Moral dan Etika Filsafat




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Globalisasi adalah sebuah peristilahan atau konsep yang relative baru. Setidaknya, tahun 60-70an umat manusia benlum mengenal istilah tersebut seperti yang mereka kenal pada saat ini. Meskipun tidak terasakan, ternyata globalisasi berdampak pada hampir setiap bidang kehidupan manusia. Globalisasi yang melanda dunia membawa dampak pada
kehidupan fisik, sosial, kejiwaan maupun agama. Perbedaan gaya hidup manusia pra dan post globalisasi sangat tampak. Dampak itu dapat bersifat positif, namun pada saat yang sama juga dapat bersifat negatif. Ada bangsa-bangsa yang siap menerima kenyataan globalisasi ilmu dan budaya dan siap untuk berperan aktif didalamnya, namun banyak juga bangsa yang tidak siap menghadapinya sehingga terkena penyakit cultural shock. Ada juga bangsa yang telah siap untuk berperan di dalam proses globalisasi dunia, tetapi mereka sendiri tidak siap untuk menerima sepenuhnya dampak arus globalisasi dalam perdagangan. Dalam bidang industry otomotif dan teknologi canggih yang lain mereka siap untuk memproduksi dan menyebarluaskan hasil industry ke seluruh plosok dunia. Namun ada juga bangsa-bangsa di dunia yang karena kekayaan alamnya yang melimpah ruah, lalu siap untuk membeli konsumsi hasil teknologi mutakhir. Namun situasi budaya dan kehidupan masyarkat masih diwarnai, bahkan didominasi oleh corak tata masyarakat yang besifat pra-industri.
Dampak globalisasi dunia memang sedang berjalan di mana kita tahu apa akibat yang akan lebih mengenaskan bagi nasib manusia dalam kebudayaan modern. Istilah globalisasi muncul lantaran desak-desakan arus perkembangan ssejarah kemanusiaan kontemporer di mana batas-batas konvensional-tradisional baik secara politik, geografis, regional maupun bahasa telah bergeser. Juga batas-batas tradisional seperti suku, ras, dan agama juga semakin transparan ketidakokohannya.
Berkat kemudahan informasi dan transportasi adanya perubahan pola pikir manusia yang amat mendasar, dengan demikian tergambar adanya jaringan antara kecanggihan ilmu pengetahuan dalam hubungan internasional yang semakin terbuka dan kesadaran kemanusiaan universal yang tinggi dalam masyarakat yang pluralistic persinggungan dan persentuhan antara berbagai ide dan pemikiran tersebut mempunyai dinamika dan dialektikanya tersediri yang melintasi batas-batas  suku, ras, regional dan agama.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Etika dan Moral Islam dalam Era Industrialisasi-Globalisasi ?
2.      Etika dan Tanggung Jawab Profesi ?
3.      Moral dan Etika dalam Berkehidupan Berbangsa dan Bernegara ?
4.      Dimensi Etis-Teologis dan Etis-Antropologis dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Etika dan Moral Islam Dalam Era Industrialisasi-Globalisasi
1.         Etika dan Perubahan Kehidupan Manusia
Pola berpikir yang berlaku dalam tradisi yang hidup (living tradition) mencakup beberapa faktor yang saling terkait. Menyebut beberapa diantaranya adalah sistem pendidikan dan pengajaran, pengasuhan anak dalam keluarga, pengaruh lingkungan, pemikiran keagamaan, setting social, pelatihan intelektual dan sebagainya. Masing-masing tidak berdiri sendiri-sendiri namun saling berkait kelindang. Sistem etika sebenarnya, lebih luas cakupannya daripada hanya berfokus pada konsep-konsep keagamaan. Oleh karena itu, filsafat moral secara eksplisit atau implisit erat berkait dengan sosiologi. Alasdair Macintyre berpendapat bahwa analisis terhadap pola hubungan antara subjek dan pemikiran, dorongan, cita-cita serta tingkah lakunya secara umum mengandaikan perlunya pengkajian berbagai hubungan tersebut di atas yang tercermin dan hidup dalam dunia sosial yang bersifat empiris.[1]
Dalam sudut pandang seperti ini, akan sangat menarik mengkaji hubungan antara konsepsi etika dan moralitas islam yang dianut oleh berbagai masyarakat Islam kontemporer dalam hubungannya dengan era industrialisasi dan globalisasi. Ada beberapa teori dan konsep-konsep yang menjelaskan pola hubungan antara wahyu (Al-Qur’an atau al-naql) dan akal (‘aql, reason) dalam struktur pola pikir ke Islaman. Hal demikian perlu menggambarkan betapa kayanya konsepsi pemikiran Islam Klasik dalam membahas, mempertajam, melerai berbagai kontroversi pendapat yang ingin menghubungkan antara wahyu dan akal dalam bidang etika. Wahyu dianggap sumber pegangan hidup yang tetap, abadi, tidak berubah-ubah, sedangkan akal selalu terkena arus perubahan yang berkesinambungan lantaran proses kesejarahan atau historisitas-kekhalifahan yang melekat pada diri manusia itu sendiri. Prosees industrialisasi dan globalisasi dunia yang menarik pengamat dari semua kalangan dewasa ini adalah juga merupakan puncak-puncak perjalanan historisitas kekhalifahan manusia di muka bumi ini.
Globalisasi dunia yang biasa disebut-sebut belakangan  ini adalah merupakan dampak langsung dari keberhasilan revolusi teknologi komunikasi, setelah didahului oleh dua revolusi dalam kebudayaan manusia yaitu revolusi pertanian dan revolusi industri.
Dalam era globalisasi hampir semua sendi-sendi kehidupan manusia telah berubah. Kehidupan individu, hubungan antara anggota keluarga, kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, tingkat kejahatan yang semakin canggih, sofistifikasi pemikiran. Yang tidak berubah hanyalah pengertian bahwa dunia adalah selalu berubah. Seribu kemungkinan dapat terjadi setiap saat. Tidak hanya wilayah fisik-material yang berubah, tetapi wilayah non-material seperti cara berpikir, bergaul, bertingkah laku, cita-cita hidup otomatis juga ikut-ikut berubah.
Semua perubahan mempengaruhi pola pikir umat beragama dalam menatap realitas kehidupan sekaligus menggiring kepada proses shifting paradigma dalam etika keberagamaan manusia dari pra ke post scientific area. Tidak semua manusia beragama menyadari apalagi, menyetujui perlunya perubahan di dalam menatap realitas kehidupan era industrialisasi-globalisasi. Masih ada sebagian orang yang tidak percaya manusia telah dapat mendarat dibulan, lantaran bulan dan planet-planet yang lain masih dianggap sebagai wilayah yang tidak akan tersentuh oleh teknologi manusia.
Kadar ketidakpercayaan terhadap arus perubahan yang dibawa serta oleh era globalisasi dapat mengambil bentuk sikap yang bermacam-macam. Dari bentuk sikap adaptif, yakni suatu sikap yang menyetujui bahwa pandangan manusia terhadap realitas kehidupan memang telah berubah sehingga perlu diadakan adaptasi seperlunya. Sikap defensif, yakni sikap mempertahankan identitas diri dan memperkokoh konsep-konsep lama seperti sediakala karena dianggap telah berjasa pada zamannya dengan tidak peduli terhadap perubahan yang terjadi disekelilingnya. Tidak jarang pula mengambil sikap konfrontatif terhadap setiap perubahan karena dianggap sebagai bahaya yang mengancam eksistensi kehidupan kerohanian manusia. Semua sikap terhadap realitas kehidupan tersebut mengandung unsure positif dan negatif tergantung bagaimana membawakannya.
2.         Moral dan Etika Adalah Persoalan Filsafat
Persoalan moralitas dan etika sebenarnya menyangkut persoalan cara berpikir atau persoalan filsafat. Dan belajar filsafat merupakan pola berpikir suat masyarakat, kelompok beragama, suku, dan bangsa. Filsafat moral merupakan cabang filsafat yang paling sedikit mendapatkan perhatian dari para peneliti kebudayaan islam, baik dulu maupun sekarang.[2] 
Jika kita menarik garis batas antara moral dan etika maka moral adalah aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata nilai moral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu menjadi bidang kajian antropologi, sedangkan etika adalah bidang filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang menjernihkan lewat studi kritis adalah wilayah yang dibidangi oleh etika. Jadi, studi kritis terhadap moralitas menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek material daripada etika.[3]
Berbeda dari etika, yakni filsafat moral, maka akhlak lebih dimaksudkan sebagai suatu paket atau produk jadi yang bersifat normative-mengikat, yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim. Akhlak atau kadang disebut dengan tasawuf adalah seperangkat tata nilai keagamaan yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa perlu mempertanyakan dan mengunyah secara kritis terlebih dahulu.
Akhlak atau moralitas adalah merupakan seperangkat tata nilai yang sudah jadi dan siap pakai tanpa dibarengi, bahkan terkesan menghindari studi kritis, sedangkan etika justru sebaliknya bertugas untuk mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan masa lalu yang sudah menggumpal dan mengkristal dalam lapisan masyarakat.[4]
Dalam menatap realitas perubahan sosial yang diakibatkan oleh arus globalisasi dunia, ada baiknya terlebih dahulu kita melihat serba sekilas hubungan antara etika dan agama dalam sudut perspektif konsepsi islam. Dalam dunia pemikiran islam, pembahasan etika melibatkan kontroversi antara berbagai paham tentang batas-batas penggunaan akal dihadapan wahyu.
3.         Klasifikasi Hubungan Antara Akal dan Wahyu dalam Etika Islam
George F. Hourani, seorang peneliti etika islam membuat lima klasifikasi pemahaman yang menyangkut hubungan antara aql dan nql dalam islam.
Pertama, wahyu dan akal bebas (independent reason)
a.       Wahyu dilengkapi dengan akal pikiran
Pada masa permulaan islam, para ahli hukum bersandar kepada al-qur’an dan al-sunnah jika mereka ingin memberikan pedoman hidup yang jelas.
b.      Akal pikiran dilengkapi dengan wahyu
Ahli-ahli teologi melihat wilayah keputusan moral yang amat luas dan berkesimpulan bahwa manusia yang sehat dapat mengetahui dengan akalnya bahwasannya adalah jahat atau buruk untuk menyakiti orang lain, berbohong, membunuh, mencuri dan sebagainya. Tindak laku perbuatan disebut suatu kewajiban atau keharusan jika seseorang akan memperoleh celaan apabila tidak mengerjakannya. Tindak laku perbuatan disebut buruk atau jahat jika pelakunya akan memperoleh celaan jika mengerjakannya.
Oleh karena setiap orang yang menggunakan akal sehatnya dapat mengetahui aturan-aturan tindak laku perbuatan yang baik, maka setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya dan dengan demikian diberi pahala atau diberi hukuman oleh Tuhan di akhirat kelak. Tuhan memberi wewenang penuh kepada manusia untuk memilih tindak laku perbuatannya sendiri.
Kedua, Wahyu dilengkapi oleh akal yang tidak otonom (dependent reason)
Wahyu dianggap sebagai pedoman hidup yang satu-satunya bagi tingkah laku manusia. Tanpa petunjuk dari Tuhan manusia akan kehilangan arah dan tersesat. Ash’ari menambah dukungan ontologism terhadap epistemology etika islam dengan mengatakan bahwa tindak laku perbuatan yang benar tidak mempunyai makna jika berada di luar perintah Tuhan. Ash’ari berkeyakinan bahwa adanya standar nilai yang objektif dalam etika akan menyaingi bahkan membatasi kemahakuasaaan Tuhan.paralel dengan rancang bangun pola pikir etika juga menekankan pada pemahaman predestination. Nasib manusia telah ditentukan oleh Tuhan secara ketat. Jika dibantah, bahwa Tuhan dalam kondisi demikian adalah tidak adil, maka mereka menjawab bahwa Tuhan tidak berada di bawah hukum apa pun.
Ketiga, Etika hanya berdasar pada wahyu saja
Yaitu orang-orang yang mempercayai bahwa makna lahiriah daripada al-Qur’anlah yang dapat dipedomani secara konkret.
Keempat, Wahyu yang diperluas dengan peran imam
Dianggap tidak dapat berbuat salah (infallible) dan mengembangkan tata hukum yang bersifat suci.
Kelima, Akal adalah lebih dulu daripada wahyu
Farabi menandaskan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama, baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) muupun dari sudut logika. Dikatakan lebih dahulu dari sudut pandang waktu karena Farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam artian penggunaan akal secara luas bermula sejak dari zaman Mesir Kuno dan Babilonia. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran daripada agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya, lewat cara-cara rasional.[5]
Menurut konsepsi para filsuf, tugas dan fungsi kenabian adalah untuk menyatakan kebenaran ini dalam kemasan bahasa yang bersifat imaginative, yang dapat menggugah masyarakat luas. Dengan begitu para filsuf membuat dua klasifikasi manusia. Pertama, adalah kaum intelektual elit yang dapat memahami pemikiran demonstrative daripada Plato dan Aristotles yang dianggap saat itu sebagai cara berpikir ilmiah dan yang kedua adalah manusia biasa yang hanya bias memahami kebenaran tentang alam semesta lewat persuasi para Nabi.
4.         Etika Islam Bersifat Pluralistik-Dialogik
Dengan cara menapak tilas konsepsi-konsepsi etika islam di dalam perjalanan sejarah islam yang panjang tampak segar dihadapan kita bahwa dalam tradisi keberagamaan islam ternyata tidak dikenal main stream yang eksklusif. Kemacetan dinamika pemikiran keberagamaan, termasuk pemikiran etika, hanya bisa terjadi jika kekuatan ideologi-politik ikit campur telampau jauh dalam pergumulan pemikiran tersebut. Campur tangan ideologi politik sangat diwarnai oleh vested interest, termasuk keinginan untuk mencapai stabilitas Negara.
Hampir semua keanekaragaman konsepsi pemikiran etika islam tersebut terjadi pada era pra-perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer. Pemikiran etika Ibnu Rusdh adalah corak pemikiran etika menjelang munculnya budaya renaissance di Eropa. Campur tangan politik dalam kancah pemikiran keagamaan seprti yang tersimolkan dalam jargon idiologi politik.[6]
Sangat naïf jika pada era globalisasi seperti sekarang ini peran akal pikiran di dalam mengunyah dan menginternalisasikan aturan dan tata nilai moral keagamaan dieliminir. Kegelisahan anak muda era globalisasi yang mencari bentuk spiritualitas baru, bisa jadi disebabkan karena adanya penyempitan ventilasi ruang gerak akal pikiran untuk merumuskan etika keagamaan mereka yang sesuai dengan tantangan yang dihadapinya. Sekat-sekat budaya, batas-batas wilayah semakin transparan sehingga akal pikiran tidak dapat dikucilkan pada pulau terpencil, seolah-olah tidak akan terpengaruh oleh gelombang arus globalisasi budaya dan ilmu.
Hingga kini sulit untuk dibedakan dalam wilayah pemikiran islam adalah kemampuan umat beragama untuk membedakan antara agama dan konsepsi manusia tentang ajaran keagamaan yang dikemas dalam rumusan-rumusan dan idiom-idiom yang mencerminkan tantangan dan tuntutan sejarah, jauh berbeda dengan tuntutan dan tantangan sejarah manusia era industrialisasi dan globalisasi. Dengan mempertimbangkan adanya perbedaan nuansa, tantangan dan tuntutan sejarah yang berbeda, dimungkinkan untuk merumuskan etika keberagamaannya yang tetap berbasis pada al-qur’an, tetapi dengan muatan-muatan baru yang tidak ditemukan pada zaman tokoh-tokoh pendahulu.
Era globalisasi ilmu dan budaya berpengaruh besar dalam sikap keberagamaan manusia kontemporer. Sikap keberagamaan era sekarang tidak dapat menyalin atau mengkopi dengan begitu saja sikap dan keberagamaan abad tengah yang notebene pre-scientific. Anomali-anomali pasti terjadi antara kedua kebudayaan yang sangat berbeda. Adanya anomali-anomali tersebut menunjukkan betapa mendesaknya pembaharuan etika keberagamaan, bukan untuk meniggalkan wahyu atau agama, tetapi untuk merumuskan suatu rumusan etika keberagamaan islam yang lebih fresh, dialogis, pluralis dalam masyarakat kontemporer. Perbedaan rentang waktu, sebenarnya cukup mengilhami seseorang untuk mengadakan modifikasi-modifikasi seperlunya.
Bukan substansi keberagamaan yang perlu diperbaharui dan dimodifikasi, tetapi metodologi pembudayaan substansi ajaran etika keberagamaanlah yang perlu ditinjau ulang. Keduanya perlu dibedakan secara tegas, jika manusia muslim era industrialisasi-globalisasi ingin terhindar dari pemiskinan nuansa pemikiran secara luas. Persoalan metodologi pembudayaaan nilai juga terkait dan menyentuh substansi.
Kesadaran akan historisitas atau kesejarahan kemanusiaan seorang muslim perlu digaris bawahi agar perlunya perubahan dan adaptasi-adaptasi seperlunya dengan kecepatan arus glombang industrialisasi dan globalisasi yang melanda dunia tanpa pandang bulu. Dengan demikian usaha-usaha untuk menjadi penafsir al-qur’an hidup dalam masyarakat secara luwes dan lapang dada dapat direalisasikan.
B.     Etika Dan Tanggung Jawab Profesi
Kesadaran akan perlunya etika dalam kaitannya dengan tanggung jawab profesi, ketika orang semakin sadar bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri. Klaim ilmu pengetahuan yang netral atau bebas nilai objektif menyeret manusia modern untuk melihat manusia dan lingkungan sebagai objek semata. Suatu objek yang bisa dimanipulasi kembali dengan rekayasa mereka. Lantaran itu, orang mulai melirik kembali kepada etik. Suda tentu etika lebih banyak pada aspek praxisnya bukan pada aspek teorinya.
Profesi berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan. Jika disebut organisasi profesi, maka terlintas dalam benak kita bahwa disitulah terkumpul pada ahli (expert) dalam bidang kajian tertentu, yang mempunyai latar belakang teori ilmu pengetahuan yang kuat. Mengikuti perkembangan yang ada tanggung jawab profesi yang berdampak sosial ekonomi dan alam lingkungan memang tidak begitu popular di kalangan ilmuan, birokrat, pejabat pembuat kebijaksanaan, bahkan juga sebagian para tokoh masyarakat termasuk sebagian tokoh agama. Semua orang tersebut kemungkinan adalah termasuk produk ilmu pengetahuan yang pernah dhimpun dari berbagai perguruan tinggi, institute, akademi dan universitas.
Etika dalam kaitannya dengan tanggung jawab profesi memang jarang atau malah tidak pernah dikuliahkan, para ilmuan menduga bahwa etika itu akan muncul dengan sendirinya, jika kita tertumbuk dengan persoalan nyata. Etika cuma terbatas semata-mata pada kesadaran orang perorang. Tidak diprogram secara sistematis, padahal batas kesadaran orang perorang sangat bervariasi, dari tingkat kesadaran yang paling rendah samapai ke tingkat yang tinggi.
Disadari atau tidak, dalam paket ilmu yang ada, kita diiringi untuk memahami teori. Teori-teori yang bersifat abstrak, esensial, fundamental, objektif, yang tanpa disadari mengikis kesadaran kita akan pentingnya sejarah, sosial, lingkungan. Kegagalan demi kegagalan menyadarkan orang bahwa memang ada kesenjangan yang menganggap antara teori yang selalu dikejar-kejar di Perguruan Tinggi dan praxis dalam kehidupan keseharian masyarakat luas. Bahkan yang lebih menyedihkan, disinyalir oleh sementara pengamat, bahwa ilmu pengetahuan yang objektif dan positive cenderung untuk mempertahankan statusquo dan bukan berusaha untuk mengubah nasib sosial dan lingkungan secara global. Mereka cuma memihak kepada satu pihak yang telah diuntungkan dengan jasa-jasa ilmu pengetahuan, tapi tidak memihak kepada mereka kurang dan tidak diuntungkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan yang memerlukan berbagai profesi itu merupakan anak kandung metode positivism yang disinyalir tidak mengindahkan etika. Etika yang bersifat memihak kepada sejarah keseharian kehidupan manusia dan alam lingkungan, kurang mendapat perhatian yang proporsional. Dalam gerak dinamika ilmu pengetahuan sampai ilmu pengetahuan sampai sekarang ini, orang mulai mempertanyakan efektivitas dan efisiensi metode positivisme baik dalam lingkungan ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu kemanusiaan. Pendekatan ilmu-ilmu kemanusiaan yang menitikberatkan kepada etika yang padat nilai, dan pendekatan metaetik yang berusaha mengkritik perilaku manusia dan wilayah historisitas kekhalifahannya tidak juga diikutsertakan dalam pembangunan  dunia.
Hermeneutik adalah pendekatan yang lebih menekankan keterlibatan seorang ilmuan terhadap objek yang diteliti. Understanding dan involvement merupakan cirri khas pendekatan hermeneutik, lebih dipentingkan daripada sikap mengambil jarak dari objek untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang semurni-murninya.
Tanpa sikap pemihakan yang jelas, kita para ilmuan akan menjadi robot yang tidak mengenal tata nilai, yang tidak bisa membedakan dan memihak baik kepada kepentingan sosial dan struktur masyarakat yang timpang serta kelestarian alam lingkungan. Ilmu pengetahuan yang selalu bersifat neutral dan tidak memihak dalam masalah-masalah kemanusiaan dan lingkungan mulai digugat oleh anak cucu renaissance dan afklarung sendiri.
Perlu peninjauan ulang hubungan pertautan antara teori ilmu pengetahuan dan praktis atau antara metafisik dan etika dan para sikap yang neutral dan sikap yang memihak. Profesi sebagai anak tunggal ilmu pengetahuan tidak akan bisa diharapkan dapat bermuatan nuansa sosial dan lingkungan, jika keberadaan teori-teori dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan itu berdiri otonom, terlepas dari sentuhan etika. Satu hal yang perlu dicatat bahwa kesadaran etika bukanlah miracle yang dapat muncul dengan sendirinya, seperti yang diharapkan oleh para ilmuan sendiri. Penanaman etika, penanaman nilai-nilai yang baik, yang memihak kepada kepentingan si lemah, yang bernuansa pelestarian lingkungan tidak dapat tergalang kokoh dengan sendirinya. Hal ini perlu diajarkan secara serius, bukan sebagai bahan kajian yang sambilalu atau pelengkap penderita saja. Kepekaan sosial, dikedepankan secara sistematis sejak dini. Jika tidak kita akan mempertahankan paradigma yang lama yang telah usang dan bahkan cenderung untuk mempertahankan status quo. Kesadaran akan perlunya perubahan sistem berpikir tidak akan muncul, dan bisa jadi kita malah akan terjebak pada kesulitan yang kita ciptakan sediri.
Ada beberapa hal yang perlu dipertibangkan untuk mengantisipasi perlunya pendekatan pelekatan etika dan tanggung jawab profesi dalam strktur terpadu ilmu pengetahuan, yaitu:
1.      Aspek pemihakan sangat menyolok dalam hidup beragama. Barangkali kita dapat belajar banyak bagaimana memanfaatkan modal dasar budaya agama yang kita miliki
2.      Etika dan tanggung jawab profesi agaknya sulit untuk dikawinkan jika pertautan antara teori dan praktik tidak ditinjau ulang oleh para pakar ilmu pengetahuan
3.      Tanpa nilai etika spiritual yang memihak, etika sekuler agakya masih saja bisa dimanipulir untuk kepentingan vested interested golongan tertentu
4.      Spek teori yang sangat berjasa untuk kesejahteraan hidup manusia, secara umum, dan praktik yang memihak kepada golongan manusia tertentu yang tersisih memang perlu selalu bergoyang. Hubungan antara metafisika dan etika memang selalu bergoyang terus-menerus. Jika berhenti di satu sisi maka aspek dinamika akan tercerabut dari jantung kehidupan manusia sebagai pribadi maupun sosial
C.    Moral Dan Etika Dalam Berkehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Masalah moral dan etika sebenarnya menyangkut persoalan filsafat, filsafat sebagai objek studi kurang begitu popular di tanah air kecuali lingkungan yang terbatas. Moral adalah aturan-aturan normative yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Aplikasi antara nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tertentu menjadi bidang kajian Antropologi[7], sedangkan etika adalah bidang garap filsafat. Realitas moral dalam kehidpan masyarakat yang telah terjernihkan lewat studi kritis itulah yang dibidangi oleh etika. Maka, moral tidak lain adalah objek material daripada etika.
Akhir-akhir ini mulai terdengar topik atau tema-tema seminar yang berkaitan langsung dengan moral dan etika dalam ruang lingkup yang lebih luas. Ada kesadaran baru di kalangan kita semua bahwa pembangunan yang sudah mengantarkan bangsa Indonesia kejenjang kemakmuran material belum akan dapat mencapai target yang diinginkan, jika landasan dan moral diabaikan. Ibaratnya seperti penghuni sebuah kota yang semuanya sudah berkecukupan, tetapi mereka tidak merasakan nikmatnya karena mereka tidak memiliki kesadaran. Maka biasanya kita meyebut kedua hal ini yaitu moral dan etika dalam ruang lingkup cakupan agama secara global yang aturannya perlu dibedakan untuk memperoleh ketajaman analisis, tanpa mengurangi muatan spiritualitasnya.
Gejala umum yang tampak sebagai dampak negatif pembangunan antara lain adanya indikasi gaya hidup konsumtif dan ingin cepat kaya, etos kerja yang belum memadai, kesetiakawanan sosial dan disiplin nasional yang belum mantap dan lain-lain, mencerminkan sikap kepedulian dan sikap mental yang berkaitan erat dengan moral dan etika kelompok masyarakat tertentu, aparat, cendekiawan, yang belum mantap dalam berkehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.[8]
Ungkapan tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa di balik kemakmuran material yang ingin dicapai oleh pembangunan nasional yang berkesinambungan, masih ada faktor x yang justru menjadi kunci bagi kelanjutan usaha pembangunan. Faktor x ini bersifat immaterial, tidak kelihatan, sehingga sulit dikuantifikasikan (diangkatkan), tetapi mempunyai dampak yang luar biasa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
1.      Titik Jenuh Pengajaran Moral: Upaya Memperbaiki Metodologi
Pengajaran dan penanaman moral, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Negara atau oleh lembaga-lembaga keagamaan, yang berjalan secara monotone memang dapat mengantarkan kita pada titik jenuh. Belum lagi ajaran moral itu teraplikasi dalam kehidupan nyata dalam masyarakat, orang sudah merasa jenuh dengan ungkapan-ungkapan klise baik dari orang tua, tokoh masyarakat, maupun aparat pemerintah. Ada kesan bahwa pengajaran moral yang ada sekarang ini sangat bersifat doktriner, sehingga tidak memberi kesempatan dan ruang gerak yang cukup bagi si penerima untuk menguyah ajaran-ajaran moral tersebut terlebih dahulu secara kritis.
Iklim dialog (bukan doktrin), yakni upaya untuk menanamkan moralitas lewat kajian kritis, analitis dan comparative kurang mendapatkan prioritas. Iklim dialog antara pihak pemberi atau penyampai ajaran moral dan pihak penerima ajaran moral kurang tercipta. Ungkapan-ungkapan harus itu, sementara nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat bertolak belakang dengan keharusan-keharusan itu, sedikit banyak akan mengurangi kewibawaan nilai moral itu sendiri. Menghadapi dua kutub yang bertentangan itu diperlukan dialog yang intens antara pihak si pemberi dan penerima. Oleh karena itu keluhan-keluhan dan kritik-kritik yang tidak tertampung secara wajar, maka timbul rasa takut dari pihak penerima untuk mempertanyakan relevansi ajaran moral yang diberikan oleh pihak penatar atau dai bagi kehidupan nyata. Apalagi jika ajaran moralitas itu menyangkut kewibawaan politik, orang semakin segan saja untuk bertanya. Tidak adanya iklim yang favorable ini menimbulkan  rasa antipasti (acuh tak acuh) dari msyarakat yang pada gilirannya akan menghambat proses penanaman  nilai-nilai moral yang luhur itu dan menjadi ganjalan dalam upaya persatuan dan kesatuan bangsa.
Orang melihat dengan mudah penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam keluarga, dalam masyarakat desa atau kota, dalam tubuh pemerintah dan non-pemerintah, dalam perguruan tinggi dan sebagainya, tapi mereka takut dan apatis terhadap persoalan yang sebenarnya dihadapi secara nasional. Pengajaran moral seperti yang berjalan sekarang ini bisa dengan mudah berubah menjadi sebuah karikatur. Dalam masyarakat yang sudah semakin kritis seperti sekarang ini dan akan bertambah kritis di masa yang akan datang, boleh jadi pengajaran moral dapat berubah menjadi karikatur. Dalam bahasa agama karikatur bisa disebut dengan istilah munafiq. Munafiq tidak lain adalah sebuah karikatur masyarakat yang erat kaitannya dengan pengajaran moral.
2.      Etika: Upaya Mengurangi Gambar Karikatur
 Karikatur adalah sejenis gambar atau lukisan wajah seseorang yang sengaja dibuat tidak sempurna oleh pencetusnya sehingga menimbulkan rasa geli dan secara sepontan menimbulkan ketawa bagi para penontonnya. Dalam pengajaran moral secara tradisional selalu saja terjadi gap atau jurang yang menganga antara idea dan relita, antara ajaran atau doktrin dan aplikasi atau praktiknya. Lebar jurang antara dunia ajaran atau idea dan kenyataan hidup sehari-hari menjadikan orang sinis terhadap setiap wejangan atau pengarahan yang bersifat moralis.
Kalau sistem penyajian nilai-nilai moral seperti yang dilakukan secara tradisional dapat menghasilkan titik jenuh dan malahan menjadikan orang tambah kebal dari panggilan akal sehat dan suara hati nurani, maka perlu peninjauan kembali cara-cara yang ditempuh secara tradisional.
Salah satu hal yang agak dilupakan orang dalam proses pengajaran moral adalah upaya para penjaga gawang moral masyarakat, baik itu orang tua, guru, dai atau mubaligh, tokoh panutan masyarakat, pemimpin formal dan informal, penatar dan pejabat pemerintah dalam memahami realita seseorang sebagai seorang subjek yang aktif, dinamis dan otonom dengan berbagai pengalaman-pengalaman baru yang diperoleh setiap saat dari berbagai sumber, baik lewat keterlibatan seseorang dengan keahlian khusus, iklim intelektual-rasional sebagai hasil akumulasi pendidikan yang mereka peroleh dari bangku sekolah, kuliah dan kursus, kontak dengan berbagai ideologi dan pandangan  politik , gaya hidup baru, norma-norma dan nilai-nilai yang baru lantaran masuknya paaraabola. Latar belakang ini semua menjadikan orang semakin kritis dalam menghadapi persolan moral.[9]
 Kajian kritis terhadap norma-norma yang berlaku dimasyarakat merupakan persyaratan yang tidak bisa ditawar-tawar sebagai media pendewasaan dan pematangan berpikir anggota masyarakat. Dengan kajian kritis, akan terjadi dialog yang intens antara kedua belah pihak, yakni antara pihak pemberi, penganjur, atau penjaga moral masyarakat dan pihak penerima. Dalam kaitan inilah, seorang penatar, guru, dosen, dai atau mubaligh, pejabat pemerintah perlu menguasai medan kajian moral yang sesungguhnya. Dalam kaitan ini pula, kajian etika baru memainkan peranan yang sangat penting dalam proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai moral yang ingin diwariskan kepada generasi berikutnya.
Semua norma-norma tidak dapat luput dari kajian kritis agar dapat terinternalisasi dalam jiwa seseorang serta mematangkan dan mendewasakan wawasan berpikir seseorang. Dalam hubungan ini, kita sependapat dengan Alasdair Macyntire, bahwa norma dan etika adalah juga sebagai cermin tata cara dan pola berpikir suatu masyarakat pendukung nilai-nilai dan norma-norma tertentu.[10]
Namun patut disayangkan, bahwa kajian kritis sering dihindari oleh siapa saja, termasuk diri kita sendiri, karena adanya pra-anggapan yang sudah terlanjur tertanam kuat dalam masyarakat bahwa:
Pertama, kajian kritis akan menipiskan kadar moralitas seseorang. Ada anggapan yang perlu diuji sebenarnya secara empiris bahwa jika orang terlalu bersikap kritis terhadap moral yang berlaku, maka dia akan dengan mudah untuk melepaskan diri dari keterkaitan aturan moral yang berlaku.
Kedua, kajian kritis terhadap moralitas yang berlaku dalam masyarakat akan mengganggu stabilitas kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Praduga ini perlu ditinjau kembali agar kita dapat terhindar dari karikatur diatas dan sekaligus untuk mencari jawab mengapa  masyarakat cenderung bersifat permissive.
Dalam proses perjalan panjang pengajaran dan penanaman moral yang sangat mendasar bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, kita perlu menghindari kekhawatiran yang berlebihan tentang adanya destabilitas dalam kehidupan masyarakat. Ada atau tidaknya kekhawatiran dari  pihak luar, masyarakat akan terus berkembang dengan sendirinya dan bertambah kritis. Kekhawatiran dengan adanya destabilitas, jangan-jangan hanyalah merupakan apriori atau praduga yang tidak terbukti dalam kenyataan sesungguhnya. Jangan-jangan kekhawatiran adanya destabilitas adalah ungkapan lain perlunya melestarikan status quo yang menguntungkan posisi dan kedudukan kita dengan mengorbankan tuntutan hati nurani kita sendiri yang mempunyai dimensi kepedulian sosial. Dalam tingkat tertentu, sulit memang membedakan antara kekhawatiran murni yang berdampak positif-konstruktif dan kekhawatiran untuk melestarikan status quo.
Usaha pencarian bersama yang termanifestasikan dalam kajian etika. Dalam kajian moral yang kritis yakni kajian etika tidak ada kesan menggurui, karena ada proses take and give. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa dalam hal moralitas, masyarakat manapun sudah paham mana yang ma’ruf dan mana yang munkar.
Dala kajian etika yang bersifat dialogis akan dicapai kedewasaan berpikir dan kematangan bertindak. Menempatkan manusia sebagai subjek berarti mengakui keberadaannya yang utuh dengan dinamikanya sendiri dsebagai partner dialog. Dengan model pendekatan manusiawi, setidaknya kesan karikaturis akan terkurangi, meskipun tidak dapat seluruhnya hilang lantaran masyarakat sudah begitu berkembang cepat, lebih dari apa yang kita duga, lewat pertumbuhan budaya dan Iptek, proses asimilasi dan akulturasi budaya, sentuhan arus informasi dan globalisasi dunia yang begitu cepat.
3.      Aspek Theory dan Praxis Dalam Moralitas
Untuk membangun sistem moral bangsa dan disiplin nasional yang tangguh, rasanya memang tidak ada resep mujarab yang bersifat instant. Penegakan disiplin nasional yang kuat berdasarkan nilai-nilai pancasila membutuhkan waktu yang cukup lama, lantaran banyak faktor yang terkait. Tapi tidak ada alasan untuk tidak memulainya.
Tanpa perlu menutup adanya usaha-usaha lain, setidaknya ada dua upaya yang tidak dapat terpisahkan dalam usaha membina persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara sistematik, komperhensif dan integralistik lewat jalur moral dan etika, yaitu perpaduan antara aspek kajian(theory) dan aspek aksi(praxis).
Aspek pertama, yakni aspek studi atau kajian, meliputi dua sisi yang perlu ditinjau ulang:
a.       Sisi metodologi, di sini kita perlu mengkaji ulang norma-norma yang ada memperbaiki sistem dan metode penyampaian yang dulunya hanya bersifat doktriner sehingga membentuk manusia bertipe yes-man menjadi bersifat dialogis-terbuka.
b.      Sisi substansi, kajian etika yang bersifat kritis terhadap pandangan-pandangan moral dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Ini perlu diselenggarakan dalam upaya mendewasakan cara berpikir masyarakat dan menimbulkan etos kerja tinggi dan rasa tanggung jawab dari dalam. Di sini kita terpaksa perlu berkenalan dengan teori-teori etika yang masih jarang kita kenal.[11]
 Menumbuhkan sikap kritis dengan sendirinya akan mematangkan cara berpikir dan kedewasaan bertindak serta daya kontrol terhadap lingkungan sekitar. Daya kontrol terhadap lingkungan sekeliling bisa tumbuh jika masyarakat dibiasakan untuk berargumentasi, berpikir kritis sebebas-bebasnya sehingga kritik bukan lagi dianggap sebagai barang mewah atau malah dianggap sebagai momok atau beban yang berat dari kedua belah pihak. Berpikir kritis merupakan proses yang perlu ditempuh untuk mencerdaskan dan mematangkan warga Negara.
Aspek kedua, adalah praxis atau contoh prilaku dan tindakan nyata. Tidak kalah penting dari aspek studi atau kajian, aspek keteladanan juga sangat berarti dalam memperkokoh ketahanan mental suatu bangsa. Masyarakat Indonesia masih cenderung untuk berbudaya elitis dalam arti bahwa golongan elit masyarakat selalu dijadikan panutan oleh masyarakat sekitar. Tidak hanya di Indonesia saja yang menekankan aspek panutan atau keteladanan dari kaum elit. Dalam masyarakat maju dan modern sekalipun golongan elit masih tetap berfungsi sebagai panutan masyarakat.

Tinjauan kritis etika memang harus berjuang pada aspek praxis yang tercermin dalam bentuk tanggung jawab hidup baik dan bersih. Jadi aspek studi dan aspek aksi dari dimensi moralitas memang ibarat bandul jam yang selalu bergoyang kedua sisi. Jika ia bergoyang kesisi studi kajian maka ia akan mempertajam wawasan berpikir dan kematangan bertindak, sekaligus mengurangi kesan karikaturis. Jika ia bergoyang ke sisi action dan praxis maka pengetahuan tentang moralitas itu teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
D.    Dimensi Etis-Teologis Dan Etis-Antropologis Dalam Pembangunan Berwawasan Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Isu lingkungan hidup mulai gencar dibicarakan oleh para ilmuan, politikus dan para cendekiawan ketika dunia maju sudah lama menikmati pembangunan hasil teknologi industri dan dunia berkembang sedang merayap menuju era industrialisasi. Para pemimpin politik dunia berkembang meragukan  kemauan baik dunia maju ketika baru-baru ini dunia maju mengajukan persyaratan perlunya pengkaitan dana bantuan luar negeri dengan isu lingkungan hidup dan pelestarian lingkungan.
Masalah lingkungan hidup adalah masalah global dunia. Musibah pencemaran udara dan air bukan hanya akan menimpa satu bangsa atau Negara, tapi akan menimpa Negara tetangga sekitar. Pencemaran dikota lambat laun juga akan sampai ke desa. Hujan asam akan menyebar melampaui batas-batas Negara.
Para filosof dan ilmuan sebelum perang dunia kedua, yang lebih dikenal dengan sebutan kelompok Wina, memang pernah mengeliminasi metafisika dan etika dari bangunan utuh pengalaman manusia. Jangankan para ilmuan alam, sedangkan para ilmuan agama sendiri juga ikut-ikut memalingkan diri dari dimensi etis, karena dianggap kurang relevan dengan metodologi ilmu pengetahuan yang bersifat objektif. Struktur fundamental hukum-hukum alam dan sosial merupakan unsur pokok yang sangat dicari-cari oleh para ilmuan, sedangkan etika dan moralitas yang cirri dasarnya adalah pemihakan dianggap kurang relevan dalam wilayah kajian mereka.[12]
Dimensi etis hampir selalu ditempatkan pada sisi yang kurang menguntungkan, karena dianggap sebagai faktor penghambat saja. Dalam kerangka tersebut kita perlu menghadapi upaya seminar lingkungan hidup yang menempatkan dimensi etis dalam salah satu topik bahasannya.
1.      Dimensi Etis-Teologis: Pengalaman Islam
Jika kita membaca kitab suci Al-Qur’an dengan teliti, kita akan mendapatkan pandangan dasar yang sangat mencolok bahwa ternyata Al-Qur’an tidak semata-mata berbicara tentang hal-hal yang berssifat metafisis-eskatologis, tetapi juga berbicara tentang alam semesta yang dihuni oleh manusia serta makhluk-makhluk sekarang ini.[13]
Al-Qur’an memproklamasikan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia, bukan hanya petunjuk dalam arti metafisis-eskatologis, tetapi juga menyangkut masalah-masalah praktis kehidupan manusia di alam dunia sekarang ini, termasuk patokan-patokan dasar tentang bagaimana manusia menyantuni alam semesta daan lingkungan sekitarnya. Terlepas dari pergumulan teologis-filosofis abad klasik yang sangat melelahkan, suatu hal yang jelas bahwa Al-Qur’an secara eksplisit member porsi yang lebih dari cukup pada persoalan-persoalan alam semesta, oleh para pakar sekarang disebut dengan lingkungan alam hidup.  
Menurut ilmu ekologi, memang tidak ada makhluk yang sia-sia diciptakan oleh Khaliknya. Kehidupan makhluk, baik tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia saling kait mengkait dalam satu lingkungan hidup. Bila terjadi gangguan terhadap salah satu jenis makhluk akan terjadilah gangguan terhadap lingkungan hidup secara keselurhan. Menurut teologi islam, pembangunan yang dilakukan oleh manusia sebenarnya tidak harus pembangunan material-ekonomi, pembangunan peru bermuatan nilai dimana slah satunya adalah nilai kesadaran yang memihak perlunya menjaga alam lingkungan.[14]
2.      Dimensi Etis-Antropologis: Upaya Mengurangi Jurang Pemisah
Para ahli etika sepakat bahwa mempertautkan antara idea dan realita yang biasa lebih dikenal dengan hubungan antara ought dan is tidaklah semudah yang orang kira. Ilmuan, industriawan, pengusaha, politikus dan rakyat awam sebenarnya tidak dapat menghindarkan diri dari keterlibatannya dengan persoalan etika. Pertautan antara ilmu pengetahuan dan teologi sebenarnya juga tampak jelas mencuat dalam masalah-maslah etika.

Etika sebenarnya bukan hanya sekedar larangan-larangan normative tetapi lebih merupakan puncak akumulasi kemampuan operasionalisasi intelegensia seseorang. Tetapi merupakan ramuan yang terpadu antara norma-norma yang seharusnya yang dijadikan pedoman untuk berperilaku dan bertindak dan tuntutan kebutuhan kehidupan praktis yang tidak bisa dihindarkan.
Masalah lingkungan hidup dalah masih sangat baru, maka pengetahuan dan kesadaran akan lingkungan perlu dibudayakan lewat berbagai media cetak, visual dan media-media yang lain. Penanaman kesadaran perlunya lingkungan hidup yang sehat dan lestari perlu ditanamkan sejak dini, mengingat budaya kita adalah budaya panutan maka peran elite terdidik dan juga sangat menentukan. Kalau gerakan sadar lingkungan membudaya di kalangan elite, tindakan rill mereka dalam merealisasikan kesadaran tersebut, maka masyarakat luas akan mengikutinya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan masalah diatas dapat disimpulkan bahwa:
hubungan antara konsepsi etika dan moralitas islam yang dianut oleh berbagai masyarakat Islam kontemporer dalam hubungannya dengan era industrialisasi dan globalisasi. Ada beberapa teori dan konsep-konsep yang menjelaskan pola hubungan antara wahyu (Al-Qur’an atau al-naql) dan akal (‘aql, reason) dalam struktur pola pikir ke Islaman. Hal demikian perlu menggambarkan betapa kayanya konsepsi pemikiran Islam Klasik dalam membahas, mempertajam, melerai berbagai kontroversi pendapat yang ingin menghubungkan antara wahyu dan akal dalam bidang etika.
Persoalan moralitas dan etika sebenarnya menyangkut persoalan cara berpikir atau persoalan filsafat. Dan belajar filsafat merupakan pola berpikir suat masyarakat, kelompok beragama, suku, dan bangsa. Filsafat moral merupakan cabang filsafat yang paling sedikit mendapatkan perhatian dari para peneliti kebudayaan islam, baik dulu maupun sekarang.
Kesadaran akan historisitas atau kesejarahan kemanusiaan seorang muslim perlu digaris bawahi agar perlunya perubahan dan adaptasi-adaptasi seperlunya dengan kecepatan arus glombang industrialisasi dan globalisasi yang melanda dunia tanpa pandang bulu. Dengan demikian usaha-usaha untuk menjadi penafsir al-qur’an hidup dalam masyarakat secara luwes dan lapang dada dapat direalisasikan.



[1] Alasdair Macintyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, University of Note Dame Press, Edisi kedua, Indians 1984, hlm. 23.
[2] Ahmad Muhamud Subhi, al-Falsafah al-Akhlaqiyyah fi al-Fikr al-Islamy, Dar Ma’arif, Mesir, hlm.16
[3] Clyde Kluckhoohn, Ethical Relativity dalam Ethical Relativism, John Ladd, Wardworth Publishing Company, California, 1973
[4] Muhammad Yusuf Musa, Filsafat Akhlak Islam, Mussasah al-Khanajy, Mesir, 1963
[5] Abu Nasr al-Farabi, Kitab Al-Huruf, Libanon, 1970, hlm. 131
[6] Muhammad Arkoun, al-Islam: akhlak wa al-Siyasah, Markaz al-inma’ al-qaumy, Beirut, 1990
[7] Clyde Kluckhon, Ethical Relativism, Wadsworth Publishing Company, California, 1973, hlm. 86-90
[8] Cendekiwan dan Pimpinan Organisasi Sosial Kemasyarakatan, JATENG dan DIY, hlm. 2
[9] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks, PT Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 12
[10] Alasdair Macintyre, Sebuah Studi Dalam Teori Moral, Edisi Kedua, Indiana, 1984, hlm. 23
[11]  Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1990
[12] Fransisco Jose Moreno, Agama dan Akal Pikiran, Rajawali Press, Jakarta, 1985, hlm. 181
[13] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung, 1983, hlm.95-116
[14] Drs. N.Daldjoeni, Penduduk Lingkungan dan Masa Depan, Bandung, 1985, hlm. 73

Post a Comment

0 Comments