BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Globalisasi
adalah sebuah peristilahan atau konsep yang relative baru. Setidaknya, tahun
60-70an umat manusia benlum mengenal istilah tersebut seperti yang mereka kenal
pada saat ini. Meskipun tidak
terasakan, ternyata globalisasi berdampak pada hampir setiap bidang kehidupan
manusia. Globalisasi yang melanda dunia membawa dampak pada
kehidupan fisik, sosial, kejiwaan maupun agama. Perbedaan gaya hidup manusia pra dan post globalisasi sangat tampak. Dampak itu dapat bersifat positif, namun pada saat yang sama juga dapat bersifat negatif. Ada bangsa-bangsa yang siap menerima kenyataan globalisasi ilmu dan budaya dan siap untuk berperan aktif didalamnya, namun banyak juga bangsa yang tidak siap menghadapinya sehingga terkena penyakit cultural shock. Ada juga bangsa yang telah siap untuk berperan di dalam proses globalisasi dunia, tetapi mereka sendiri tidak siap untuk menerima sepenuhnya dampak arus globalisasi dalam perdagangan. Dalam bidang industry otomotif dan teknologi canggih yang lain mereka siap untuk memproduksi dan menyebarluaskan hasil industry ke seluruh plosok dunia. Namun ada juga bangsa-bangsa di dunia yang karena kekayaan alamnya yang melimpah ruah, lalu siap untuk membeli konsumsi hasil teknologi mutakhir. Namun situasi budaya dan kehidupan masyarkat masih diwarnai, bahkan didominasi oleh corak tata masyarakat yang besifat pra-industri.
kehidupan fisik, sosial, kejiwaan maupun agama. Perbedaan gaya hidup manusia pra dan post globalisasi sangat tampak. Dampak itu dapat bersifat positif, namun pada saat yang sama juga dapat bersifat negatif. Ada bangsa-bangsa yang siap menerima kenyataan globalisasi ilmu dan budaya dan siap untuk berperan aktif didalamnya, namun banyak juga bangsa yang tidak siap menghadapinya sehingga terkena penyakit cultural shock. Ada juga bangsa yang telah siap untuk berperan di dalam proses globalisasi dunia, tetapi mereka sendiri tidak siap untuk menerima sepenuhnya dampak arus globalisasi dalam perdagangan. Dalam bidang industry otomotif dan teknologi canggih yang lain mereka siap untuk memproduksi dan menyebarluaskan hasil industry ke seluruh plosok dunia. Namun ada juga bangsa-bangsa di dunia yang karena kekayaan alamnya yang melimpah ruah, lalu siap untuk membeli konsumsi hasil teknologi mutakhir. Namun situasi budaya dan kehidupan masyarkat masih diwarnai, bahkan didominasi oleh corak tata masyarakat yang besifat pra-industri.
Dampak
globalisasi dunia memang sedang berjalan di mana kita tahu apa akibat yang akan
lebih mengenaskan bagi nasib manusia dalam kebudayaan modern. Istilah
globalisasi muncul lantaran desak-desakan arus perkembangan ssejarah
kemanusiaan kontemporer di mana batas-batas konvensional-tradisional baik
secara politik, geografis, regional maupun bahasa telah bergeser. Juga batas-batas
tradisional seperti suku, ras, dan agama juga semakin transparan
ketidakokohannya.
Berkat
kemudahan informasi dan transportasi adanya perubahan pola pikir manusia yang
amat mendasar, dengan demikian tergambar adanya jaringan antara kecanggihan
ilmu pengetahuan dalam hubungan internasional yang semakin terbuka dan
kesadaran kemanusiaan universal yang tinggi dalam masyarakat yang pluralistic
persinggungan dan persentuhan antara berbagai ide dan pemikiran tersebut
mempunyai dinamika dan dialektikanya tersediri yang melintasi batas-batas suku, ras, regional dan agama.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Etika dan Moral Islam dalam Era
Industrialisasi-Globalisasi ?
2.
Etika dan Tanggung Jawab Profesi ?
3.
Moral dan Etika dalam Berkehidupan
Berbangsa dan Bernegara ?
4.
Dimensi Etis-Teologis dan
Etis-Antropologis dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Etika
dan Moral Islam Dalam Era Industrialisasi-Globalisasi
1.
Etika dan Perubahan Kehidupan Manusia
Pola
berpikir yang berlaku dalam tradisi yang hidup (living tradition) mencakup
beberapa faktor yang saling terkait. Menyebut beberapa diantaranya adalah
sistem pendidikan dan pengajaran, pengasuhan anak dalam keluarga, pengaruh
lingkungan, pemikiran keagamaan, setting social, pelatihan intelektual dan
sebagainya. Masing-masing tidak berdiri sendiri-sendiri namun saling berkait
kelindang. Sistem etika sebenarnya, lebih luas cakupannya daripada hanya
berfokus pada konsep-konsep keagamaan. Oleh karena itu, filsafat moral secara
eksplisit atau implisit erat berkait dengan sosiologi. Alasdair Macintyre
berpendapat bahwa analisis terhadap pola hubungan antara subjek dan pemikiran,
dorongan, cita-cita serta tingkah lakunya secara umum mengandaikan perlunya
pengkajian berbagai hubungan tersebut di atas yang tercermin dan hidup dalam dunia
sosial yang bersifat empiris.[1]
Dalam
sudut pandang seperti ini, akan sangat menarik mengkaji hubungan antara
konsepsi etika dan moralitas islam yang dianut oleh berbagai masyarakat Islam
kontemporer dalam hubungannya dengan era industrialisasi dan globalisasi. Ada
beberapa teori dan konsep-konsep yang menjelaskan pola hubungan antara wahyu
(Al-Qur’an atau al-naql) dan akal (‘aql, reason) dalam struktur pola pikir ke
Islaman. Hal demikian perlu menggambarkan betapa kayanya konsepsi pemikiran
Islam Klasik dalam membahas, mempertajam, melerai berbagai kontroversi pendapat
yang ingin menghubungkan antara wahyu dan akal dalam bidang etika. Wahyu
dianggap sumber pegangan hidup yang tetap, abadi, tidak berubah-ubah, sedangkan
akal selalu terkena arus perubahan yang berkesinambungan lantaran proses
kesejarahan atau historisitas-kekhalifahan yang melekat pada diri manusia itu
sendiri. Prosees industrialisasi dan globalisasi dunia yang menarik pengamat
dari semua kalangan dewasa ini adalah juga merupakan puncak-puncak perjalanan
historisitas kekhalifahan manusia di muka bumi ini.
Globalisasi
dunia yang biasa disebut-sebut belakangan
ini adalah merupakan dampak langsung dari keberhasilan revolusi
teknologi komunikasi, setelah didahului oleh dua revolusi dalam kebudayaan
manusia yaitu revolusi pertanian dan revolusi industri.
Dalam era globalisasi hampir semua sendi-sendi kehidupan
manusia telah berubah. Kehidupan individu, hubungan antara anggota keluarga,
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, tingkat kejahatan yang semakin
canggih, sofistifikasi pemikiran. Yang tidak berubah
hanyalah pengertian bahwa dunia adalah selalu berubah. Seribu kemungkinan dapat
terjadi setiap saat. Tidak hanya wilayah fisik-material yang berubah, tetapi
wilayah non-material seperti cara berpikir, bergaul, bertingkah laku, cita-cita
hidup otomatis juga ikut-ikut berubah.
Semua
perubahan mempengaruhi pola pikir umat beragama dalam menatap realitas
kehidupan sekaligus menggiring kepada proses shifting paradigma dalam etika keberagamaan manusia dari pra ke
post scientific area. Tidak semua manusia beragama menyadari apalagi,
menyetujui perlunya perubahan di dalam menatap realitas kehidupan era
industrialisasi-globalisasi. Masih ada sebagian orang yang tidak percaya
manusia telah dapat mendarat dibulan, lantaran bulan dan planet-planet yang
lain masih dianggap sebagai wilayah yang tidak akan tersentuh oleh teknologi
manusia.
Kadar
ketidakpercayaan terhadap arus perubahan yang dibawa serta oleh era globalisasi
dapat mengambil bentuk sikap yang bermacam-macam. Dari bentuk sikap adaptif, yakni suatu sikap yang
menyetujui bahwa pandangan manusia terhadap realitas kehidupan memang telah
berubah sehingga perlu diadakan adaptasi seperlunya. Sikap defensif, yakni sikap mempertahankan identitas diri dan
memperkokoh konsep-konsep lama seperti sediakala karena dianggap telah berjasa
pada zamannya dengan tidak peduli terhadap perubahan yang terjadi
disekelilingnya. Tidak jarang pula mengambil sikap konfrontatif terhadap setiap perubahan karena dianggap sebagai
bahaya yang mengancam eksistensi kehidupan kerohanian manusia. Semua sikap
terhadap realitas kehidupan tersebut mengandung unsure positif dan negatif
tergantung bagaimana membawakannya.
2.
Moral
dan Etika Adalah Persoalan Filsafat
Persoalan
moralitas dan etika sebenarnya menyangkut persoalan cara berpikir atau
persoalan filsafat. Dan belajar filsafat merupakan pola berpikir suat
masyarakat, kelompok beragama, suku, dan bangsa. Filsafat moral merupakan
cabang filsafat yang paling sedikit mendapatkan perhatian dari para peneliti
kebudayaan islam, baik dulu maupun sekarang.[2]
Jika
kita menarik garis batas antara moral dan etika maka moral adalah aturan-aturan
normatif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang
dan waktu. Penerapan tata nilai moral dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat tertentu menjadi bidang kajian antropologi, sedangkan etika adalah
bidang filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang menjernihkan
lewat studi kritis adalah wilayah yang dibidangi oleh etika. Jadi, studi kritis
terhadap moralitas menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah
objek material daripada etika.[3]
Berbeda
dari etika, yakni filsafat moral, maka akhlak lebih dimaksudkan sebagai suatu
paket atau produk jadi yang bersifat normative-mengikat, yang harus diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim. Akhlak atau kadang disebut dengan
tasawuf adalah seperangkat tata nilai keagamaan yang harus direalisasikan dalam
kehidupan sehari-hari, tanpa perlu mempertanyakan dan mengunyah secara kritis
terlebih dahulu.
Akhlak
atau moralitas adalah merupakan seperangkat tata nilai yang sudah jadi dan siap
pakai tanpa dibarengi, bahkan terkesan menghindari studi kritis, sedangkan
etika justru sebaliknya bertugas untuk mempertanyakan secara kritis
rumusan-rumusan masa lalu yang sudah menggumpal dan mengkristal dalam lapisan
masyarakat.[4]
Dalam
menatap realitas perubahan sosial yang diakibatkan oleh arus globalisasi dunia,
ada baiknya terlebih dahulu kita melihat serba sekilas hubungan antara etika
dan agama dalam sudut perspektif konsepsi islam. Dalam dunia pemikiran islam,
pembahasan etika melibatkan kontroversi antara berbagai paham tentang
batas-batas penggunaan akal dihadapan wahyu.
3.
Klasifikasi Hubungan Antara Akal dan Wahyu dalam Etika
Islam
George
F. Hourani, seorang peneliti etika islam membuat lima klasifikasi pemahaman
yang menyangkut hubungan antara aql dan nql dalam islam.
Pertama,
wahyu dan akal bebas (independent reason)
a. Wahyu
dilengkapi dengan akal pikiran
Pada masa permulaan islam, para ahli hukum bersandar
kepada al-qur’an dan al-sunnah jika mereka ingin memberikan pedoman hidup yang
jelas.
b. Akal
pikiran dilengkapi dengan wahyu
Ahli-ahli teologi melihat wilayah keputusan moral
yang amat luas dan berkesimpulan bahwa manusia yang sehat dapat mengetahui
dengan akalnya bahwasannya adalah jahat atau buruk untuk menyakiti orang lain,
berbohong, membunuh, mencuri dan sebagainya. Tindak laku perbuatan disebut
suatu kewajiban atau keharusan jika seseorang akan memperoleh celaan apabila
tidak mengerjakannya. Tindak laku perbuatan disebut buruk atau jahat jika
pelakunya akan memperoleh celaan jika mengerjakannya.
Oleh karena setiap orang yang menggunakan akal
sehatnya dapat mengetahui aturan-aturan tindak laku perbuatan yang baik, maka
setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya dan dengan demikian diberi
pahala atau diberi hukuman oleh Tuhan di akhirat kelak. Tuhan memberi wewenang
penuh kepada manusia untuk memilih tindak laku perbuatannya sendiri.
Kedua, Wahyu
dilengkapi oleh akal yang tidak otonom (dependent reason)
Wahyu dianggap sebagai pedoman hidup yang
satu-satunya bagi tingkah laku manusia. Tanpa petunjuk dari Tuhan manusia akan kehilangan arah dan tersesat.
Ash’ari menambah dukungan ontologism terhadap epistemology etika islam dengan
mengatakan bahwa tindak laku perbuatan yang benar tidak mempunyai makna jika
berada di luar perintah Tuhan. Ash’ari berkeyakinan bahwa adanya standar nilai
yang objektif dalam etika akan menyaingi bahkan membatasi kemahakuasaaan
Tuhan.paralel dengan rancang bangun pola pikir etika juga menekankan pada
pemahaman predestination. Nasib
manusia telah ditentukan oleh Tuhan secara ketat. Jika dibantah, bahwa Tuhan
dalam kondisi demikian adalah tidak adil, maka mereka menjawab bahwa Tuhan
tidak berada di bawah hukum apa pun.
Ketiga,
Etika hanya berdasar pada wahyu
saja
Yaitu orang-orang yang mempercayai bahwa makna lahiriah
daripada al-Qur’anlah yang dapat dipedomani secara konkret.
Keempat,
Wahyu yang diperluas dengan peran imam
Dianggap tidak dapat berbuat salah (infallible) dan
mengembangkan tata hukum yang bersifat suci.
Kelima, Akal adalah lebih dulu daripada wahyu
Farabi menandaskan bahwa filsafat dalam arti
penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada
keberadaan agama, baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) muupun dari sudut
logika. Dikatakan lebih dahulu dari sudut pandang waktu karena Farabi
berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam artian penggunaan akal secara
luas bermula sejak dari zaman Mesir Kuno dan Babilonia. Dikatakan lebih dahulu
secara logika karena semua kebenaran daripada agama harus dipahami dan
dinyatakan, pada mulanya, lewat cara-cara rasional.[5]
Menurut konsepsi para filsuf, tugas dan fungsi
kenabian adalah untuk menyatakan kebenaran ini dalam kemasan bahasa yang
bersifat imaginative, yang dapat menggugah masyarakat luas. Dengan begitu para
filsuf membuat dua klasifikasi manusia. Pertama,
adalah kaum intelektual elit yang dapat memahami pemikiran demonstrative daripada
Plato dan Aristotles yang dianggap saat itu sebagai cara berpikir ilmiah dan
yang kedua adalah manusia biasa yang
hanya bias memahami kebenaran tentang alam semesta lewat persuasi para Nabi.
4.
Etika
Islam Bersifat Pluralistik-Dialogik
Dengan
cara menapak tilas konsepsi-konsepsi etika islam di dalam perjalanan sejarah
islam yang panjang tampak segar dihadapan kita bahwa dalam tradisi keberagamaan
islam ternyata tidak dikenal main stream yang eksklusif. Kemacetan dinamika
pemikiran keberagamaan, termasuk pemikiran etika, hanya bisa terjadi jika
kekuatan ideologi-politik ikit campur telampau jauh dalam pergumulan pemikiran
tersebut. Campur tangan ideologi politik sangat diwarnai oleh vested interest,
termasuk keinginan untuk mencapai stabilitas Negara.
Hampir semua keanekaragaman konsepsi pemikiran etika
islam tersebut terjadi pada era pra-perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer.
Pemikiran etika Ibnu Rusdh adalah corak pemikiran etika menjelang munculnya
budaya renaissance di Eropa. Campur tangan politik dalam kancah pemikiran
keagamaan seprti yang tersimolkan dalam jargon idiologi politik.[6]
Sangat naïf jika pada era globalisasi seperti sekarang
ini peran akal pikiran di dalam mengunyah dan menginternalisasikan aturan dan
tata nilai moral keagamaan dieliminir. Kegelisahan anak muda era globalisasi
yang mencari bentuk spiritualitas baru, bisa jadi disebabkan karena adanya
penyempitan ventilasi ruang gerak akal pikiran untuk merumuskan etika keagamaan
mereka yang sesuai dengan tantangan yang dihadapinya. Sekat-sekat budaya,
batas-batas wilayah semakin transparan sehingga akal pikiran tidak dapat dikucilkan
pada pulau terpencil, seolah-olah tidak akan terpengaruh oleh gelombang arus
globalisasi budaya dan ilmu.
Hingga kini sulit untuk dibedakan dalam wilayah pemikiran
islam adalah kemampuan umat beragama untuk membedakan antara agama dan konsepsi
manusia tentang ajaran keagamaan yang dikemas dalam rumusan-rumusan dan
idiom-idiom yang mencerminkan tantangan dan tuntutan sejarah, jauh berbeda
dengan tuntutan dan tantangan sejarah manusia era industrialisasi dan
globalisasi. Dengan mempertimbangkan adanya perbedaan nuansa, tantangan dan
tuntutan sejarah yang berbeda, dimungkinkan untuk merumuskan etika
keberagamaannya yang tetap berbasis pada al-qur’an, tetapi dengan muatan-muatan
baru yang tidak ditemukan pada zaman tokoh-tokoh pendahulu.
Era globalisasi ilmu dan budaya berpengaruh besar dalam
sikap keberagamaan manusia kontemporer. Sikap keberagamaan era sekarang tidak
dapat menyalin atau mengkopi dengan begitu saja sikap dan keberagamaan abad
tengah yang notebene pre-scientific. Anomali-anomali pasti terjadi antara kedua
kebudayaan yang sangat berbeda. Adanya anomali-anomali tersebut menunjukkan
betapa mendesaknya pembaharuan etika keberagamaan, bukan untuk meniggalkan
wahyu atau agama, tetapi untuk merumuskan suatu rumusan etika keberagamaan
islam yang lebih fresh, dialogis, pluralis dalam masyarakat kontemporer.
Perbedaan rentang waktu, sebenarnya cukup mengilhami seseorang untuk mengadakan
modifikasi-modifikasi seperlunya.
Bukan substansi keberagamaan yang perlu diperbaharui dan
dimodifikasi, tetapi metodologi pembudayaan substansi ajaran etika
keberagamaanlah yang perlu ditinjau ulang. Keduanya perlu dibedakan secara
tegas, jika manusia muslim era industrialisasi-globalisasi ingin terhindar dari
pemiskinan nuansa pemikiran secara luas. Persoalan metodologi pembudayaaan
nilai juga terkait dan menyentuh substansi.
Kesadaran akan historisitas atau kesejarahan kemanusiaan
seorang muslim perlu digaris bawahi agar perlunya perubahan dan
adaptasi-adaptasi seperlunya dengan kecepatan arus glombang industrialisasi dan
globalisasi yang melanda dunia tanpa pandang bulu. Dengan demikian usaha-usaha
untuk menjadi penafsir al-qur’an hidup dalam masyarakat secara luwes dan lapang
dada dapat direalisasikan.
B.
Etika
Dan Tanggung Jawab Profesi
Kesadaran
akan perlunya etika dalam kaitannya dengan tanggung jawab profesi, ketika orang
semakin sadar bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri. Klaim ilmu
pengetahuan yang netral atau bebas nilai objektif menyeret manusia modern untuk
melihat manusia dan lingkungan sebagai objek semata. Suatu objek yang bisa
dimanipulasi kembali dengan rekayasa mereka. Lantaran itu, orang mulai melirik
kembali kepada etik. Suda tentu etika lebih banyak pada aspek praxisnya bukan
pada aspek teorinya.
Profesi berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan. Jika
disebut organisasi profesi, maka terlintas dalam benak kita bahwa disitulah
terkumpul pada ahli (expert) dalam bidang kajian tertentu, yang mempunyai latar
belakang teori ilmu pengetahuan yang kuat. Mengikuti perkembangan yang ada
tanggung jawab profesi yang berdampak sosial ekonomi dan alam lingkungan memang
tidak begitu popular di kalangan ilmuan, birokrat, pejabat pembuat
kebijaksanaan, bahkan juga sebagian para tokoh masyarakat termasuk sebagian
tokoh agama. Semua orang tersebut kemungkinan adalah termasuk produk ilmu
pengetahuan yang pernah dhimpun dari berbagai perguruan tinggi, institute,
akademi dan universitas.
Etika dalam kaitannya dengan tanggung jawab profesi
memang jarang atau malah tidak pernah dikuliahkan, para ilmuan menduga bahwa
etika itu akan muncul dengan sendirinya, jika kita tertumbuk dengan persoalan
nyata. Etika cuma terbatas semata-mata pada kesadaran orang perorang. Tidak
diprogram secara sistematis, padahal batas kesadaran orang perorang sangat
bervariasi, dari tingkat kesadaran yang paling rendah samapai ke tingkat yang
tinggi.
Disadari atau tidak, dalam paket ilmu yang ada, kita
diiringi untuk memahami teori. Teori-teori yang bersifat abstrak, esensial,
fundamental, objektif, yang tanpa disadari mengikis kesadaran kita akan
pentingnya sejarah, sosial, lingkungan. Kegagalan demi kegagalan menyadarkan
orang bahwa memang ada kesenjangan yang menganggap antara teori yang selalu
dikejar-kejar di Perguruan Tinggi dan praxis dalam kehidupan keseharian
masyarakat luas. Bahkan yang lebih menyedihkan, disinyalir oleh sementara
pengamat, bahwa ilmu pengetahuan yang objektif dan positive cenderung untuk
mempertahankan statusquo dan bukan berusaha untuk mengubah nasib sosial dan
lingkungan secara global. Mereka cuma memihak kepada satu pihak yang telah
diuntungkan dengan jasa-jasa ilmu pengetahuan, tapi tidak memihak kepada mereka
kurang dan tidak diuntungkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan yang memerlukan berbagai profesi itu
merupakan anak kandung metode positivism yang disinyalir tidak mengindahkan
etika. Etika yang bersifat memihak kepada sejarah keseharian kehidupan manusia
dan alam lingkungan, kurang mendapat perhatian yang proporsional. Dalam gerak
dinamika ilmu pengetahuan sampai ilmu pengetahuan sampai sekarang ini, orang
mulai mempertanyakan efektivitas dan efisiensi metode positivisme baik dalam
lingkungan ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu kemanusiaan. Pendekatan ilmu-ilmu
kemanusiaan yang menitikberatkan kepada etika yang padat nilai, dan pendekatan
metaetik yang berusaha mengkritik perilaku manusia dan wilayah historisitas
kekhalifahannya tidak juga diikutsertakan dalam pembangunan dunia.
Hermeneutik adalah pendekatan yang lebih menekankan
keterlibatan seorang ilmuan terhadap objek yang diteliti. Understanding dan
involvement merupakan cirri khas pendekatan hermeneutik, lebih dipentingkan
daripada sikap mengambil jarak dari objek untuk mendapatkan tingkat
objektivitas yang semurni-murninya.
Tanpa sikap pemihakan yang jelas, kita para ilmuan akan
menjadi robot yang tidak mengenal tata nilai, yang tidak bisa membedakan dan
memihak baik kepada kepentingan sosial dan struktur masyarakat yang timpang
serta kelestarian alam lingkungan. Ilmu pengetahuan yang selalu bersifat
neutral dan tidak memihak dalam masalah-masalah kemanusiaan dan lingkungan
mulai digugat oleh anak cucu renaissance dan afklarung sendiri.
Perlu peninjauan ulang hubungan pertautan antara teori
ilmu pengetahuan dan praktis atau antara metafisik dan etika dan para sikap
yang neutral dan sikap yang memihak. Profesi sebagai anak tunggal ilmu
pengetahuan tidak akan bisa diharapkan dapat bermuatan nuansa sosial dan
lingkungan, jika keberadaan teori-teori dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan
itu berdiri otonom, terlepas dari sentuhan etika. Satu hal yang perlu dicatat
bahwa kesadaran etika bukanlah miracle yang dapat muncul dengan sendirinya,
seperti yang diharapkan oleh para ilmuan sendiri. Penanaman etika, penanaman
nilai-nilai yang baik, yang memihak kepada kepentingan si lemah, yang bernuansa
pelestarian lingkungan tidak dapat tergalang kokoh dengan sendirinya. Hal ini
perlu diajarkan secara serius, bukan sebagai bahan kajian yang sambilalu atau
pelengkap penderita saja. Kepekaan sosial, dikedepankan secara sistematis sejak
dini. Jika tidak kita akan mempertahankan paradigma yang lama yang telah usang
dan bahkan cenderung untuk mempertahankan status quo. Kesadaran akan perlunya
perubahan sistem berpikir tidak akan muncul, dan bisa jadi kita malah akan
terjebak pada kesulitan yang kita ciptakan sediri.
Ada beberapa hal yang perlu dipertibangkan untuk
mengantisipasi perlunya pendekatan pelekatan etika dan tanggung jawab profesi
dalam strktur terpadu ilmu pengetahuan, yaitu:
1. Aspek
pemihakan sangat menyolok dalam hidup beragama. Barangkali kita dapat belajar
banyak bagaimana memanfaatkan modal dasar budaya agama yang kita miliki
2. Etika
dan tanggung jawab profesi agaknya sulit untuk dikawinkan jika pertautan antara
teori dan praktik tidak ditinjau ulang oleh para pakar ilmu pengetahuan
3. Tanpa
nilai etika spiritual yang memihak, etika sekuler agakya masih saja bisa
dimanipulir untuk kepentingan vested interested golongan tertentu
4.
Spek teori yang sangat berjasa untuk
kesejahteraan hidup manusia, secara umum, dan praktik yang memihak kepada
golongan manusia tertentu yang tersisih memang perlu selalu bergoyang. Hubungan antara metafisika dan etika memang selalu
bergoyang terus-menerus. Jika berhenti di satu sisi maka aspek dinamika akan
tercerabut dari jantung kehidupan manusia sebagai pribadi maupun sosial
C.
Moral
Dan Etika Dalam Berkehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Masalah
moral dan etika sebenarnya menyangkut persoalan filsafat, filsafat sebagai
objek studi kurang begitu popular di tanah air kecuali lingkungan yang
terbatas. Moral adalah aturan-aturan normative yang berlaku dalam suatu
masyarakat tertentu. Aplikasi antara nilai-nilai moral dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat tertentu menjadi bidang kajian Antropologi[7],
sedangkan etika adalah bidang garap filsafat. Realitas moral dalam kehidpan
masyarakat yang telah terjernihkan lewat studi kritis itulah yang dibidangi
oleh etika. Maka, moral tidak lain adalah objek material daripada etika.
Akhir-akhir
ini mulai terdengar topik atau tema-tema seminar yang berkaitan langsung dengan
moral dan etika dalam ruang lingkup yang lebih luas. Ada kesadaran baru di
kalangan kita semua bahwa pembangunan yang sudah mengantarkan bangsa Indonesia
kejenjang kemakmuran material belum akan dapat mencapai target yang diinginkan,
jika landasan dan moral diabaikan. Ibaratnya seperti penghuni sebuah kota yang
semuanya sudah berkecukupan, tetapi mereka tidak merasakan nikmatnya karena
mereka tidak memiliki kesadaran. Maka biasanya kita meyebut kedua hal ini yaitu
moral dan etika dalam ruang lingkup cakupan agama secara global yang aturannya
perlu dibedakan untuk memperoleh ketajaman analisis, tanpa mengurangi muatan
spiritualitasnya.
Gejala
umum yang tampak sebagai dampak negatif pembangunan antara lain adanya indikasi
gaya hidup konsumtif dan ingin cepat kaya, etos kerja yang belum memadai,
kesetiakawanan sosial dan disiplin nasional yang belum mantap dan lain-lain,
mencerminkan sikap kepedulian dan sikap mental yang berkaitan erat dengan moral
dan etika kelompok masyarakat tertentu, aparat, cendekiawan, yang belum mantap
dalam berkehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.[8]
Ungkapan
tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa di balik kemakmuran material yang
ingin dicapai oleh pembangunan nasional yang berkesinambungan, masih ada faktor
x yang justru menjadi kunci bagi kelanjutan usaha pembangunan. Faktor x ini
bersifat immaterial, tidak kelihatan, sehingga sulit dikuantifikasikan
(diangkatkan), tetapi mempunyai dampak yang luar biasa dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
1.
Titik
Jenuh Pengajaran Moral: Upaya Memperbaiki Metodologi
Pengajaran
dan penanaman moral, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Negara atau oleh
lembaga-lembaga keagamaan, yang berjalan secara monotone memang dapat
mengantarkan kita pada titik jenuh. Belum lagi ajaran moral itu teraplikasi
dalam kehidupan nyata dalam masyarakat, orang sudah merasa jenuh dengan
ungkapan-ungkapan klise baik dari orang tua, tokoh masyarakat, maupun aparat
pemerintah. Ada kesan bahwa pengajaran moral yang ada sekarang ini sangat
bersifat doktriner, sehingga tidak memberi kesempatan dan ruang gerak yang
cukup bagi si penerima untuk menguyah ajaran-ajaran moral tersebut terlebih
dahulu secara kritis.
Iklim
dialog (bukan doktrin), yakni upaya untuk menanamkan moralitas lewat kajian
kritis, analitis dan comparative kurang mendapatkan prioritas. Iklim dialog antara pihak pemberi atau penyampai ajaran
moral dan pihak penerima ajaran moral kurang tercipta. Ungkapan-ungkapan harus
itu, sementara nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat bertolak belakang
dengan keharusan-keharusan itu, sedikit banyak akan mengurangi kewibawaan nilai
moral itu sendiri. Menghadapi dua kutub yang bertentangan itu diperlukan dialog
yang intens antara pihak si pemberi dan penerima. Oleh karena itu
keluhan-keluhan dan kritik-kritik yang tidak tertampung secara wajar, maka
timbul rasa takut dari pihak penerima untuk mempertanyakan relevansi ajaran
moral yang diberikan oleh pihak penatar atau dai bagi kehidupan nyata. Apalagi
jika ajaran moralitas itu menyangkut kewibawaan politik, orang semakin segan
saja untuk bertanya. Tidak adanya iklim yang favorable ini menimbulkan rasa antipasti (acuh tak acuh) dari msyarakat
yang pada gilirannya akan menghambat proses penanaman nilai-nilai moral yang luhur itu dan menjadi
ganjalan dalam upaya persatuan dan kesatuan bangsa.
Orang melihat dengan mudah penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam keluarga, dalam masyarakat desa atau kota, dalam tubuh pemerintah
dan non-pemerintah, dalam perguruan tinggi dan sebagainya, tapi mereka takut
dan apatis terhadap persoalan yang sebenarnya dihadapi secara nasional.
Pengajaran moral seperti yang berjalan sekarang ini bisa dengan mudah berubah
menjadi sebuah karikatur. Dalam masyarakat yang sudah semakin kritis seperti
sekarang ini dan akan bertambah kritis di masa yang akan datang, boleh jadi
pengajaran moral dapat berubah menjadi karikatur. Dalam bahasa agama karikatur
bisa disebut dengan istilah munafiq. Munafiq tidak lain adalah sebuah karikatur
masyarakat yang erat kaitannya dengan pengajaran moral.
2.
Etika:
Upaya Mengurangi Gambar Karikatur
Karikatur adalah sejenis gambar atau lukisan
wajah seseorang yang sengaja dibuat tidak sempurna oleh pencetusnya sehingga
menimbulkan rasa geli dan secara sepontan menimbulkan ketawa bagi para
penontonnya. Dalam pengajaran moral secara tradisional selalu saja terjadi gap
atau jurang yang menganga antara idea dan relita, antara ajaran atau doktrin
dan aplikasi atau praktiknya. Lebar jurang antara dunia ajaran atau idea dan
kenyataan hidup sehari-hari menjadikan orang sinis terhadap setiap wejangan
atau pengarahan yang bersifat moralis.
Kalau
sistem penyajian nilai-nilai moral seperti yang dilakukan secara tradisional
dapat menghasilkan titik jenuh dan malahan menjadikan orang tambah kebal dari
panggilan akal sehat dan suara hati nurani, maka perlu peninjauan kembali
cara-cara yang ditempuh secara tradisional.
Salah
satu hal yang agak dilupakan orang dalam proses pengajaran moral adalah upaya
para penjaga gawang moral masyarakat, baik itu orang tua, guru, dai atau mubaligh,
tokoh panutan masyarakat, pemimpin formal dan informal, penatar dan pejabat
pemerintah dalam memahami realita seseorang sebagai seorang subjek yang aktif,
dinamis dan otonom dengan berbagai pengalaman-pengalaman baru yang diperoleh
setiap saat dari berbagai sumber, baik lewat keterlibatan seseorang dengan
keahlian khusus, iklim intelektual-rasional sebagai hasil akumulasi pendidikan
yang mereka peroleh dari bangku sekolah, kuliah dan kursus, kontak dengan
berbagai ideologi dan pandangan politik
, gaya hidup baru, norma-norma dan nilai-nilai yang baru lantaran masuknya
paaraabola. Latar belakang ini
semua menjadikan orang semakin kritis dalam menghadapi persolan moral.[9]
Kajian kritis
terhadap norma-norma yang berlaku dimasyarakat merupakan persyaratan yang tidak
bisa ditawar-tawar sebagai media pendewasaan dan pematangan berpikir anggota
masyarakat. Dengan kajian kritis, akan terjadi dialog yang intens antara kedua
belah pihak, yakni antara pihak pemberi, penganjur, atau penjaga moral
masyarakat dan pihak penerima. Dalam kaitan inilah, seorang penatar, guru,
dosen, dai atau mubaligh, pejabat pemerintah perlu menguasai medan kajian moral
yang sesungguhnya. Dalam kaitan ini pula, kajian etika baru memainkan peranan
yang sangat penting dalam proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai
moral yang ingin diwariskan kepada generasi berikutnya.
Semua
norma-norma tidak dapat luput dari kajian kritis agar dapat terinternalisasi
dalam jiwa seseorang serta mematangkan dan mendewasakan wawasan berpikir
seseorang. Dalam hubungan ini, kita sependapat dengan Alasdair Macyntire, bahwa
norma dan etika adalah juga sebagai cermin tata cara dan pola berpikir suatu
masyarakat pendukung nilai-nilai dan norma-norma tertentu.[10]
Namun
patut disayangkan, bahwa kajian kritis sering dihindari oleh siapa saja,
termasuk diri kita sendiri, karena adanya pra-anggapan yang sudah terlanjur
tertanam kuat dalam masyarakat bahwa:
Pertama, kajian kritis akan menipiskan kadar moralitas seseorang.
Ada anggapan yang perlu diuji sebenarnya secara empiris bahwa jika orang
terlalu bersikap kritis terhadap moral yang berlaku, maka dia akan dengan mudah
untuk melepaskan diri dari keterkaitan aturan moral yang berlaku.
Kedua, kajian kritis terhadap moralitas yang berlaku dalam
masyarakat akan mengganggu stabilitas kehidupan bermasyarakat, bernegara dan
berbangsa. Praduga ini perlu ditinjau kembali agar kita dapat terhindar dari
karikatur diatas dan sekaligus untuk mencari jawab mengapa masyarakat cenderung bersifat permissive.
Dalam proses perjalan panjang pengajaran dan penanaman
moral yang sangat mendasar bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat, kita perlu menghindari kekhawatiran yang berlebihan tentang
adanya destabilitas dalam kehidupan masyarakat. Ada atau tidaknya kekhawatiran
dari pihak luar, masyarakat akan terus
berkembang dengan sendirinya dan bertambah kritis. Kekhawatiran dengan adanya
destabilitas, jangan-jangan hanyalah merupakan apriori atau praduga yang tidak
terbukti dalam kenyataan sesungguhnya. Jangan-jangan kekhawatiran adanya
destabilitas adalah ungkapan lain perlunya melestarikan status quo yang
menguntungkan posisi dan kedudukan kita dengan mengorbankan tuntutan hati
nurani kita sendiri yang mempunyai dimensi kepedulian sosial. Dalam tingkat
tertentu, sulit memang membedakan antara kekhawatiran murni yang berdampak
positif-konstruktif dan kekhawatiran untuk melestarikan status quo.
Usaha pencarian bersama yang termanifestasikan dalam
kajian etika. Dalam kajian moral yang kritis yakni kajian etika tidak ada kesan
menggurui, karena ada proses take and give. Hal ini diperkuat dengan kenyataan
bahwa dalam hal moralitas, masyarakat manapun sudah paham mana yang ma’ruf dan
mana yang munkar.
Dala kajian etika yang bersifat dialogis akan dicapai
kedewasaan berpikir dan kematangan bertindak. Menempatkan manusia sebagai
subjek berarti mengakui keberadaannya yang utuh dengan dinamikanya sendiri
dsebagai partner dialog. Dengan model pendekatan manusiawi, setidaknya kesan
karikaturis akan terkurangi, meskipun tidak dapat seluruhnya hilang lantaran
masyarakat sudah begitu berkembang cepat, lebih dari apa yang kita duga, lewat
pertumbuhan budaya dan Iptek, proses asimilasi dan akulturasi budaya, sentuhan
arus informasi dan globalisasi dunia yang begitu cepat.
3.
Aspek
Theory dan Praxis Dalam Moralitas
Untuk
membangun sistem moral bangsa dan disiplin nasional yang tangguh, rasanya
memang tidak ada resep mujarab yang bersifat instant. Penegakan disiplin
nasional yang kuat berdasarkan nilai-nilai pancasila membutuhkan waktu yang
cukup lama, lantaran banyak faktor yang terkait. Tapi tidak ada alasan untuk
tidak memulainya.
Tanpa
perlu menutup adanya usaha-usaha lain, setidaknya ada dua upaya yang tidak
dapat terpisahkan dalam usaha membina persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara sistematik,
komperhensif dan integralistik lewat jalur moral dan etika, yaitu perpaduan
antara aspek kajian(theory) dan aspek aksi(praxis).
Aspek pertama,
yakni aspek studi atau kajian, meliputi dua sisi yang perlu ditinjau ulang:
a. Sisi
metodologi, di sini kita perlu mengkaji ulang norma-norma yang ada memperbaiki
sistem dan metode penyampaian yang dulunya hanya bersifat doktriner sehingga membentuk
manusia bertipe yes-man menjadi bersifat dialogis-terbuka.
b.
Sisi substansi, kajian etika yang
bersifat kritis terhadap pandangan-pandangan moral dan nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat. Ini perlu diselenggarakan dalam upaya mendewasakan cara
berpikir masyarakat dan menimbulkan etos kerja tinggi dan rasa tanggung jawab
dari dalam. Di sini kita
terpaksa perlu berkenalan dengan teori-teori etika yang masih jarang kita
kenal.[11]
Menumbuhkan
sikap kritis dengan sendirinya akan mematangkan cara berpikir dan kedewasaan
bertindak serta daya kontrol terhadap lingkungan sekitar. Daya kontrol terhadap
lingkungan sekeliling bisa tumbuh jika masyarakat dibiasakan untuk
berargumentasi, berpikir kritis sebebas-bebasnya sehingga kritik bukan lagi
dianggap sebagai barang mewah atau malah dianggap sebagai momok atau beban yang
berat dari kedua belah pihak. Berpikir kritis merupakan proses yang perlu
ditempuh untuk mencerdaskan dan mematangkan warga Negara.
Aspek kedua,
adalah praxis atau contoh prilaku dan tindakan nyata. Tidak kalah penting dari
aspek studi atau kajian, aspek keteladanan juga sangat berarti dalam
memperkokoh ketahanan mental suatu bangsa. Masyarakat Indonesia masih cenderung
untuk berbudaya elitis dalam arti bahwa golongan elit masyarakat selalu dijadikan
panutan oleh masyarakat sekitar. Tidak
hanya di Indonesia saja yang menekankan aspek panutan atau keteladanan dari
kaum elit. Dalam masyarakat maju dan modern sekalipun golongan elit masih tetap
berfungsi sebagai panutan masyarakat.
Tinjauan kritis etika memang harus berjuang pada aspek
praxis yang tercermin dalam bentuk tanggung jawab hidup baik dan bersih. Jadi
aspek studi dan aspek aksi dari dimensi moralitas memang ibarat bandul jam yang
selalu bergoyang kedua sisi. Jika ia bergoyang kesisi studi kajian maka ia akan
mempertajam wawasan berpikir dan kematangan bertindak, sekaligus mengurangi
kesan karikaturis. Jika ia bergoyang ke sisi action dan praxis maka pengetahuan
tentang moralitas itu teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat.
D.
Dimensi
Etis-Teologis Dan Etis-Antropologis Dalam Pembangunan Berwawasan Pembangunan
Berwawasan Lingkungan
Isu
lingkungan hidup mulai gencar dibicarakan oleh para ilmuan, politikus dan para
cendekiawan ketika dunia maju sudah lama menikmati pembangunan hasil teknologi
industri dan dunia berkembang sedang merayap menuju era industrialisasi. Para
pemimpin politik dunia berkembang meragukan
kemauan baik dunia maju ketika baru-baru ini dunia maju mengajukan
persyaratan perlunya pengkaitan dana bantuan luar negeri dengan isu lingkungan
hidup dan pelestarian lingkungan.
Masalah
lingkungan hidup adalah masalah global dunia. Musibah pencemaran udara dan air
bukan hanya akan menimpa satu bangsa atau Negara, tapi akan menimpa Negara tetangga
sekitar. Pencemaran dikota lambat laun juga akan sampai ke desa. Hujan asam
akan menyebar melampaui batas-batas Negara.
Para
filosof dan ilmuan sebelum perang dunia kedua, yang lebih dikenal dengan
sebutan kelompok Wina, memang pernah mengeliminasi metafisika dan etika dari
bangunan utuh pengalaman manusia. Jangankan para ilmuan alam, sedangkan para
ilmuan agama sendiri juga ikut-ikut memalingkan diri dari dimensi etis, karena
dianggap kurang relevan dengan metodologi ilmu pengetahuan yang bersifat
objektif. Struktur fundamental hukum-hukum alam dan sosial merupakan unsur
pokok yang sangat dicari-cari oleh para ilmuan, sedangkan etika dan moralitas
yang cirri dasarnya adalah pemihakan dianggap kurang relevan dalam wilayah
kajian mereka.[12]
Dimensi etis hampir selalu ditempatkan pada sisi yang
kurang menguntungkan, karena dianggap sebagai faktor penghambat saja. Dalam
kerangka tersebut kita perlu menghadapi upaya seminar lingkungan hidup yang
menempatkan dimensi etis dalam salah satu topik bahasannya.
1.
Dimensi
Etis-Teologis: Pengalaman Islam
Jika
kita membaca kitab suci Al-Qur’an dengan teliti, kita akan mendapatkan
pandangan dasar yang sangat mencolok bahwa ternyata Al-Qur’an tidak semata-mata
berbicara tentang hal-hal yang berssifat metafisis-eskatologis, tetapi juga
berbicara tentang alam semesta yang dihuni oleh manusia serta makhluk-makhluk
sekarang ini.[13]
Al-Qur’an
memproklamasikan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia, bukan hanya petunjuk
dalam arti metafisis-eskatologis, tetapi juga menyangkut masalah-masalah
praktis kehidupan manusia di alam dunia sekarang ini, termasuk patokan-patokan
dasar tentang bagaimana manusia menyantuni alam semesta daan lingkungan
sekitarnya. Terlepas dari pergumulan teologis-filosofis abad klasik yang sangat
melelahkan, suatu hal yang jelas bahwa Al-Qur’an secara eksplisit member porsi
yang lebih dari cukup pada persoalan-persoalan alam semesta, oleh para pakar
sekarang disebut dengan lingkungan alam hidup.
Menurut
ilmu ekologi, memang tidak ada makhluk yang sia-sia diciptakan oleh Khaliknya.
Kehidupan makhluk, baik tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia saling kait mengkait
dalam satu lingkungan hidup. Bila terjadi gangguan terhadap salah satu jenis
makhluk akan terjadilah gangguan terhadap lingkungan hidup secara keselurhan.
Menurut teologi islam, pembangunan yang dilakukan oleh manusia sebenarnya tidak
harus pembangunan material-ekonomi, pembangunan peru bermuatan nilai dimana
slah satunya adalah nilai kesadaran yang memihak perlunya menjaga alam lingkungan.[14]
2.
Dimensi
Etis-Antropologis: Upaya Mengurangi Jurang Pemisah
Para
ahli etika sepakat bahwa mempertautkan antara idea dan realita yang biasa lebih
dikenal dengan hubungan antara ought dan is tidaklah semudah yang orang kira.
Ilmuan, industriawan, pengusaha, politikus dan rakyat awam sebenarnya tidak
dapat menghindarkan diri dari keterlibatannya dengan persoalan etika. Pertautan antara ilmu pengetahuan dan teologi sebenarnya
juga tampak jelas mencuat dalam masalah-maslah etika.
Etika sebenarnya bukan hanya sekedar larangan-larangan
normative tetapi lebih merupakan puncak akumulasi kemampuan operasionalisasi
intelegensia seseorang. Tetapi merupakan ramuan yang terpadu antara norma-norma
yang seharusnya yang dijadikan pedoman untuk berperilaku dan bertindak dan
tuntutan kebutuhan kehidupan praktis yang tidak bisa dihindarkan.
Masalah lingkungan hidup dalah masih sangat baru, maka
pengetahuan dan kesadaran akan lingkungan perlu dibudayakan lewat berbagai
media cetak, visual dan media-media yang lain. Penanaman kesadaran perlunya
lingkungan hidup yang sehat dan lestari perlu ditanamkan sejak dini, mengingat
budaya kita adalah budaya panutan maka peran elite terdidik dan juga sangat
menentukan. Kalau gerakan sadar lingkungan membudaya di kalangan elite, tindakan
rill mereka dalam merealisasikan kesadaran tersebut, maka masyarakat luas akan
mengikutinya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan masalah diatas dapat disimpulkan bahwa:
hubungan antara
konsepsi etika dan moralitas islam yang dianut oleh berbagai masyarakat Islam
kontemporer dalam hubungannya dengan era industrialisasi dan globalisasi. Ada
beberapa teori dan konsep-konsep yang menjelaskan pola hubungan antara wahyu
(Al-Qur’an atau al-naql) dan akal (‘aql, reason) dalam struktur pola pikir ke
Islaman. Hal demikian perlu menggambarkan betapa kayanya konsepsi pemikiran
Islam Klasik dalam membahas, mempertajam, melerai berbagai kontroversi pendapat
yang ingin menghubungkan antara wahyu dan akal dalam bidang etika.
Persoalan
moralitas dan etika sebenarnya menyangkut persoalan cara berpikir atau
persoalan filsafat. Dan belajar filsafat merupakan pola berpikir suat
masyarakat, kelompok beragama, suku, dan bangsa. Filsafat moral merupakan cabang
filsafat yang paling sedikit mendapatkan perhatian dari para peneliti
kebudayaan islam, baik dulu maupun sekarang.
Kesadaran
akan historisitas atau kesejarahan kemanusiaan seorang muslim perlu digaris
bawahi agar perlunya perubahan dan adaptasi-adaptasi seperlunya dengan
kecepatan arus glombang industrialisasi dan globalisasi yang melanda dunia
tanpa pandang bulu. Dengan demikian usaha-usaha untuk menjadi penafsir
al-qur’an hidup dalam masyarakat secara luwes dan lapang dada dapat
direalisasikan.
[1] Alasdair Macintyre, After Virtue: A Study in Moral Theory,
University of Note Dame Press, Edisi kedua, Indians 1984, hlm. 23.
[2] Ahmad Muhamud Subhi, al-Falsafah al-Akhlaqiyyah fi al-Fikr
al-Islamy, Dar Ma’arif, Mesir, hlm.16
[3] Clyde Kluckhoohn, Ethical Relativity dalam Ethical Relativism,
John Ladd, Wardworth Publishing Company, California, 1973
[4] Muhammad Yusuf Musa, Filsafat Akhlak Islam, Mussasah al-Khanajy,
Mesir, 1963
[5] Abu Nasr al-Farabi, Kitab Al-Huruf, Libanon, 1970, hlm. 131
[6] Muhammad Arkoun, al-Islam: akhlak wa al-Siyasah, Markaz
al-inma’ al-qaumy, Beirut, 1990
[7] Clyde Kluckhon, Ethical Relativism, Wadsworth Publishing
Company, California, 1973, hlm. 86-90
[8] Cendekiwan dan Pimpinan
Organisasi Sosial Kemasyarakatan, JATENG dan DIY, hlm.
2
[9]
Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari
Konteks, PT Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 12
[10]
Alasdair Macintyre, Sebuah Studi Dalam
Teori Moral, Edisi Kedua, Indiana, 1984, hlm. 23
[11] Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 1990
[12]
Fransisco Jose Moreno, Agama dan Akal
Pikiran, Rajawali Press, Jakarta, 1985, hlm. 181
[13] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung, 1983,
hlm.95-116
[14] Drs. N.Daldjoeni, Penduduk Lingkungan dan Masa Depan,
Bandung, 1985, hlm. 73
0 Comments