Kepuasan Kerja

Salah satu sasaran penting dalam manajemen sumberdaya manusia pada suatu organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja anggota organisasi yang bersangkutan. Kepuasan kerja tersebut diharapkan pencapaian tujuan organisasi akan lebih baik dan akurat. Hasil penelitian Herzberg menyatakan bahwa faktor yang mendatangkan kepuasan adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, dan kemajuan (Armstrong, 1994: 71). Pendapat lainnya menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka (Handoko, 2001: 193).

Kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dapat dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan dalam pekerjaan adalah kepusasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu penting. 


Kepuasan kerja di luar pekerjaan adalah kepuasan kerja karyawan yang dinikmati di luar pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil  kerjanya agar dia dapat membeli kebutuhan-kebutuhannya. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasannya di luar pekerjaan lebih mempersoalkan balas jasa daripada pelaksanaan tugas-tugasnya. Kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan  adalah kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan pekerjaannya. Karyawan yang menikmati kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan akan merasa puas jika hasil kerja dan balas jasanya dirasa adil dan layak.

Tidak ada tolok ukur tingkat kepuasan yang mutlak karena setiap individu karyawan berbeda standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja hanya dapat diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, dan pergantian (turnover) kecil maka secara relatif kepuasan kerja karyawan baik. Sebaliknya jika kedisiplinan, moral kerja, dan turnover karyawan besar maka kepuasan kerja karyawan di perusahaan berkurang (Hasibuan, 2001: 202). 

Teori kepuasan kerja menurut Wesley dan Yulk dapat diterangkan menurut tiga macam teori, yaitu: Pertama, discrepancy theory mengemukakan bahwa untuk  mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian, Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja tergantung pada discrepancy antara should he (expectation, needs atau values) dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan. Dengan demikian, orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wanous dan Lawler (dalam As'ad, 2003: 105) mengemukakan bahwa sikap karyawan terhadap pekerjaannya tergantung pada bagaimana ketidaksesuaian (discrepancy) yang dirasakan.

Kedua, equity theory yang dikembangkan oleh Adam (1963). Pada prinsipnya teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas sepanjang mereka merasa ada keadilan (equity). Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor, maupun di tempat lain. Teori ini mengidentifikasi elemen-elemen equity meliputi tiga hal, yaitu: (a) input, adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh pegawai sebagai masukan terhadap pekerjaannya; (b) out comes, adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan sebagai dari hasil pekerjaannya; (c) comparisons persona, adalah perbandingan antara input dan out comes yang diperolehnya. 

Ketiga, Two factor theory yang dikemukakan oleh Herzberg (1966). Prinsip
prinsip teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak
merupakan variabel yang kontinyu (dalam As'ad, 2003: 108). Berdasarkan hasil
penelitiannya Herzberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap
pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu: (a) statisfers atau motivator, factor-faktor
atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan yang terdiri dari:
achievement, recognition, work it self, responsibility dan advancement; dan (b)
dissatifiers atau hygiene factors, yaitu faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber
ketidakpuasan, seperti: company policy and administration, supervision tehnical, salary,
interpersonal relations, working condition, job security dan status.

Secara historis, karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja akan melaksanakan pekerjaan dengan baik. Masalahnya adalah terdapatnya karyawan yang kepuasan kerjanya tinggi tidak menjadi karyawan yang produktivitasnya tinggi. Banyak pendapat mengemukakan bahwa kepuasan kerja yang lebih tinggi, terutama yang dihasilkan oleh prestasi kerja, bukan sebaliknya. Prestasi kerja lebih baik mengakibatkan penghargaan lebih tinggi. Bila penghargaan tersebut dirasakan adil dan memadai, maka kepuasan kerja karyawan akan meningkat karena mereka menerima penghargaan dalam proporsi yang sesuai dengan prestasi kerja mereka. 

Kondisi kepuasan atau ketidakpuasan kerja tersebut menjadi umpan balik yang akan mempengaruhi prestasi kerja di waktu yang akan datang. Jadi, hubungan prestasi dan kepuasan kerja menjadi suatu sistem yang berlanjut. Menurut Strauss dan Sayles (1980) kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi dini. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja rendah, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, sering absen dan tidak melakukan kesibukan yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan yang harus dilakukan. 

Dessler (1982) mengemukakan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja
biasanya mempunyai catatan kehadiran dan peraturan yang lebih baik, tetapi kurang
aktif dalam kegiatan serikat karyawan dan kadang-kadang berprestasi lebih baik
daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja (Lih. Handoko, 2001: 196). Oleh karena itu, kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi karyawan maupun perusahaan, terutama untuk menciptakan keadaan positif di lingkungan kerja perusahaan. 

Kepuasan kerja merupakan persoalan umum pada setiap unit kerja, baik itu berhubungan motivasi, kesetiaan ataupun ketenangan bekerja, dan disiplin kerja. Harold E. Burt mengemukakan pendapatnya tentang faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja adalah: pertama, faktor hubungan antarkaryawan, antara lain: (a) hubungan antara manajer dengan karyawan, (b) faktor fisik dan kondisi kerja, (c) hubungan sosial di antara karyawan, (d) sugesti dari teman sekerja, (e) emosi dan situasi kerja. Kedua, faktor indivual, yaitu yang berhubungan dengan sikap orang terhadap pekerjaannya, umur orang sewaktu bekerja, dan jenis kelamin. Ketiga, faktor luar (extern), yang berhubungan dengan keadaan keluarga karyawan, rekreasi, pendidikan (training, up grading, dan sebagainya).


Dalam hal kepuasan kerja, Gilmer (1966) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah kesempatan untuk maju, keamanan kerja, gaji, perusahaan dan manajemen, faktor intrinsik dan pekerjaan, kondisi kerja, aspek sosial dalam pekerjaan, komunikasi, dan fasilitas (Lih.: As'ad, 2003: 114).

Sementara itu, menurut Heidjrachman dan Husnan mengemukakan beberapa faktor mengenai kebutuhan dan keinginan pegawai, yakni: gaji yang baik, pekerjaan yang aman, rekan sekerja yang kompak, penghargaan terhadap pekerjaan, pekerjaan yang berarti, kesempatan untuk maju, pimpinan yang adil dan bijaksana, pengarahan dan perintah yang wajar, dan organisasi atau tempat kerja yang dihargai oleh masyarakat (Heidjrachman dan Husnan, 2002: 194). 

Menurut Loeke (dalam Sule, 2002: 211), kepuasan atau ketidakpuasan karyawan tergantung pada perbedaan antara apa yang diharapkan. Sebaliknya, apabila yang didapat karyawan lebih rendah daripada yang diharapkan akan menyebabkan karyawan tidak puas. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan atau ketidakpuasan kerja yaitu: jenis pekerjaan, rekan kerja, tunjangan, perlakuan yang adil, keamanan kerja, peluang menyumbang gagasan, gaji/upah, pengakuan kinerja, dan kesempatan bertumbuh.

Merujuk pada berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan mengenai faktor faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan dalam rangka peningkatan kinerjanya adalah: (a) faktor psikologik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketenteraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan keterampilan; (b) faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya; (c) faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi. jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur, dan sebagainya; (d)  faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi, dan sebagainya.

Post a Comment

0 Comments