JUAL BELI DALAM ISLAM
BAB I
Latar Belakang
Kehidupan
dalam bermasyarakat memang penting, apalagi manusia tidak dapat hidup sendiri.
Oleh sebab itu manusia saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya,
atau disebut juga dengan bermuamalah. Memang telah kita ketahui, manusia adalah
makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan muamalah. Namun tidak semua
masyarakat mengetahui secara kaffah akan peraturan-peraturan dalam bermuamalah, misalnya dalam kasus jual beli.
masyarakat mengetahui secara kaffah akan peraturan-peraturan dalam bermuamalah, misalnya dalam kasus jual beli.
Islam
melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia
itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas,
termasuk aktivitas ekonomi. Secara umum kita tahu bahwa pasar merupakan tempat
yang paling ramai dikunjungi oleh para pembeli, di pasar merupakan suatu tempat
jual beli yang cukup ramai, pasar disini dapat berupa swalayan atau supermarket
dan pertokoan. Disamping itu pula kegiatan jual beli terdapat di perbankan. Di
perbankan lebih umumnya adalah penjualan produk atau market-market lainnya.
Namun
hal yang mungkin menjadi perhatian adalah apakah transaksi jual beli di
Indonesia telah sesuai dengan ajaran agama, atau paling tidak transaksi jual
beli sudah saling menguntungkan atau bahkan merugikan. Didalam isalam, jual
beli sudah dikemas sedemikian rupa agar kedua belah pihak salaing untung. Maka
dari itu transaksi jual beli dalam islam sangat diatur sedemikian rupa, baik
oleh Allah Swt langsung melalui firmannya, dari Nabi Saw melalui haditsnya dan
dari para ulama melalui nalar ijtihadnya. Dewasa ini Tidak sedikit kaum
muslimin yang mengabaikan dalam mempelajari muamalat, melalaikan aspek ini
sehingga tidak mempedulikan lagi, apakah barang itu halal atau
haram menurut syariat Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam istilah fiqh disebut
al-ba’I yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah
al-Zuhaily mengartikannya secara bahasa dengan “menukar sesuatu dengan dengan
sesuatu yang lainnya”. Kata al-ba’I dalam arab terkadang digunakan untuk
pengertian lawannya, yaitu kata al-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-ba’I
berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.
Secara terminology, terdapat beberapa
definisi jual beli yang dikemukakan para ulama fiqh, sekalipun substansi dan
tujuan masing-masing definisi sama. Menurut Sayyid sidiq jual beli ialah
pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan, atau memindahkan
milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Menurut wahbah al-zuhaily jual beli
ialah saling tukar harta dengan harta melalui cara tertentu atau tukar menukar
sesuatu yang diinginkan dengan sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Menurut pendapat lain yang dikemukakan oleh idnu qudamah (seorang ulama
malikiyah) jual beli ialah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk
pemindahan milik dan pemiliknya[1].
Di kalangan para ulama Hanafi terdapat
dua definisi tentang jual belia, yang pertama, jual beli adalah saling tukar
menukar harta dengan harta melalui cara tertentu. Yang kedua, jual beli adalah
tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melaui cara tertentu
yang bermanfaat.
Ulama madzhab maliki, Syafi’I dan
Hanbali memberikan pengertian, jual beli adalah saling menukar harta dengan
harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Definisi ini menekankan pada
aspek milik pemilikan, untuk membedakan tukar menukar harta/barang yang tidak
mempunyai akibat milik kepemilikan, seperti sewa menyewa. Demikian juga harta
yang dimaksud adalah harta dalam pengertian luas, bias barang atau uang.[2]
Pengertian jual beli secara syara’
adalah tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan emberi kepemilikan.
Sebagian ulama member pengertian; tukar menukar harta meskipun ada dalam
tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan sesuatu yang semisal dengan
keduanya untuk memberikan secara tetap. Kedua pengertian tersebut mempunyai
kesamaan dan mengandung hal-hal antara lain:
1. Jual
beli dilakukan oleh dua orang yang saling melakukan tukar menukar
2. Tukar
menukar tersebut atas suatu barang atau suatu yang dihukumi seperti barang,
yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak
3. Sesuatu
yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjual
belikan
4. Tukar
menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memiliki
sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan
pemilikan yang abadi.[3]
B. Landasan/Dasar Hukum Jual Beli
Jual
beli dibolehkan dengan adanya dalil dari al-Quran, dan as-Sunnah dan juga Ijma’
Ulama. Adapun dalil dari al-Quran adalah firman Allah SWT.
1. Surah
Al-Baqarah ayat 275
¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
Dan allah menghalakan jual beli dan
mengharamkan riba (Qs; AL-Baqarah, 2:275)
Dalil
dari sunnah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari
riwayat Ibnu Abbas r.a, dia berkata “pasar Ukadz, Mujnah, dan Dzul Majaz adalah
pasar yang sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika datang islam, mereka membencinya
lalu turnlah ayat:
2. Surah
Al-Baqarah ayat 198
}§øŠs9 öNà6ø‹n=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§‘ 4 !#sŒÎ*sù
“tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
(rezeki hasil perniagaan) dari tuhanmu…..”(al-Baqarah 2:198)
dan
Nabi Saw bersabda “penjual dan pembeli
mempunyai hak iyar selama mereka belum berpisah” (Muttafaq’alaih).[4]
3. Surah
an-Nisa ayat 29
HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB …
Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu….
(an-Nisa ayat 29)
Dasar
hukum berdasarkan sunnah Rasulullah, antara lain:
1.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi
Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat mengenai
pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasulullah SAW menjawab: usaha tangan
manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati (HR. Al-Bazzar dan
Al-Hakim)
2.
Hadits
dari Al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibbah, Rasulullah menyatakan: ”Jual beli
itu didasarkan atas suka sama suka”
3.
Hadits
yang diriwayatkan al-Tarmizi, Rasulullah SAW bersabda: ”pedagang yang jujur dan
terpercaya sejajar (tempatnya di syurga) dengan para nabi, shaddiqin dan
syuhada”
Dari kandungan ayat al-Quran dan Hadits diatas para ulam
fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli adalah mubah (boleh). Akan
tetapi pada situasi-situasi tertentu menurut imam al-Syathibi (w. 790 H) pakar
fiqh maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Imam al-Syathibi memberi
contoh terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari
pasar dan harga melonjak naik). Apabila seseorang melakukan ihtikar yang
menyebabkan harga melonjak naik yang ditimbun dan disimpan itu, maka
menurutnya, maka pihak pemerintah boleh memaksa pedagang menjual barangnya itu
sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga[5].
C. Rukun
dan Syarat Jual Beli
didalam literatur fiqih muamalat, khususnya pada
pembahasan jual beli, terdapat empat konsep yang berhubungan dengan keuntungan
yang diterima penjual. Keempat konsep ini dikategorikan sebagai ragam jual beli
berdasarkan harga, yaitu,: pertama al-wadhiat
yaitu penjual menjau barang kepada pembeli dengan harga yang lebih murah dari
harga pembelian; kedua al-tauliyat,
yaitu penjual menjual barang kepada pembeli dengan harga yang sama dengan harga
pembelian; ketiga, al-musawamat yaitu
penjual yang harga jualnya menurut kesepakatan antara penjual dan pembeli tanpa
melihat harga pokok pembelian; dan keempat, al-murabahat
saling menjual suatu barang dengan mengaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.[6]
Jual beli harus memiliki hal yang harus ada terlebih
dahulu agar akadnya dianggap syah dan meningkat. Beberapa hal tersebut kemudian disebut rukun
jual beli, ia adalah penyangga bagi terjadinya jual beli. Tentang banyaknya
rukun jual beli ulama madzhab berbeda pendapat.
Madzhab hanafi
menegaskan bahwa rukun jual beli hanya satu ialah hijab. Menurut mereka, yang
paling prinsip dalam jual beli adalah saling ridla yang diwujudkan dengan
kerelaan untuk saling memberikan barang. Maka, jika jika telah terjadi ijab,
disitu jual beli telah dianggap berlangsung tentunya dengan adanya ijab, pasti
ditemukan hal-hal yang terkait dengannya, seperti aqidain, obyek jual beli dan
nilai tukarnya.
Jumhur
Ulama menetapkan rukun jual beli ada 4 yaitu:
1. Orang
yang berakad (penjual dan pembeli)
2. Shigat
(lafal ijab dan qabul)
3. Barang
yang dibeli
4. Nilai
tukar pengganti barang
Jual
beli dianggap syah jika memnuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut
ada yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad, obyek akad maupun
shigatnya. Secara terperinci syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Syarat
yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku; mereka harus memiliki kompetensi
dalam melakukan aktifitas itu, yakni sudah akil baligh serta berkemampuan
memilih. Maka tidak syah jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum nalar,
orang gila atau orang yang dipaksa.
2. Syarat
yang berkaitan dengan obyek jual beli; obyek jual beli harus suci, bermanfaat,
bias diserah terimakan dan merupakan milik penuh penjual. Maka tidak syah
memperjual belikan bangkai, darah daging babi dan barang lain yang menurut
syara’ tidak ada manfaatnya. Juga tidak syah memperjual belikan barang yang
masih belum berada dalam kekuasaan penjual, barang yang tidak mampu diserahkan
dan barang yang berada ditangan seseorang yang tidak memilikinya.
3. Syarat
yang berkaitan dengan shighat akad,
yaitu ijab dan Kabul dilakukan dengan satu majelis, artinya antar penjual dan
pembeli hadir didalam satu ruangan yang sama, Kabul sesuai dengan ijab, contoh
aku jual baju ini 10 ribu, pembeli menjawab saya beli baju ini 10 ribu.
Maksud dari satu ruangan adalah bukan
dalam artian satu ruangan khusus, menurut ulama kontemporer Mustafa Ahmad
Az-Zarqa’ dan Wahbah Zuhaily berpendapat bahwa satu majelis tidak harus
diartikan hadir dalam satu tempat, tetapi satu situasi dan kondisi, meskipun
antara keduanya berjauhan tetapi mebicarakan obyek yang sama.
Tentang persyaratan terjadinya ijab dan
qabul dengan lisan jumhur ulama berpendapat tanpa harus mengucapkan ijab dan
qabul ulama sepakat kalau hal itu diperbolehkan apabila hal tersebut sudah
menjadi suatu kebiasaan disebuah negeri.[7]
Adapun
syarat mengadakan akad yaitu:
1.
Syarat
orang yang berakad
a. Orang
yang berakad harus berakal, bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah.
b. Orang
yang berakad harus banyak berperan
2.
Barang
yang diakadkan harus memnuhi syarat
a.
Barangnya
harus ada
b.
Barangnya
berupa harta yang jelas harganya
c.
Barangnya
dimiliki sendiri, artinya terjaga
d. Barang
itu dapat diserahkan sewaktu akad
Secara
umum syarat sah jual beli yaitu segala sesuatu yang harus ada pada setiap macam
jual beli, sehingga dianggap sah secara syara’. Agar dianggap sah akad jual
beli harus terhindar dari enam aib, yaitu: ketidakjelasan tentang keadaan
barang (karena bias menimbulkan perselisihan), adanya pemaksaan, pemberian
batas waktu, adanya penipuan, adanya bahaya dan syarat-syarat yang merusak.
Secara
khusus syarat sah jual beli yaitu syarat yang khusus pada sebagian jual beli
dan bukan bagian jual beli yang lain. Syarat-syarat yang khusus untuk beberapa
jenis jual beli adalah sebagai berikut:
1.
Menahan barang pada transaksi jual beli
barang yang mudah dipindahkan. Bila seseorang menjual barang yang mudah
dipindah dan dulu pernah dia beli, kemudian untuk sahnya jual beli disyaratkan
hendaknya barang itu ditahan olehnya dari penjual yang pertama, karena barang
yang dipindah banyak rusaknya. Maka pada jual beli yang kedua sebelum ia
menahan barang dimaksud terdapat unsure penipuan. Tetapi bila barang yang
dijual berupa tanah atau rumah, maka jual belinya boleh dilakukan sebelum
barang tersebut ditahan, menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
2.
Mengetahui harga pertama bila jual
belinya berbentuk murabahah, tawliyah,
wadli’ah, atau syarikah.
3.
saling menahan dua barang pengganti
sebelum berpisah bila jual beli bentuk sharf
(pertukaran mata uang)
4.
adanya persesuaian pada dua barang
pengganti bila barangnya bersifat riba dan terhindar dari subhat riba
5.
terpenuhi syarat salam pada jual beli
berbentuk salam
6.
menahan hutang-hutang yang tetap dalam
tanggungan, seperti barang salam, modal salam, jual beli barang dengan hutang
atas tanggungan orang selain pembeli, maka jual beli ini tidak sah dari orang
lain yang bukan menanggung hutang kecuali setelah ditahan. Sebagaiman tidak sah
orang yang punya salam (pembeli) untuk menjual barang salamsebelum dia menahan
barang dari penjual. Dan juga tidak sah bagi orang yang menghutangi, membeli
barang dengan dengan uang hutangnya dari orang selain orang yang berhutang
sebelum barang itu ditahan.[8]
Tujuan dari syarat adalah untuk mencegah
terjadinya pertentangan dan perselisihan diantara pihak yang bertransaksi,
menjaga hak dan kemaslahatan kedua pihak, serta menghilangkan segala bentuk
keidak pastian dan resiko. Jika
salah satu syarat in’tqad tidak terpenuhi, maka akad akan
menjadi batil.
Jika dalam syarat sah tidak lengkap, maka akad
akan menjadi fasid. Jika dalam salah satu syarat nafadz tidak dipenuhi, maka akad menjadi mauquf. Dan jika salah satu
syarat luzum tidak dipenuhi, maka pihak yang bertransaksi
memiliki hak khiyar, meneruskan atau
membatalkan akad.[9]
D. Macam-macam Jual Beli
Dalam
fiqih islam dikenal berbagai macam jual beli. Dari sisi objek yang diperjual
belikan, jual beli di bagi menjadi tiga, yaitu:
1.
Jual
beli mutlaqah, yaitu pertukaran
antara barang atau jasa dengan uang
2.
Jual
beli sharf, yaitu jual beli atau
pertukaran antara satu mata uang dengan mata uang lain
3.
Jual
beli muqayyadah, yaitu jual beli
dimana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter), atau pertukaran
antara barang dengan barang yang dinilai dengan valuta asing.
Dari sisi cara
mentapkan harga, jual beli dinagi em[at, yaitu:
1. Jual
beli musawamah (tawar menawar), yaitu
jual beli biasa ketika penjual tidak member tahukan harga pokok dan keuntungan
yang didapatnya.
2. Jual
beli amanah, yaitu jual beli dimana
penjual member tahukan modal jualnya, (harga perolehan barang) jual beli amanah ada tiga yaitu:
a. Jual
beli murabahah, yaitu jual beli
ketika penjual menyebutkan harga pembelian barang (termasuk biaya perolehan)
dan keuntungan yang diinginka[10].
dapat berarti juga jual beli dengan harga pokok dengan tambahan keuntungan yang
diketahui atau menurut istilah adalah jual beli barang harga pokok dengan
tambahan keuntungan yang disepakati.[11]
b. Jual
beli muwadha’ah (discount), yaitu
jual beli dengan harga dibawah modal dengan jumlah kerugian yang diketahui,
untuk penjualan barang atau aktiva yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
c. Jual
beli tauliyah, yaitu jual beli dengan
harga modal tanpa keuntungan dan kerugian.
3. Jual
beli dengan harga tangguh, Bai’ bitsaman
ajil, yaitu jual beli dengan penetapan hargayang akan akan dibayar
kemudian. Harga tangguh ini boleh lebih tinggi dari harga tunai dan bias
dicicil (concern pada cara menetapkan
harga, bukan pada cara pembayaran).
4. Jual
beli muzayadah (lelang), yaitu jual
beli dengan penawarandari penjual dan para pembeli berlomba menawar, lalu
penawar tertinggi terpilih sebagai pembeli. Kebalikannya, disebut jual beli munaqadhah, yaitu jual beli dengan
penawaran pembeli untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu dan para
penjual berlomba menawarkan dagangannya, kemudian pembeli akan membeli akan
membeli dari penjual yang menawarkan harga termurah.
Dari sisi cara
pembayaran, jual beli dibagi empat, yaitu:
1. Jual
beli tunai dengan penyerahan barang dan pembayaran langsung.
2. Jual
beli dengan pembayaran tertunda, Bai’muajjal,
yaitu jual beli dengan penyerahan barang secara langsung , tetapi pembayaran
dilakukan kemudian dan bias dicicil
3. Jual
beli dengan penyerahan barang tertunda, meliputi:
a. Bai’as salam,
yaitu jual beli ketika pembeli membayar tunai dimuka atas barang yang dipesan
(biasanya produk pertanian) dengan spesifikasinya yang akan diserahkan kemudian.
b. Bai’al istisna,
yaitu jual beli dimana pembeli membayar tunai atau bertahap atas barang yang
dipesan (biasanya produk manufaktur) dengan spesifikasinya yang harus
diproduksi dan diserahkan kemudian. Jual beli jenis ini biasanya digunakan oleh
perusahaan untuk meproduksi barang atau komoditas tertentu untuk
pembeli/pemesan, kemudian harga telah disepakati dan barang harus memiliki
spesifikasi yang telah disepakati bersama.
4. Jual
beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.[12]
Kemudian jika dilihat
dari segi sifatnya, jual beli terbagi menjadi dua bagian:
1. Jual
beli yang shahih
Jual beli shahih ialah
apabila obyeknya tidak ada hubungannya dengan hak orang lain selain aqid maka hukumnya nafidz. Artinya, bias dilangsungkan dengan melaksanakan hak dan
kewajiban masing-masing pihak, yaitu penjual dan pembeli. Apabilaobyek jual
belinya ada kaitan dengan hak orang lain maka hukumnya mauquf, yakni ditangguhkan menunggu persetujuan pihak terkait.
2. Jual
beli ghor shahih
Jual beli ghoir shahih adalah jual beli yang
syarat dan rukunnya tidak dipenuhi sama sekali, ataun rukunnya terpenuhi tetapi
sifat atau syaratnya tidak terpenuhi. Seperti jual beli yang dilakukan oelh
orang yang memiliki ahliyatul ada’kamilah
(sempurna) tetapi barang yang dijual masih belum jelas.[13]
E. Khiar Dalam Jual Beli
Dalam jual beli menurut
agama islam diperbolehkan memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau akan
membatalkannya karena terjadinya sesuatu hal, khiar dibagi menjadi tiga bagian:
1. Khiar majelis,
artinya antar penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau
membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majelis), khair
majelis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli. Rasulullah bersabda: “penjual dan pembeli boleh khiar selama belum
berpisah’ (Riwayat Bukhari dan Muslim) Bila keduanya telah berpisah dari
tempat akad tersebut, maka khiar majelis tidak berlaku lagi, batal.
2. Khiar Syarat,
yaitu penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun
oleh pembeli, seperti seseorang berkata “saya jual rumah ini dengan harga rp.
100.000.000 dengan syarat khiar selama tiga hari. Rasulullah bersabda: “kamu boleh khiar pada setiap benda yang
telah dibeli selama tiga hari tiga malam” (Riwayat Baihaqi).
3. Khiar aib,
artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli,
seperti seseorang berkata; “saya beli mobil itu seharga sekian, bila mobil itu
cacat akan saya kembalikan”, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu dawud
dari Aisyah r.a. bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh
berdiri didekatnya, didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu diadukannya
kepada rasul, maka budak itu dikembalikan pada penjual.[14]
F.
Berselisih
Dalam Jual Beli
Penjual
dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur, terus terang dan
mengatakan sebenarnya, maka jangan berdusta dan jangan bersumpah dusta, sebab
sumpah dan dusta menghilangkan berkah jual beli. Rasulullah Saw bersabda: “bersumpah dapat mempercepat lakunya dagangan, tetapi dapat menghilangkan
berkah” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Para
pedagang jujur, benar, dan sesuai dengan ajaran islam dalam berdagangnya
didekatkan dengan para nabi, para sahabat dan orang-orang yang mati syahid pada
hari kiamat. Rasulullah Saw bersabda:”pedagang
yang jujur dan terpercaya dikumpulkan bersama nabi, sahabat-sahabat dan
orang-orang yang mati syahid” (Riwayat Tirmidzi).
Bila anatara
penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjual
belikan, maka yang dibenarkan ialah kata-kata yang punya barang, bila antara
keduanya tidak ada saksi dan bukti lainnya Rasulullah Saw bersabda:”bila penjual dan pembeli berselisih dan
antara keduanya tak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya
barang atau dibatalkan” (Riwayat Abu Dawud)[15]
Pembagian
jual beli ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Jual
beli luzaf, jual beli ini dikenal
dengan jual beli borongan.
2. Jual
beli wafa’, yaitu jual beli dengan
tenggak waktu.
3. Jual
beli inah, yaitu jual beli dengan cara menjual
barang kepada seseorang dengan pembayaran tunda, dapat diangsur dengan harga
tertentu, kemudian pembeli menjualnya kembali kepada pemilik semula, dengan
harga yang lebih murah dari pembeliannya dan dibayar dengan kontan di tempat
itu pula.
4. Jual
beli dengan dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli[16].
G. Jual Beli Yang Dilarang
Islam adalah agama yang syamil, yang
mencangkup segala permasalahan manusia, tak terkecuali dengan jual beli. Jual
beli telah disyariatkan dalam Islam dan hukumnya mubah atau boleh,
berdasarkan Al Quran, sunnah, ijma’ dan dalil aqli. Allah SWT membolehkan
jual-beli agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya selama hidup di dunia ini.
Namun dalam melakukan jual-beli,
tentunya ada ketentuan-ketentuan ataupun syarat-syarat yang harus dipatuhi dan
tidak boleh dilanggar. Seperti jual beli yang dilarang yang akan kita bahas
ini, karena telah menyelahi aturan dan ketentuan dalam jual beli, dan tentunya
merugikan salah satu pihak, maka jual beli tersebut dilarang.
Diantara jual beli yang dilarang
dalam islam tersebut antara lain:
1.
Jual beli yang diharamkan
Tentunya
ini sudah jelas sekali, menjual barang yang diharamkan dalam Islam. Jika Allah
sudah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil penjualannya.
Seperti menjual sesuatu yang terlarang dalam agama. Rasulullah telah melarang
menjual bangkai, khamr, babi, patung dan lain sebagainya yang bertentangan
dengan syariah Islam.
Begitu juga jual beli yang melanggar syar’I yaitu dengan
cara menipu. Menipu barang yang sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual,
tetapi sang penjual menjualnya dengan memanipulasi seakan-akan barang tersebut
sangat berharga dan berkualitas. Ini adalah haram dan dilarang dalam agama, bagaimanapun
bentuknya.
2.
Barang
yang tidak ia miliki.
Misalnya,
seorang pembeli datang kepadamu untuk mencari barang tertentu.Tapi barang yang
dia cari tidak ada padamu. Kemudian kamu/ente dan pembeli saling sepakat untuk
melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekian, sementara itu barang
belum menjadi hak milik ente (kamu) atau si penjual. Kemudian ent
pergi membeli barang dimaksud dan menyerahkan kepada si pembeli.
Dalam suatu riwayat, ada seorang sahabat bernama Hakim
bin Hazam Radhiyallahu 'anhu berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
salalm : “Wahai, Rasulullah. Seseorang datang kepadaku. Dia ingin membeli
sesuatu dariku, sementara barang yang dicari tidak ada padaku. Kemudian aku
pergi ke pasar dan membelikan barang itu”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda :
لَا
تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu. [HR Tirmidzi].
3.
Jual
beli Hashat.
Yang
termasuk jual-beli Hashat ini adalah jika seseorang membelidengan menggunakan
undian atau dengan adu ketangkasan, agar mendapatkan barang yang dibeli sesuai
dengan undian yang didapat. Sebagai contoh:
Seseorang berkata: “ Lemparkanlah
bola ini, dan barang yang terkena lemparan bola ini kamu beli dengan harga
sekian”. Jual beli yang sering kita temui dipasar-pasar ini tidak sah. Karena
mengandung ketidakjelasan dan penipuan.
4.
Jual beli Mulamasah.
Mulamasah artinya adalah sentuhan. Maksudnya jika
seseorang berkata:
“Pakaian yang
sudah kamu sentuh, berarti sudah menjadi milikmu dengan harga sekian”. Atau
“Barang yang kamu buka, berarti telah menjadi milikmu dengan harga sekian”.
Jual beli yang
demikian juga dilarang dan tidak sah, karena tidak ada kejelasan tentang sifat
yang harus diketahui dari calon pembeli. Dan didalamnya terdapat unsur
pemaksaan.
5.
Jual Beli Najasy
Bentuk praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang
yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang
tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya
dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak
berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si
pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan.
Dan Rasullulah S.A.W. telah melarang perbuatan najasy ini seperti yang terdapat di dalam hadist:
"Janganlah kamu melakukan praktek najasy,
janganlah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya, janganlah ia meminang
di atas pinangan saudaranya dan janganlah seorang wanita meminta (suaminya)
agar menceraikan madunya supaya apa yang ada dalam bejana (madunya) beralih
kepadanya," (HR Bukhari [2140] dan Muslim [1413]).[17].
6. Menjual barang dengan 2 harga yang berbeda
Yang dimaksudkan ini ialah membeda-bedakan harga
kepada orang lain. Islam mengajarkan bahwa terhadap musuh pun harus berlaku
adil dalam jual-beli. Hal ini tidak termasuk apabila terjadi tawar-menawar
dengan pembeli. Misal : A mempunyai
kecukupan harta dan tidak menawar harga yang kita tawarkan sedangkan B termasuk
Dhuafa maka ia melakukan penawaran dan kita mengurangi harga tersebut. Maka
semacam ini diperbolehkan
7. Menjual dengan menghancurkan harga pasar
atau
membeli di atas yang lain.
Contoh ialah menawarkan harga kepada pembeli yang sudah sepakat dengan orang lain untuk berjualbeli namun kita mengajukan penawaran yang lebih murah sehingga orang yang sudah sepakat tersebut membatalkan kesepakatan.
Contoh ialah menawarkan harga kepada pembeli yang sudah sepakat dengan orang lain untuk berjualbeli namun kita mengajukan penawaran yang lebih murah sehingga orang yang sudah sepakat tersebut membatalkan kesepakatan.
8.
Buyback atau
pembelian kembali atas barang yang kita jual
Misal kita menjual sepeda motor dengan harga 10 juta, kita menyetujui karena kita sedang butuh uang tersebut. Setelah kita memiliki kemampuan maka kita berniat membeli kembali sepeda motor tersebut namun dengan harga yang lebih tinggi yaitu misal 12 juta. Hal ini tidak boleh dilakukan.
Hal ini tidak dibenarkan karena ini merupakan cara seseorang untuk mendapatkan riba/kelebihan.
Misal kita menjual sepeda motor dengan harga 10 juta, kita menyetujui karena kita sedang butuh uang tersebut. Setelah kita memiliki kemampuan maka kita berniat membeli kembali sepeda motor tersebut namun dengan harga yang lebih tinggi yaitu misal 12 juta. Hal ini tidak boleh dilakukan.
Hal ini tidak dibenarkan karena ini merupakan cara seseorang untuk mendapatkan riba/kelebihan.
9. Menjual barang yang kita beli namun barang tersebut belum
kita pegang, lihat atau kuasai. Nabi
Muhammad SAW pernah meriwayatkan, dari Abu Hurairah , “ janganlah menjual makanan yang dibeli jika belum dipegang”
Hal ini untuk mencegah penipuan dan apabila barang cacat. Jangan seperti membeli kucing dalam karung. Beberapa hadits meriwayatkan bahwa barang seperti emas, perak harus dikuasai dulu atau dipegang terlebih dahulu sebelum dijual kembali. Jual-Beli buah-buahan sebelum matang.
Sistem ini sering terjadi dan dikenal dengan sistem ijon. Hal ini tidak boleh dilakukan karena ditakutkan barang tersebut hancur, busuk atau dimakan binatang. Jual-beli boleh dilakukan ketika barang tersebut sudah jelas baik, sudah matang dsb.
Hal ini untuk mencegah penipuan dan apabila barang cacat. Jangan seperti membeli kucing dalam karung. Beberapa hadits meriwayatkan bahwa barang seperti emas, perak harus dikuasai dulu atau dipegang terlebih dahulu sebelum dijual kembali. Jual-Beli buah-buahan sebelum matang.
Sistem ini sering terjadi dan dikenal dengan sistem ijon. Hal ini tidak boleh dilakukan karena ditakutkan barang tersebut hancur, busuk atau dimakan binatang. Jual-beli boleh dilakukan ketika barang tersebut sudah jelas baik, sudah matang dsb.
10. Menjual hanya untuk main-main,
tidak
serius.
Sebenarnya penjual taidak berniat untuk menjual
barang tersebut hanya untuk bermain-main. Misal menjual tanah dengan harga 500
juta, kemudian ada yang mau setuju dengan harga tersebut, sang penjual tidak
mau menyetujui atau menaikan menjadi 600 juta. Jika dinaikan menjadi 600 juta
dan pembeli tetap mau membeli, sang penjual tidak mau menyetujuinya[18].
H. Jual Beli Yang
Diharamkan
1.
Menjual tanggungan dengan tanggungan
Menjual
tanggungan dengan tanggungan yakni menjual hutang dengan hutang. Telah
diriwayatkan larangan terhadap menjual tanggungan dengan tanggungan dalam
sunnah Nabi yang suci. Dalam hadits Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam melarang menjual tanggungan dengan tanggungan. (Dikeluarkan oleh
ath-Thahawi dalam Syarhul Ma”ani IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor
795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:71, juga oleh al-Hakim II:57, dan oleh
al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah
ar-Rubadzi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam at-Talkhish III:26, dari Imam
Ahmad: “Dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Akan tetapi ijma” kaum
muslimin adalah bahwa menjual hutang dengan hutang tidak boleh.” Sementara Imam
ath-Thahawi menyatakan: “Ahlul hadits menafsirkan hadits ini dengan riwayat Abu
Musa bin Ubaidah, meskipun mengandung kekurangan dalam sanadnya. Ini merupakan
bab besar dalam ilmu fiqih.” Lihat Musykilul Atsar II: 266.)
Menjual
hutang dengan hutang memiliki aplikasi yang bermacam-macam. Jenis yang
disyariatkan terkadang sulit dibedakan dengan yang tidak disyariatkan. Hutang
yang dijual itu tidak lepas dari keberadaannya sebagai pembayaran yang
ditangguhkan, barang dagangan tertentu yang diserahkan secara tertunda, atau
barang dagangan yang di-gambarkan kriterianya dan akan diserahkan juga secara
tertunda.
2.
Jual Beli dengan Syarat yang merugikan
Syariat
Islam yang suci telah memerintahkan ditunaikannya janji dengan komitmen yang
menjadi persyaratan janji tersebut, kecuali apabila syarat itu berbentuk
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman,
tunaikanlah akad-akad kalian..”
(Al-Maidah: 1).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kaum muslimin selalu terikat dengan
persyaratan (perjanjian) sesama mereka, terkecuali persyaratan yang
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” (Diriwayatkan
at-Tirmidzi)
Syarat bertentangan dengan konsekuensi perjanjian itu
adalah seperti seorang penjual mensyaratkan terhadap pembeli agar tidak menjual
kembali dagangannya itu kepada orang lain, atau agar si pembeli tidak
mengenakan barang beliannya itu, atau agar ia tidak mengendarainya, tidak
meninggalinya dan tidak menyewakannya. Atau bila si pembeli menjual kembali
barangnya itu, maka si penjual yang lebih berhak mengambil keuntungan-nya. Para
ulama mengecualikan sebagian bentuk aplikasinya yang kemudian mereka bolehkan,
seperti menjual budak wanita dengan syarat harus dibebaskan, karena ajaran
syariat memang mengi-nginkan sekali budak wanita itu dibebaskan. Atau seorang
penjual yang memberi persyaratan agar objek jualan itu diwakafkan, dihibahkan
atau disedekahkan. Karena itu termasuk amal keba-jikan yang dianjurkan oleh
Islam.
Kemudian syarat yang menyebabkan rusaknya harga adalah
seperti persyaratan dari salah satu pihak untuk meminjam objek jualan. Karena hal
itu dapat menyebabkan ketidakjelasan harga barang, atau bisa juga menggiring
kepada semacam riba, bila dili-hat dari sisi pinjaman yang mendatangkan
keuntungan. Karena penentuan harga menjadi tidak adil karena pertimbangan
pemin-jaman barang tersebut. Kalau syarat peminjaman itu dari pembeli, jelas
itu merusak harga, karena menyebabkan ketidakjelasan harga barang karena
bertambah. Peminjaman barang itu sendiri termasuk harga yang tidak diketahui.
Kalau seandainya persya-ratan peminjaman itu berasal dari penjual, itu juga
menyebabkan rusaknya harga karena terjadinya pengurangan. Karena pemin-jaman
yang dilakukan oleh penjual itu masuk dalam harga yang tidak diketahui.
3. Dua Perjanjian Dalam Satu
Transaksi Jual Beli
Membuat dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
merupakan hal yang dilarang dalam syariat. Diriwayatkan adanya sejumlah dalil
yang melarang perbuatan tersebut. Diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi dari
hadits Abu Hurairah tentang larangan Rasulullah terhadap hal tersebut.
Hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam diriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang melakukan dua perjanjian jual beli dalam satu
transaksi jual beli, maka hendaknya ia mengambil yang paling sedikit, kalau
tidak ia telah mengambil riba.” Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya
dari Hadits Ibnu Mas”ud bahwa ia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang adanya dua perjanjian
dalam satu transaksi.”
Para
ulama berbeda pendapat tentang arti dari dua per-janjian tersebut. Ada beberapa
pendapat yang kita lampirkan di bawah ini:
1. Artinya
adalah jual beli dengan dua harga, kontan dan kredit dengan harga lebih mahal.
Tambahan harga dengan men-jual barang secara tertunda pembayarannya namun lebih
mahal dari harga sekarang, diriwayatkan dari Zainal Abidin bahwa beliau
menyatakan keharamannya. Yakni keharaman menjual se-suatu lebih mahal dari
harga sekarang dengan pembayaran ter-tunda. Penafsiran semacam ini telah
dibantah oleh mayoritas ulama. Namun bentuk jual beli semacam ini, menurut
pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada, adalah disyariatkan.
2. Penjualan
dengan dua harga, kontan dan kredit, dan harga kredit atau tertundanya lebih
mahal, namun tidak dijelaskan. Misalnya seorang penjual berkata, “Kalau kontan
bisa sekian har-ganya, dan kalau dibayar belakangan atau dibeli kredit bisa
sekian.” Kemudian kedua
orang itu berpisah (dari majlis) dengan ketidak-jelasan, tanpa menentukan salah
satunya.
Alasan dilarangnya bentuk jual beli ini ada dua hal : Pertama:
Ketidakjelasan dan ketidakstabilan harga. Kedua: Ada kemungkinan terjadinya
riba, karena yang demikian itu berarti ia memindahkan kepemilikan dengan
pembayaran satu dinar secara kontan dan dengan dua dinar bila dibayar secara
tertunda. Dan yang pasti menjadi miliknya adalah salah satu dari keduanya. Jadi
seolah-olah yang menjadi miliknya adalah satu dinar secara kontan, lalu ia
tangguhkan pembayarannya sehingga berubah menjadi dua dinar. Atau yang menjadi
kewajibannya adalah dua dinar secara tertunda, lalu ia segerakan pembayarannya
sehingga berubah menjadi satu dinar saja..
4.
Menawar Barang yang Sedang Ditawar Orang Lain
Adapun
menawar barang yang masih ditawar orang lain, yakni seperti dua pihak yang
melakukan transaksi jual beli lalu sama-sama sepakat pada satu harga tertentu,
lalu datang pembeli lain yang menawar barang yang menjadi objek transaksi
mereka dengan harga lebih mahal, atau dengan harga yang sama, hanya saja karena
ia orang yang berkedudukan, maka si penjual lebih cenderung menjual kepada
orang itu, karena melihat kedudukan orang kedua tersebut.
Kalau
kedua orang itu saling tawar menawar, lalu terlihat indikasi bahwa keduanya
tidak bisa menyepakati satu harga, tidak diharamkan untuk menawar barang
transaksi mereka. Namun kalau
belum kelihatan apakah mereka telah memiliki kesepakatan harga atau tidak,
penawaran dari pihak pembeli lain untuk sementara ditahan. Demikian juga
menurut kalangan Hambaliyah, perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya
kesepakatan mereka, agar se-mua pihak merasa senang. Namun menurut kalangan
Hanafiyah, hal itu tidak mengapa. Boleh-boleh saja melakukan penawaran dengan
harga lebih sekalipun, karena itu termasuk jual beli yang disebut lelang. Hal
itu tidak dilarang.
Dengan terbuktinya keharaman bentuk-bentuk jual beli
ter-sebut di atas, namun menurut para ulama jual beli tersebut tetap sah,
karena larangan itu kembali kepada hal di luar pengertian transaksi dan
berbagai komitmennya. Karena jual beli tersebut tetap tidak kehilangan satupun
dari rukun-rukunnya, atau salah satu dari syarat-syarat sahnya. Larangan itu
terhadap hal yang berkaitan dengan transaksi tetapi berada di luar substansi
tran-saksi tersebut dan komitmen-komitmennya. Itu termasuk per-buatan yang
mengganggu orang lain, namun tidak membatalkan transaksi menurut mayoritas
ulama.
5. Orang Kota
Menjualkan Barang Orang Dusun
Hadirah (kota) adalah lawan dari badiyah (dusun).
Sementara kata hadir (orang kota) adalah orang yang terbiasa tinggal di
kota-kota, perkampungan modern dan sejenisnya. Sementara bady
(orang dusun) adalah orang yang tinggal di pedusunan. Dusun adalah selain kota
dan perkampungan maju. Kalangan Hambaliyah bahkah memahaminya secara lebih luas
lagi. Mereka meng-anggap bahwa orang dusun adalah semua orang yang tinggal di
pedusunan, dan juga setiap orang yang masuk ke satu desa sementara ia bukan
penduduk asli desa tersebut, baik ia orang du-sun dalam arti sesungguhnya, atau
orang desa, atau orang kota lain.
Arti
Dari Penjualan, “Orang Kota Menjualkan Barang Kepada Orang Dusun” Yang
dimaksudkan dengan istilah orang kota menjadi calo bagi orang dusun menurut
mayoritas ulama adalah orang kota menjadi calo pedagang orang dusun. Ia
mengatakan kepada peda-gang dusun itu, “Kamu jangan menjual barang sendiri,
saya lebih tahu tentang masalah jual beli ini.” Akhirnya si pedagang
bergan-tung kepadanya, menjual barangnya dan pada akhirnya ia mema-sarkan
barang dengan harga tinggi. Kalau si calo membiarkannya berjual-beli sendiri,
pasti ia bisa menjual dengan harga lebih murah kepada orang lain. Ada juga yang
berpendapat bahwa arti terminologi itu ada-lah: Orang kota yang menjual barang
kepada orang dusun karena mencari keuntungan banyak (karena orang dusun tidak
mengenal harga) sehingga membahayakan orang-orang kota itu. Namun pendapat
pertama lebih tepat.
Hukum
“Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun” Para ulama sependapat melarang jual
beli semacam itu, karena adanya dalil-dalil shahih dan tegas yang melarangnya.
Di antara dalil-dalil itu misalnya, Sabda shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Janganlah orang kota menjualkan komoditi orang dusun. Biarkan manusia itu Allah berikan rizki, dengan saling
memberi keun-tungan yang satu kepada yang lain.” Dalil lain adalah hadits Anas
rodhiyallahu “anhu: “Kami dilarang untuk
melakukan “penjualan orang kota bagi orang dusun”, meskipun dia itu
saudaranya atau ayahnya sekalipun.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab
al-Buyu”, bab: Janganlah Orang Kota Membelikan Barang Orang Dusun Sebagai
Broker I: VI: 2. Diriwayatkan oleh Muslim pada bab yang sama nomor 1523.
Alasan Dilarangnya Penjualan ‘Orang Kota Bagi Orang
Dusun’ Alasan dilarangnya jual beli ini menurut mayoritas ulama adalah karena
jual beli ini berbahaya bagi para penduduk kota, dan dapat menyulitkan orang
banyak. Karena kalau orang dusun itu dibiarkan saja menjual barangnya, tentu
masyarakat akan bisa membelinya dengan harga murah, dan mereka juga akan merasa
lapang. Adapun kalau orang kota itu menangani penjualan barang itu, dan dia
hanya mau menjual dengan harga yang dipatok untuk kota tersebut, tentulah
masyarakat akan merasa kesulitan.
Alasan dilarangnya jual beli ini menurut penafsiran lain
adalah sisi lain yang dapat membahayakan para penduduk kota, di samping barang
yang tidak bisa dibeli dengan murah, yakni langkanya barang kebutuhan. Karena
terkadang para penduduk kota mengalami paceklik, mereka membutuhkan makan untuk
mereka dan binatang-binatang ternak mereka. Sementara si orang kota hanya mau
menjual barang-barangnya kepada penduduk dusun itu saja, dengan harapan besar
akan mendapatkan keun-tungan lebih banyak.
6. Menjual Anjing/dan babi
Jual beli anjing
bukanlah bisnis yang Islami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
hadits Ibnu Mas”ud -rodhiyallahu “anhu- telah melarang mengambil untung dari
menjual anjing, melacur dan menjadi dukun.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam
kitab al-Buyu”, bab: Hasil Menjual Anjing, nomor 2237. Diriwayatkan oleh Muslim
dalam kitab al-Musaqat, bab: diharamkannya hasil menjual anjing, nomor 1567. Dalam
hadits Juhaifah diriwayatkan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hasil menjual darah, anjing dan hasil
usaha budak wanita..” HR. al-Bukhari
Dengan
alasan ini, kalangan Syafi”iyah dan Hambaliyah menganggap tidak sah menjual
anjing, anjing apapun juga, mes-kipun anjing yang sudah dilatih berburu.
Sementara kalangan Malikiyah membedakan antara anjing yang boleh dipelihara,
se-perti anjing buru, dan anjing penjaga, dengan anjing-anjing lain. Kelompok
pertama mereka membolehkan untuk dijual, sementara selain itu tidak boleh,
karena hadits: “Rasulullah mengharamkan
hasil jualan anjing, kecuali anjing buru.” (HR. An-Nasa’i). Termasuk juga
babai, karena babi menurut ajaran agama islam adalah termasuk barang yang
diharamkan.
7. Berjualan
Ketika Dikumandangkan Adzan Jum’at
Di antara fenomena yang tidak lepas dari pandangan mata
di tengah masyarakat barat adalah tersebarnya satu bentuk fenomena, yakni jual
beli saat dikumandangkannya adzan Jum’at. Padahal sudah ada larangan tegas
terhadap perbuatan itu dalam Kitabulla, yakni dalam firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum”at, maka bersegeralah kamu kepada
meng-ingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui…” (Al-Jum”ah: 9).
Para ulama tidak berbeda pendapat sedikitpun, bahwa jual
beli pada saat itu diharamkan, berdasarkan dalil ini. Adzan yang dimaksud di
sini adalah adzan yang dikumandangkan ketika khatib sudah naik mimbar (setelah
khatib mengucapkan salam. Red) . Yakni adzan yang biasa dilakukan pada zaman
Nabi. Itulah arti dari adzan atau panggilan bila disebutkan secara lepas.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dari as-Saib bin Yazid bahwa ia
men-ceritakan, “Dahulu adzan Jum’at dikumandangkan ketika khatib sudah duduk di
atas mimbar, yakni pada zaman Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Di masa Utsman,
karena umat Islam sudah terlalu banyak, maka ditambah satu adzan lagi yang
dikumandangkan di az-Zura.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab
ash-Shalah, bab: Adzan di Hari Jum’at, nomor 912.
Dari sisi lain, sesungguhnya jual beli pada saat adzan
diku-mandangkan ini menyebabkan seseorang melalaikan shalat, akhir-nya
meninggalkan sebagiannya atau bahkan seluruhnya. Paremeter Haramnya Jual Beli
Ketika Dikumandangkan Adzan Jum’at
Diharamkannya jual beli saat dikumandangkannya adzan
Jum’at tentu saja dengan beberapa paremeter tertentu. Di anta-ranya: pertama, Orang
yang melakukan perjanjian jual beli harus orang yang tidak wajib shalat Jum’at.
Maka Jual beli boleh dilakukan oleh kaum wanita, anak-anak kecil dan orang
sakit. Karena Allah melarang jual beli dengan alasan memerintahkan mereka agar
segera berangkat ke masjid. Orang-orang yang tidak terkena perintah itu, tentu
saja tidak dilarang untuk tetap melakukan jual beli. Dan juga karena
diharamkannya jual beli itu karena alasan menyibukkan diri hingga lalai shalat
Jum’at. Dan alasan itu tidak mengenai diri mereka. Kedua, Tidak dalam kondisi
mendesak untuk melakukan jual beli. Seperti orang yang dalam kondisi darurat
harus membeli ma-kanan, menjual kafan untuk orang mati yang dikhawatirkan akan
membusuk kalau ditangguhkan. Kalau tidak dalam kondisi demikian, jual beli
diharamkan pada saat itu. Ketiga, Orang yang sibuk
bertransaksi tersebut sudah mengetahui larangan tersebut. Karena hukum tidak
bisa diberlakukan kepada seseorang yang belum mengetahuinya. Dan keempat, Jual
beli itu berlangsung ketika mulai berkumandangnya adzan khutbah, atau adzan
kedua[19].
I.
Unsur
Kelalaian Dalam Transaksi Jual Beli
Dalam
transaksi jual beli boleh saja terjadi kelalian, baik ketika akad berlangsung
maupun di saat-saat penyerahan barang oleh penjual dan penyerahan harga (uang)
oleh pembeli. Untuk setiap kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh
pihak yang lalai.
Bentuk-bentuk
kelalaian dalam jual beli itu menurut para ulama fiqh diantaranya adalah barang
yang dijual bukan milik penjual(barang itu sebagai titipan atau jaminan utang
di tangan penjual atau barang itu adalah barang hasil curian), atau menurut
perjanjian barang harus diserahkan ke rumah pembeli pada waktu tertentu tetapi
ternyata tidak diantarkan dan tidak tepat waktu, atau barang itu rusak dalam
perjalanan, atau barang yang diserahkan itu tidak sesuai dengan contoh yang
disetujui. Dalam kasus-kasus
seperti ini resikonya adalah ganti rugi dari pihak yang lalai.
Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus
membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian itu
berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan
perjanjian dan dilakukan dengan unsure kesengajaan, pihak penjual harus
membayar ganti rugi. apabila dalam mengantarkan barang itu terjadi kerusakan
(sengaja atau tidak sengaja), atau barang yang dibawa tidak sesuai yang telah
disepakati maka barang itu harus diganti. Ganti rugi dalam akad ini dalam
istilah fiqh disebut dengan adh-dhaman,
yang secara harfiah boleh berarti jaminan atau tanggungan.
Pentingnya adh-dhaman
jual beli adalah agar dalam jual beli itu tidak terjadi perselisihan terhadap
akad yang telah disetujui kedua belah pihak. Segala bentuk tindakan yang
merugikan kedua belah pihak, baik sebelum maupun sesudah akad, menurut para
ulama fiqh, harus ditanggung resikonya oleh pihak yang menumbulkan kerugian.[20]
J.
Manfaat
dan Hikmah Jual Beli
1.
Manfaat
jual beli
Manfaat
tersebut antara lain:
a.
Jual
beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak
milik orang lain.
b.
Penjual
dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama
suka.
c.
Masing-masing
pihak merasa puas, penjual melepas dagangannya dengan ikhlas dan menerima uang,
sedangkan pembeli memberikan uang dan menerima barang dagangan.
d.
Dapat
menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
e.
Penjual
dan pembeli mendapat rahmat dari Allah Swt.
f.
Menumbuhkan
ketentraman dan kebahagiaan.
2.
Hikmah
Jual Beli
Allah Swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian
keluangan dan keleluasaan kepada hambanya, karena semua manusia secara pribadi
mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan dan papan. Kebutuhan seperti ini tak
pernah putus selama manusia hidup. Tak seorangpun dapat memenuhi hajat hidupnya
sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam
hubungan ini tak ada satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, di
mana seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh
sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Jual beli merupakan suatu upaya atau kegiatan usaha atau
transaksi dalam tukar menukar barang yang bisa ditukar dengan barang sejenisnya
atau dengan uang, asalkan harga barang tersebut sesuai dengan kesepakatan. Inti
dari transaksi jual beli adalah saling menguntungkan, jika diantara kedua belah
pihak ada yang dirugikan, maka transaksi tersebut dapat dikatan telah keluar
dari syariat islam, karena islam itu sendiri telah mengatur sedemikian rupa
agar transaksi jual beli tidak ada yang dirugikan. Penjual merasa untuk dan
pembeli pun merasa untung.
2. Saran
Dalam penulisan ini tentu terjadi banyak kesalahan. Saran
dan kritikan tentu akan ditampung guna untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini belum semua penulis
jelaskan dalam pembahsan diatas, masih terdapat banyak kekurangan, dari itu
penulis akan menerima segala saran dan masukan yang membangun.
DAFTAR
PUSTAKA
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2010
Wardi Muslich,
Ahmad, Fiqih Muamalah, Jakarta: Amzah, 2010
Ascarya, Akad
dan produk Bank Syari’ah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011
Wiroso, Jual
Beli Murabahah, Yogyakarta: UII Press, 2005
Afandi, Yazid,
Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2009
Abd Hakim, Atang, Fiqih Perbankan
Syari’ah, Bandung: PT. Refika Aditama, 2011
Syeikh As-Sa’di, Abdurrahman, dkk, Fiqih
Jual Beli, Jakarta: 2008
Ghazali, Abdul
Rahman, dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
Harun, Yusuf
(edt), Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pustaka Imam Syafi’I, 2009
Djuwaini,
Dimayuddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Haroen,
Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Hidayatullah,
Syarif, Qawaid Fiqiyyah dan Penerapan Dalam Transaksi Keuangan Syari’ah
Kontemporer, Depak: Gramata Publishing, 2012
http://abangdani.wordpress.com/2010/07/13/jual-beli-yang-diharamkan/
[1]
Abdul Rahman Ghazali, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010) hal. 67
[2]
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, ( Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009) hal. 53
[3]
Syeikh Abdurrahman As-Sa’di, dkk, Fiqih Jual Beli, ( Jakarta: 2008) hal. 143
[4]
Ibid. hal 144
[5]
Abdul Rahman Ghazali, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010) hal. 69
[6] Atang Abd Hakim, Fiqih Perbankan
Syari’ah, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011) hal 225
[7] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009) hal. 57
[8] Wiroso, Jual Beli Murabahah,
(Yogyakarta: UII Press, 2005)hal. 20
[9] Dimayuddin Djuwaini, Pengantar
Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hal. 74
[10] Ascarya, Akad dan produk Bank
Syari’ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) hal. 77
[11] Syarif Hidayatullah, Qawaid
Fiqiyyah dan Penerapan Dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer, (Depak:
Gramata Publishing, 2012) hal. 132
[12] Op cit.
[13] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih
Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010) hal.201
[14]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010) hal. 83
[15] Ibid,
hal. 84
[16]
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, ( Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009) hal. 62
[18]
http://www.lingkaran.org/fiqh-muamalah-jual-beli-yang-dilarang-dalam-islam.html
[19]
http://abangdani.wordpress.com/2010/07/13/jual-beli-yang-diharamkan/
[20]
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) hal. 120
1 Comments
Manatap bos ku
ReplyDelete