Pendidikan Islam Dalam Keluarga



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan dalam islam memperoleh tempat dan posisi yang sangat tinggi, karena melalui pendidikan orang dapat memperoleh ilmu, dan dengan ilmu orang dapat mengenal Tuhannya, mencapai ma’rifatullah, peribadatan sesorang juga akan hampa jika tidak dibarengi dengan ilmu. Demikian juga tinggi rendahnya seseorang, disamping iman, juga sangat ditentukan oleh
kualitas keilmuan (kearifan) seseorang. Karena ilmu  sangat menentukan, maka pendidikan sebuah proses perolehan ilmu menjadi sangat penting.
Pendidikan islam dipahami sebagai sebuah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai ajaran islam terhadap peserta didik, melalui proses pengembangan fitrah agar memperoleh keseimbangan hidup dalam semua aspeknya.[1]
Sebagai agama, islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan komperensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna, ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman.
Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja. Melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, termasuk didalam mengatur masalah pendidikan.
Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai sumber ajaran, Al-Qur’an sebagai sumber ajaran sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.
Demikian pula dengan hadis, sebagai sumber ajaran islam, diakui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad Saw. telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education). Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada Al-Qur’an dan hadis sejak awal telah menancapkan revolusi dibidang pendidikan dan pengajaran.
Sdemikian pentingnya pendidikan sehingga harus dilkukan secara terus-menerus oleh manusia sampai akhir hayatnya. Dan yang paling penting pendidikan dalam keluarga, karena dari pendidikan keluarga jugalah yang paling berperan untuk mendidik  seorang anak 
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaiman konsep islam tentang pendidikan dalam keluarga?
2.      Bagaiman pola asuh orang tua kepada anak yang perlu dikembangkan dalam membentuk Ahklakul karimah?


BAB II
PEMBAHASAN

A.       Konsepsi Tentang Pendidikan Keluarga
Dalam islam, keluarga dengan istilah usrah, nasl, ‘ali, dan  nasb. Keluarga dapat diperoleh melalui keturunan perkawinan , persusuan dan pemerdekaan.[2] Dalam pandangan antropologi, keluarga adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai mahkluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerja sama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan sebagainya, sedangkan inti keluarga adalah ayah, Ibu, dan bapak.[3]  
Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama, dimana orang tua menjadi pendidiknya yang paling bertanggunag jawab terhadap perkembangan anaknya terutama dalam pembentukan ahklakul karimah.kaidah ini ditetapkan secara kodrati, karena mereka ditakdirkan menjadi orang tua anak yang dilahirkan. Dan Al-Qur’an disinyalir adanya do’a anak kepada Tuhan untuk kebahagiaan orang tuanya, yang didalamnya terbawa serta tinggi rendah tingkat identitas dan kesungguhan usaha pendidikan oleh orang tua kepada anak.
Secara sederhana kewajiban orang tua hanyalah mengembangakan apa yang secara primordial sudah ada pada anak, yaitu nature, kebaikannya sendiri sesuai dengan fitrahnya. Tetapi disisi lain orang tua juga mempunyai peranan menentukan dan memikul beban tanggung jawab utama jika sampai tarjadi anak menyimpang dari nature dan potensi kebaikannya itu sehingga menjadi manusia ciri-ciri kualitas rendah. Sebuah hadis yang terkenal mengaskan “ bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah (nature, kesucian), kemudian ibu bapaknya yang mungkin membuat menyimpng dari fitrah itu.
Pada dasarnya, setiap orang tua juga menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna, mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menajdi orang yang sehat, kuat, berketerampilan, cerdas, pandai, dan beriman. Intinya bahwa tujuan pendidikan dalam rumah tangga adalah agar anak mampu berkembang secara maksimal, meliputi seluruh aspek perkembangan jasmani, akal dan rohani. Dari tiga perkembangan tersebut, Ahmad Tafsir menyatakan bahwa kunci pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan kalbu (rohani) atau pendidikan agama. Ini disebabkan karena pendidikan agama islam  sangat besar pengaruhnya dalam membentuk pandangan hidup seseorang. Pendidikan agama diarahkan pada dua arah, yaitu:
1.      penanaman nilai dalam arti pandangan hidup, yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akalnya.
2.       Penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam mengahrgai guru dan pengetahuan di sekolah.[4]
Jika digali ayat-ayat Al-Qur’an, maka kewajiban orang tua kepada anak-anaknya antara lain:
1)      Mendo’akan anak-anaknya dengan do’a yang baik (QS. 25: 74), dan tidak sekali-kali mengutuk anaknya dengan kutukan yang tidak manusiawi;
2)      Memelihara anak dari api neraka (QS. 66: 6).
3)      Menyerukan shalat pada anaknya (QS. 20: 132).
4)      Menciptakan kedamaian dalam rumah tamgga (QS. 4: 128).
5)      Mencintai dan mencintai anak-anaknya 9QS. 3: 140).
6)      Bersikap hati-hati kepada anak-anaknya (QS. 64: 14).
7)      Memberi nafkah yang halal (QS. 2: 233).
8)      Mendidik anak agar berbakit kapada ibu bapak (QS.4: 36).
9)      Memberi air susu sampai dua tahun (QS. 2: 233).[5]
Sementara itu, menurut An-Nahlawikewajiban orang tua dalam pendidikan anak-anaknya, yaitu:
1)        Menegakkan hukum-hukum Allah Swt.[6]pada anaknya (QS. 2: 229-230.
2)        Merealisasikan ketenteraman dan kesejahteraan jiwa keluarga (QS. 7: 189, 30: 21).
3)        Melaksanakan perintah agama dan perintah Rasulullah  Saw (QS. 66: 6).
4)        Mewujudkan rasa cinta kepada anak-anaknya melalui pendidikan.
Nurcholis Madjid menyatakan pentingnya pendidikan agama dalam lingkungan keluarga.[7] Pendidikan agama disini dimaksudkan bukan hanya  dalam bentuk ritus dan formalitas, tapi harus dilihat dari tujuan dan makna haqiqinya, yaituupaya mendekatkan (taqarrub) kepada Allah dan membangun budi pekerti yang baik sesama manusia (akhlak al-karimah). Sebab itu perlu ditekankan pada pendidikan bukan pengajaran, pengajaran dapat dilimpahkan pada lembaga pendidikanapi pendidikan , tetap menjadi tanggung jawab orang tua.
Adapun dasar-dasar pendidikan yang diberikan kepada anak didik dai orang tuanya, menurut Ali Saifullah adalah:
a)         Dasar-dasar pendidikan budi pekerti, memberi norma pandangan hidup tertentu walaupun masih dalam bentuk sederhana kepada anak didik.
b)        Dasar pendidikan sosial, melatih anak didik dalam tatacara bergaul yang baik terhadap lingkunagan sekitarnya.
c)         Dasar pendidikan intelek, anak diajarkan kaidah pokok dalam percakapan, bertutur bahasa yang baik, kesenian dan disajikan dalam bentuk permainan.
d)        Dasar pembentukan kebiasaan, pembinaan keperibadian yang baik dan wajar, yaitu membiasakan kepada anak untuk hidup yang  teratur bersih, tertib, disiplin, rajin, dan dilakukan secara berangsur-angsur tanpa unsur paksaan.
e)         Dasar pendidikan kewarganegaraan, memberikan norma nasionalisme, dan patriotisme, cinta tanah air dan keperimanusiaan yang tinggi.[8]
Melihat tugas dan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anaknya, maka harus dipahami bahwa lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupin non formal, harus dilihat sebagi kelanjutan rumah tangga,sedangkan para pelaku pendidikan seperti guru-guru dan kaum pendidik adalah wakil-wakil oran tua dan pelanjut peran orang tua menumbuhkan dan mengembangkan anak mereka.
A.       Pola Asuh dan Pembentukan Akhlakul Karimah
Pola asuh adalah merupakan suatu cara tebaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak dimana tanggung jawab untuk mendidika anak merupakan tanggung jawab perimer.karena akan merupaka buah dari kasih sayang yang diikat dalam tali perkawinan antara suami istri dalam suatu keluarga. Keluarga adalah suatu elemen terkecil dalam masyarakat yang merupakan institusi sosial terpenting dan meruapakan unit sosial yang utama melalui individu-individu di siapkan nilai-nilai hidup dan kebudayaan yang utama.[9]
Demikian peran eluarga menjadi penting untuk mendidik anak baik dari tinjauan agama, tinajauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu.yang menjadi persoalan sekarang bukan lagi pentingnya pendidikan keluarga, melainkan bagaimana pendidikan keluarga dapat dapt berlangsung dengan baik sehingga mampu menumbuhkan perkembangan keperibadian anak menjadi mansia dewasayang memilki sikap positif terhadap agama, keperibadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal.cara mendidik seperti ini, dapat dilihat dari tiga [ola asuh orang tuaterhadap anak yakni pola asuh yang demokratis, otokratik, dan permisive
.
Menurut Khon, pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan ananknya, sikap ini dapat dilihat dalam berbagai segi, antara lain dari cara orang tua memberikan peraturan kepada anak, cara memberikan hukuman dan hadiah, cara orang tua memberikan otoritas dan orang tua memberikan perhatian atau tanggapan terhadap keinginan anak.[10] Dengan demikian yang disebut dengan pola asuh orang tua adalah bagaimana cara mendidi orang tua kepada anak baik secara langsung maupun tidak langsung.

Cara mendidik secara langsung artinya bentuk-bentuk asuhan orang tua yang berkaitan dengan pembentukan keperibadian, kecerdasan, dan keterampilan yang dilakukan secara sengaja baik berupa perintah, larangan, hukuman penciptaan situasi maupun pemberian hadiah sebagai alat pendidikan. Dalam keadaan seperti ini yang diharapkan muncul dari anak adalah efek instruksional yakni respons-respons anak terhadap aktifitas pendidikan itu.

Pendidikan secara tidak langsung adalah berupa contoh kehidupan sehari-hari, baik tutur kata sampai kepada adat kebiasaan dan pola hidup, hubungan antar keluarga, masyarakat, hubungan suami istri. Semua ini secara tidak sengaja telah membentuk situasi dimana anak selalu bercermin terhadap kehidupan sehari-hari dari orang tuanya.

Hourlock mengemukakan ada tiga jenis pola asuh asuh orng tua terhadap ananknya, yaitu:
a)      Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua menganggap bahwa semua sikapnya sedah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak. Pola asuh yang bersifat otoriter juga ditandai dengan penggunaan hukum yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga diatur segala keperluan dengan segala aturan yang ketat dan masih diberlakukan meskipun sudah menginjak dewasa. Orang tua punya kewajiban untuk menolong anaknya memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi tidak boleh berlebih-lebihan dalam menolong sehingga anak tidak kehilangan kemampuan untuk berdiri sendiri (mandiri).[11]
b)        Pola asuh demokratis
Pola asuh seprti ini ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut kehidupan anak itu sendiri.anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri.anak dilibatkan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.
Namun tidak semua orang tua harus mentolelir terhadap anak, dalam hal-hal tertentu orang tua orang tua perlu ikut campur  tangan, misalnya:
v  Dalam keadaan membahayakn hidupnya atau kesehatan anak;
v  Hal-ahal yang terlarang bagi anak dan tidak tampak alasan-alasan yang lahir;
v  Permaina yang menyenangkan bagi anak, tetapi menyebabkan keruhnya suasana yang mengganggu ketenangan umum.
Demikian pula kepada hal-hal yang sangat prinsif sifatnya mengenai pilihan agama, pilihan nilai hidup yang bersifat universal dan absolut, orangtua dapat memaksakan kehendaknya kepada anak, karena anak belum memiliki wawasan yang luas dan cukup mengenai hal itu.karena itu tidak semua materi pendidikan agama harus seluruhnya diajarkan secara demokratik kepada anak. Jika dikembalikan dengan kisah lukman sebagaiman disebutkan dalam Al-Qur’an, nampak bahwa pendidikan aqidah islamiyah tidak harus disajikan secara demokratis, melainkan secara dogmatis.
c)         Pola asuh yang permisif.
Pola asuh yang ketiga ini, adalah pola asuh yang ditandai dengan cara orangtua mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewas/muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sanagt lemah, juga tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anak.semua apa yang dilkukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan teguran, arahan, dan bimbingan.
Cara mendidik yang demikian ternyata dapat diterapkan kepada orang dewasa yang sudah matang pemikirannya, tetapi tidak sesuai jika diterapkan kepada anak-anak remaja. Apabila diterpkan untuk pendidikan agama, banyak hal yang harus disampaikan secara bijaksana.
Dalam menghadapi anak usia remaja, Sumadi Suryabrata memberikan beberapa petunjuk, antara lain:
1)        Jangan berdiri didepan mereka, tetapi berdirilah disamping mereka;
2)        Jangan menunjukkan otoritas, tetapi tunjukkan simpati;
3)        Usahakan mendapatkan kepercayaan dari mereka dan selanjutnya beri mereka bimbingan;
4)         Supaya menghadapi mereka dengan bijaksana.[12]
Keluarga merupakan bagian dari pranata sosial begitu juga dengan pendidikan. Pengaruh keluargasangat mempengaruhi keperibadian anak, sebab waktu terbanyak anak adalah keluarga, dan didalam keluarga itulah diletakkan sendi-sendi dasar pendidikan.
Pendidikan keluarga yang dapat membentuk karakter anak didik memiliki maksud sebagai berikut:
1)        Pendidikan dan anak;
2)        Pengaruh sekolah selama tahun-tahun pertama;
3)        Pendidikan selama remaja;
4)        Pengaruh sosialisasi atau pergaulan;[13]
Setiap siswa mempunyai latar belakang sosial yang berbeda-beda, ada yang berasal dari lingkungan perkotaan, ada pula yang berasal dari lingkungan pedesaan, yang sudah tentu dua lingkungan yang berbeda ini memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap siswa terutama dalam hal psikisnya, dan hal ini sudah tentu memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap prestasi belajar siswa. Dan lingkngan ekonomi pun diindikasikan mempunyai pengaruh terhadap perkemabangan prestasi siswa, karena dengan adanya kesenjangan ekonomi, memberikan peluang adanya perbedaan gaya hidupyang sudah tentu hal ini dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap prestasi belajar siswa. Dan sangat berpengaruh pada pendidikan keluarga.
Faktor internal yaitu keadaan yang mempengaruhi keberhasilan siswa yamg berasal dari dalam, istilah ini menunjukkan adanya pembawaan yang di miliki siswa, yang meliputi aspek psikologis, seperti kesehatan pisik, kesehatan psikis,minat, bakat dan sikapnya.
Kesehatan fisik jelas berpengaruh sekali terhadap proses pembelajaran siswa, bagaimana mungkin seorang siswa dapat berkonsentrasi dalam belajar apabila ia tidak merasa nyaman yang disebabkan kondisi tubuhnya yang tidak sehat.
Kondisi kesehatan psikis pun merupakan hal yang sangat penting sebagai kontrol kemampuan berfikir seseorang secara sadar, bagaimana mungkin seorang siswa mampu berfikir dan mencerna materiyang disampaikan apabila pola pikirnya tidak dapat berfungsi dengan baik.
Minat merupakan salah satu faktor yang memberi motifasi untuk dapat belajar dengan baik, karena dengan adanya minat ini seorang siswa akan melakukan proses pembelajaran dengan senang hati, tanpa adanya keterpaksaan sehingga semua perhatiannya akan terfokus secara menyeluruh terhadap materi pembelajaran.
Bakat berfungsi sebagai modal pembelajaran, dengan adanya bakat seorang siswa akan jauh lebih mudah mencerna bahan pembelajaran bahkan tanpa hadirnya seorang pendidik sekalipun.
Terakhir sikap, saat berlangsung proses belajar mengajar, sikap berperan sebagai alat pengendalian diri, misalnya dengan adanya sikap yang baik seseorang akan mempu menempatkan diri dengan situasi yang dihadapinya. Sikap merupakan faktor internal yang berpengeruh dalam kebiasaan belajar, namun perkembangan kebiasaan belajar tidak terlepas dari faktor proses pendidikan baik langsung maupun tidak langsung., sikap merupakan kesiapan mental individu yang mempengaruhi, mewarnai, bahkan menentukan kegiatan individu yang bersangkutan dalam memberikan respon dalam obyek atau situasi yang memberi arti baginya (Rochman Nata Widjaya. 1987:40).
Seorang siswa yang memiliki sikap positif pada materi pelajaran, dalam hal ini pelajaran akidah akhlak, maka ia akan berupaya secara maksimal untuk membiasakan belajar dengan baik. Bahkan sikap positif itu memungkinkan pula termanifestasi dalam bentuk pengalamannya. Karena dalam pembelajaran akidah akhlak banyak materiyang berupaya agar siswa memiliki pemahaman dan pengalaman yang baik, untuk menanamkan sikap positif dalam mata pelajaran tersebut.
Dari uraian tersebut diatas, telah dijelaskan  bahwa  pola asuh sebagai cara mendidik remaja yang baik adalah pola demokratis, tetapi tetap mempertahankan prinsip-prinsip nilai yang universal dan absolut terutama yang berkaitan dengan agam islam.

BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Pendidikan islam dalam keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan sekolah yang diselenggrakan dalam keluarga, dan memberikan keyakina agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan. Sebab itulah pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang utama dan pertama, artinya bahwa pendidikan pertama kali dan memberikan arti terhadap perkembangan akhlak anak ataupun prestasi anak adalah penaiaikan dala keluarga.mengingat demikian penting dan strategisnya pendidikan dalam keluarga, maka orang tua yang secara kodrati bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anaknya, harus semaksimal mungkin mendidik anaknya menuju pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Kesalahan dalam pendidikan anknaknya tersebut akan berakibat fatal yakni sianak dapat menyimpang dari fitrah (nature) dan potensi kebaikannya berubah menjadi  manusia yang mempunyai kualitas rendah (Yahudi, Nasrani, Majusi, dan seterusnya).
Demikian pentingnya peran orangtua, tugas dan tanggung jawab orang tua, maka kemudian harus dipahami bahwa lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan guru-guru tenaga pendidikan lainnya adalah merupakan pelanjut peran orang tua dalam menumbuhkan dan mengembangkan anak mereka.
Terdapat tiga pola asuh orang tua terhadap anaknya, yaitu pola asuh demokratis, otoriter, dan permisif. Di antara ketiga pola asuh tersebut yang dianggap sebagi cara mendidik yang baik adalah pola asuh demokratis dengan cara mempertahankan prinsip-prinsip nilai yang universal dan absolut terutama yang berkaitan dengan agama islam. Pola otoriter layak dilakukan jika terkait dengan persoalan aqidah dan ibadah serta hal-hal yang dianggap membahayakan bagi anak. Sementara pola permisif juga dapat diterapkan pada anak usia dewasa.
Namun demikian, yang paling berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak ataupun perkembangan akhlak anak, adalah tingkat pendidikan dan kesadaran orang tua dalam mendidik anaknya, karena sikap dan perilaku anak sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dan kesadaran orang tua dalam mendidik anaknya, bukan tingkat status sosial secara umum. 


DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul El-Qussy, 1975. Pokok-Pokok Kesehatan Mental/Jiwa, Jakarta: Bulan Bintang.
Ali, Saifullah, 1989. Pendidikan Pengajaran Kebudayaan, Surabaya: Usaha Nasioanal.
Ahmad, Tafsir, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Idi, Abdullah , 2011.  Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhaimin, dkk. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya.
-------------------, 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya.
Mastuhu,  1994. Dinamika Sistim Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS.
Nurcholis, Madjid, 1997. Masyarakat religius, Jakarta: Paramadina.
Rahman, Fazlur, 1996.  Islam, Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka.
-------------------, 1996. Islam, Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka.
Tim Depag RI, 1988.  Islam Untuk Disiplin Ilmu Antropologi, Jakarta: P3AI-PTU.




[1] Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 136
[2] Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm. 36-37
[3] Mastuhu, Dinamika Sistim Pendidikan Pesantren, ( Jakarta: INIS, 1994), hlm. 1.
[4] Tafsir Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 157
[5] Tim Depag RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu Antropologi, ( Jakarta: P3AI-PTU, 1988), hlm. 55-56
[6] Muhaimin, dkk. Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 292
[7] Madjid Nurcholis, Masyarakat Religius,  (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 122-123
[8] Saifullah Ali, Pendidikan Pengajaran Kebudayaan, (Surabaya: Usaha Nasioanal, 1989), hlm. 111
[9] Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986),
[10] Khon, M.L .”Sosial Class and Perent  Child Relationship:an Interpretation”, dalam M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1971). Hlm. 67.
[11] El-Qussy, Abdul Aziz, Pokok-Pokok Kesehatan Mental/Jiwa, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), hlm. 220
[12] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1984).
[13] H. Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 168.

Post a Comment

0 Comments