanifestasi dalam bentuk pengalamannya.
Karena dalam pembelajaran akidah akhlak banyak materiyang berupaya agar siswa
memiliki pemahaman dan pengalaman yang baik, untuk menanamkan sikap positif
dalam mata pelajaran tersebut.
Dari uraian tersebut diatas, telah dijelaskan bahwa
pola asuh sebagai cara mendidik remaja yang baik adalah pola demokratis,
tetapi tetap mempertahankan prinsip-prinsip nilai yang universal dan absolut
terutama yang berkaitan dengan agam islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan islam dalam keluarga merupakan
bagian dari jalur pendidikan sekolah yang diselenggrakan dalam keluarga, dan
memberikan keyakina agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan. Sebab
itulah pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang utama dan pertama,
artinya bahwa pendidikan pertama kali dan memberikan arti terhadap perkembangan
akhlak anak ataupun prestasi anak adalah penaiaikan dala keluarga.mengingat
demikian penting dan strategisnya pendidikan dalam keluarga, maka orang tua
yang secara kodrati bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anaknya, harus
semaksimal mungkin mendidik anaknya menuju pertumbuhan dan perkembangan
fitrahnya. Kesalahan dalam pendidikan anknaknya tersebut akan berakibat fatal
yakni sianak dapat menyimpang dari fitrah (nature)
dan potensi kebaikannya berubah menjadi
manusia yang mempunyai kualitas rendah (Yahudi, Nasrani, Majusi, dan
seterusnya).
Demikian pentingnya peran orangtua,
tugas dan tanggung jawab orang tua, maka kemudian harus dipahami bahwa
lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun masyarakat, dan guru-guru tenaga pendidikan lainnya adalah
merupakan pelanjut peran orang tua dalam menumbuhkan dan mengembangkan anak
mereka.
Terdapat tiga pola asuh orang tua
terhadap anaknya, yaitu pola asuh demokratis, otoriter, dan permisif. Di antara
ketiga pola asuh tersebut yang dianggap sebagi cara mendidik yang baik adalah
pola asuh demokratis dengan cara mempertahankan prinsip-prinsip nilai yang
universal dan absolut terutama yang berkaitan dengan agama islam. Pola otoriter
layak dilakukan jika terkait dengan persoalan aqidah dan ibadah serta hal-hal
yang dianggap membahayakan bagi anak. Sementara pola permisif juga dapat
diterapkan pada anak usia dewasa.
Namun demikian, yang paling berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku anak ataupun perkembangan akhlak anak, adalah
tingkat pendidikan dan kesadaran orang tua dalam mendidik anaknya, karena sikap
dan perilaku anak sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dan kesadaran orang
tua dalam mendidik anaknya, bukan tingkat status sosial secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul El-Qussy, 1975. Pokok-Pokok Kesehatan Mental/Jiwa,
Jakarta: Bulan Bintang.
Ali, Saifullah, 1989. Pendidikan Pengajaran Kebudayaan, Surabaya:
Usaha Nasioanal.
Ahmad, Tafsir, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Idi, Abdullah , 2011. Sosiologi
Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhaimin, dkk. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung:
Trigenda Karya.
-------------------, 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung:
Trigenda Karya.
Mastuhu, 1994. Dinamika
Sistim Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS.
Nurcholis, Madjid, 1997. Masyarakat religius, Jakarta: Paramadina.
Rahman, Fazlur, 1996. Islam,
Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka.
-------------------, 1996. Islam, Terj. Ahsin Muhammad, Bandung:
Pustaka.
Tim Depag RI, 1988. Islam
Untuk Disiplin Ilmu Antropologi, Jakarta: P3AI-PTU.
[1] Muhaimin, Pemikiran
Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 136
[2] Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm. 36-37
[3] Mastuhu, Dinamika
Sistim Pendidikan Pesantren, ( Jakarta: INIS, 1994), hlm. 1.
[4] Tafsir Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1994), hlm. 157
[5] Tim Depag RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu Antropologi, ( Jakarta: P3AI-PTU, 1988),
hlm. 55-56
[6] Muhaimin, dkk. Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm.
292
[7] Madjid Nurcholis, Masyarakat Religius,
(Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 122-123
[8] Saifullah Ali, Pendidikan Pengajaran Kebudayaan, (Surabaya: Usaha Nasioanal,
1989), hlm. 111
[9] Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986),
[10] Khon, M.L .”Sosial Class and Perent Child
Relationship:an Interpretation”, dalam M. Chabib Thoha, Kapita Selekta
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1971). Hlm. 67.
[11] El-Qussy, Abdul Aziz, Pokok-Pokok Kesehatan Mental/Jiwa, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975),
hlm. 220
[12] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1984).
[13] H. Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 168.
0 Comments