Penemuan tujuh buah prasasti Yupa di pinggir sungai Mahakam pada abad ke 4 Masehi dipandang sebagai tonggak penting dalam penulisan sejarah Indonesia. Hal itu sebagai bukti bahwa pengaruh Hindu telah masuk ke Indonesia berdasarkan beberapa bukti terkait, yaitu terdapat beberapa nama raja yang
menggunakan gelar berbau India bukan lagi nama lokal (penyebutan Dewa Ańsuman yang dikenal dalam agama Hindu). Upacara dengan menyebut tempat bernama Waprakeśwara yang dapat diidentikan sebagai tempat pemujaan terhadap Trimurti (Soemadio, 1994).
Agama Buddha pertama kali dikenal di Indonesia berdasarkan informasi dari prasasti Talang Tuo (684 M) yang dikeluarkan oleh Dapunta Hyaŋ Śrī Jayanāsa. Prasasti ini berisi pembuatan kebun Śrīksetra untuk kebaikan semua mahluk, dari doa-doa yang dituliskan dalam teks dikenali sebagai pujian dalam agama
Buddha (Soemadio, 1994:56). Gugusan bangunan kuil dan kemungkinan pula biara Budhis telah menambah suatu upaya baru penafsiran terhadap perkembangan agama Buddha. Gugusan percandian yang sejaman dengan keberadaan kerajaan Tārumanāgara ini mungkin dapat menjadi landasan pemikiran bahwa agama Buddha juga telah berkembang pada masa-masa awal abad masehi hampir bersamaan dengan agama Hindu.
Pengaruh Hindu-Buddha sangat dominan dan kuat sehingga memunculkan pula sistem-sistem pemerintahan beserta bentuk kehidupan yang bercorak HinduBuddha. Tinggalan arkeologis dari masa ini begitu kayanya dan beberapa di antaranya dapat dikategorikan sebagai masterpiece karya manusia di dunia. Lombard (2000) mengatakan bahwa tanah di Indonesia terutama di Jawa mengandung bukti-bukti warisan masa lampau yang menakjubkan. Runtuhnya Śrīwijaya dan Majapahit memperlihatkan runtuhnya dominasi Hindu-Buddha dan memungkinkan munculnya kekuatan baru, yaitu Islam
Teori masuknya agama Hindu-Buddha ke Indonesia
Beberapa alternatif hipotesa coba masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia dikemukakan oleh beberapa pakar. Teori pertama yang dilontarkan adalah teori Kstaria, dimana para pengikutnya berpendapat bahwa agama Hindu dan Buddha disebarluaskan melalui kolonisasi oleh para Ksatriya. Teori yangkedua adalah teori Waisya dimana perdagangan dan perkawinan adalah salurannya, sedangkan teori yang ketiga adalah teori Brahmana dimana mengemukakan peran para Brahmana dalam menyebarkan agama karena sifatnya yang rahasia.
Sebuah teori menarik (dikenal sebagai Teori Arus) dikemukakan oleh van Leur yang menyatakan bahwa telah terjadi usaha oleh para Brahmana lokal mempelajari agama ini di India dan kemudian pulang untuk menyebarkannya. Namun, Teori Sudra menganggap bahwa para sudra yang tinggal di Indonesia menjadi pelopor penyebaran agama ini
Perkembangan awal pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia
Model kesukuan dan hidup berkelompok kemudian berkembang menjadi konsep kemaharajaan dengan segala aturan dan keyakinan yang melekat padanya. Nama gelar dan jabatan yang berbau India digunakan dan bahkan kemudian dikembangkan oleh masyarakat penganut Hindu-Buddha. Konsep dewarajameyakini bahwa yang berhak menggantikan raja adalah keturunan raja itu sendiri yang juga dianggap sebagai titisan dewa di dunia. Sehingga pada perkembangan selanjutnya terjadi banyak permaslahan suksesi yang terkait denan pewaris yang amat banyak.
Kerajaan Bercorak Hindu-Buddha di Indonesia
a. Kutai dan Tarumanegara
Penemuan 7 buah prasasti berbentuk yūpa di Kutai, berupa tugu peringatan bagi sebuah upacara kurban. Prasasti berhuruf pallawa yang menurut bentuk dan jenisnya berasal dari abad IV M, sedangkan bahasanya adalah sansekerta yang tersusun dalam bentuk syair. Semuanya dikeluarkan atas titah seorang raja
bernama Mūlawarmman. Berdasarkan isi dari prasasti tersebut diketahui silsilah raja-raja Kutai. Dimulai dengan raja Kunduńga yang mempunyai anak bernama Aśwawarman, dan Mūlawarmman. Prasasti ini menyebutkan bahwa pendiri keluarga kerajaan (vańśakrttā) adalah Aśwawarman, dan bukan Kundunga yang dianggap sebagai raja pertama. Kunduńga bukan nama sansekerta, mungkin ia seorang kepala suku penduduk asli yang belum terpengaruh kebudayaan India, sedangkan Aśwawarman adalah nama yang berbau India. Disebut pula nama Ańsuman yaitu dewa matahari di dalam agama Hindu yang dapat menunjukkan bahwa Mūlawarmman adalah penganut agama Hindu (Sumadio, 1993).
Prasasti ini juga memberikan informasi; (1) mengenai kehidupan masyarakat ketika itu, dimana ada golongan masyarakat yang menguasai bahasa Sansekerta yaitu kaum Brahmana (pendeta) yang mempunyai peran penting dalam memimpin upacara keagamaan. (2) Setiap yūpa yang didirikan oleh Mūlawarmman sebagai peringatan bahwa ia telah memberikan korban besarbesaran dan hadiah-hadiah untuk kemakmuran negara dan rakyatnya.
Sedangkan golongan lainnya adalah kaum ksatria yang terdiri atas kaum kerabat Mūlawarmman. (3) Diluar kedua golongan ini adalah rakyat Kutai pada umumnya yang terdiri atas penduduk setempat, dan masih memegang teguh agama asli leluhur mereka.
Kerajaan Tārumanāgara berkembang bersamaan dengan kerajaan Kutai pada abad V M, dan berlokasi di Jawa Barat dengan rajanya bernama Pūrņawarman. Keberadaan kerajaan Tārumanāgara dapat diketahui melalui 7 buah prasasti batu yang ditemukan di daerah Bogor, Jakarta, dan Banten. Prasastinya dikenal
Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Tugu, Pasir Awi, Muara Cianten, dan Lebak.
Prasasti ditulis dalam huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta yang digubah dalam bentuk syair.
Prasasti Ciaruteun terdapat lukisan 2 tapak kaki raja yang diterangkan seperti
tapak kaki Wisnu. Prasasti Kebon Kopi terdapat gambar tapak kaki gajah sang
raja yang disamakan sebagai tapak kaki gajah Airawata. Prasasti Tugu
penggalian 2 sungai di Punjab yaitu Candrabhaga dan Gomati. Maksud
pembuatan saluran pada sungai ini diperkirakan ada hubungannya dengan
usaha mengatasi banjir (Poerbatjaraka, 1952). Dalam prasasti Jambu dijumpai
nama negara Tarumayam dan sungai Utsadana. Negara Tarumayam disamakan
dengan Tarumanagara, sedangkan Utsadana identik dengan sungai Cisadane.
Pada prasasti ini, Pūrņawarman disamakan dengan Indra sebagai dewa perang
serta memiliki sifat sebagai dewa matahari. Di Cisadane juga ditemukan arcaarca rajasi dan disebutkan dalam prasasti Tugu yang mencerminkan sifat WisnuSurya.
Dari bukti tersebut dapat dikatakan bahwa Jawa Barat telah menjadi pusat seni
dan agama, dan sesuai pula dengan berita Cina yang mengatakan bahwa pada
abad VII M terdapat negara bernama To-lo-mo yang berarti Taruma. Dari
peninggalan ini pila dapat diketahui bahwa agama yang dianut oleh para
penguasa setempat adalah agama Hindu aliran Wisnu. Bahkan raja dianggap
sebagai titisan dewa Wisnu yang memelihara kehidupan rakyat agar makmur dan
tenteram.
b. Śrīwijaya
Enam prasasti sebagai bukti keberadaan kerajaan Śrīwijaya adalah yang
ditemukan tersebar di Sumatra Selatan dan pulau Bangka. Prasasti tertua
ditemukan di Kedukan Bukit (Palembang) berangka tahun 604 S (682 M) serta
berhuruf pallawa dan berbahasa melayu kuno. Menurut Krom, prasasti ini
dimaksudkan untuk memperingati pembentukan negara Śrīwijaya. Namun Moens
berpendapat lain bahwa prasasti ini untuk memperingati kemenangan Śrīwijaya
terhadap Malayu. Sementara Coedes (1964) menduga prasasti ini untuk
memperingati ekspedisi Śrīwijaya ke daerah seberang laut yakni kerajaan
Kamboja yang diperintah oleh Jayawarman. Sedangkan Boechari (1979)
berpendapat bahwa prasasti ini untuk memperingati usaha penaklukan daerah
sekitar Palembang oleh Dapunta Hyaŋ dan pendirian ibukota baru atau ibukota
kedua di tempat ini
Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Pulau Bangka dan berangka tahun 608 S
(686 M). Kata Śrīwijaya dijumpai pertama kali di dalam prasasti ini. Keterangan
yang penting adalah mengenai usaha Śrīwijaya untuk menaklukkan bhumi Jawa
yang tidak tunduk kepada Śrīwijaya. Prasasti lain yang ditemukan di Palembang
adalah prasasti Talang Tuo dan Telaga Batu. Sementara di Jambi ditemukan
prasasti Karang Brahi dan di Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah.
Prasasti ini pada umumnya dipandang sebagai pernyataan kekuasaan Śrīwijaya.
Berdasarkan rekonstruksi peta, berita Cina dan Arab, Moens sampai pada
kesimpulan bahwa Śrīwijaya mula-mula berpusat di Kedah kemudian berpindah
ke Muara Takus. Selanjutnya Soekmono melalui penelitian geomorfologi
berkesimpulan bahwa Jambi sebagai pusat lokasi Śrīwijaya. Sedangkan
Boechari berpendapat bahwa sebelum tahun 682 M ibukota Śrīwijaya ada di
daerah Batang Kuantan, setelah tahun 682 M berpindah ke Mukha Upang di
daerah Palembang (Sumadio, 1994)1.
Kerajaan Śrīwijaya adalah sebuah kerajaan maritim yang besar dan terlibat
dalam perdagangan internasional. Śrīwijaya lebih mengembangkan suatu tradisi
diplomasi dan kekuatan militer untuk melakukan gerakan ekspedisioner.
Hubungan antara Śrīwijaya dengan negeri di luar Indonesia bukan hanya dengan
Cina tapi juga dengan India. Sebuah prasasti raja Dewapaladewā dari Benggala
(India) pada abad IX M menyebutkan tentang pendirian bangunan biara di
Nalanda oleh raja Balaputradewā, raja Śrīwijaya yang menganut agama
Buddha. Hal ini didukung berita dari I-tsing yang mengatakan bahwa Śrīwijaya
adalah pusat kegiatan agama Buddha.
c. Mataram Hindu
Kerajaan Mataram dikenal dari prasasti Canggal yang berasal dari halaman
percandian di Gunung Wukir Magelang. Prasasti ini berhuruf pallawa dan
berbahasa sansekerta, serta berangka tahun 654 S (732 M). Isinya adalah
memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Siwā) oleh raja Sanjaya
diatas bukit Kunjarākunjā di pulau Yawadwipā yang kaya akan hasil bumi
Yawadwipa mula-mula diperintah oleh raja Sanna yang bijaksana. Pengganti
Sanna yaitu raja Sanjaya, anak Sannaha, saudara perempuan raja Sanna. Ia
adalah seorang raja gagah berani yang telah menaklukkan raja-raja di
sekelilingnya dan raja yang ahli dalam kitab-kitab suci.
Istilah Syailendrawangsa dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kalasan tahun
700 S (778 M). Prasasti ini ditulis dengan huruf pra-nagari dan berbahasa
sansekerta. Isinya adalah pendirian bangunan suci bagi Dewi Tarā dan sebua
biara bagi para pendeta oleh Maharaja Tejahpurna Panaŋkaran. Bangunan
tersebut adalah Candi Kalasan di Yogyakarta.
Pemerintahan Sanjayawangsa berlangsung terus di samping pemerintahan
Syailendrawangsa. Keluarga Sanjaya beragama Hindu memuja Siwa dan
keluarga Syailendra beragama Buddha Mahayana yang sudah cenderung
kepada Tantrayana. Demikian juga ada kecenderungan candi-candi dari abad
VIII dan IX yang ada di Jawa Tengah bagian utara bersifat Hindu (Candi Dieng,
Gedongsongo), sedangkan yang ada di Jawa Tengah bagian selatan bersifat
Buddha (candi Kalasan, Borobudur)., maka daerah kekuasaan keluarga Sanjaya
adalah bagian utara Jawa Tengah dan Syailendra adalah bagian selatan Jawa
Tengah (Soekmono, 1985).
Pada pertengahan abad IX kedua wangsa ini bersatu melalui perkawinan Rakai
Pikatan dan Pramodawardani, raja puteri dari keluarga Syailendra. Dalam masa
pemerintahan Syailendra banyak bangunan suci didirikan untuk memuliakan
agama Buddha, antara lain candi Kalasan, Sewu, dan Borobudur. Rakai Pikatan
dari wangsa Sanjaya telah pula mendirikan bangunan suci agama Hindu seperti
candi Loro Jonggrang di Prambanan.
Menurut Poerbatjaraka (1956), hanya ada satu wangsa saja yaitu wangsa
Syailendra yang merupakan orang Indonesia asli dan anggota-anggotanya
semula menganut agama Siwa, tetapi sejak pemerintahan Rakai Panangkaran
menjadi penganut agama Buddha Mahayana, untuk kemudian pindah lagi
menjadi penganut agama Siwa sejak pemerintahan Rakai Pikatan.
Pengganti Pikatan adalah Rakai Kayuwangi yang memerintah tahun 856-886 M.
Pengganti Kayuwangi adalah Watuhumalang yang memerintah tahun 886-898 M.
Kemudian menyusullah raja Balitung (Rakai Watukura) yang memerintah tahun
898-910 M. Prasastinya terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga
dapat disimpulkan ia adalah raja pertama yang memerintah kedua bagian pulau
Jawa itu, mungkin kerajaan Kanjuruhan di Jawa Timur telah ia taklukkan,
mengingat ia dalam pemerintahan di Jawa Tengah ada sebutan Rakryan
Kanuruhan yaitu salah satu jabatan tinggi langsung di bawah raja.
Raja-raja sesudah Balitung adalah Daksa (910-919 M), Tulodong (919-924 M),
kemudian Wawa (924-929 M). Sejak 929 M prasasti hanya didapatkan di Jawa
Timur dan yang memerintah adalah seorang raja dari keluarga lain yaitu Sindok
dari Isanawangsa2.
Pendiri dinasti baru di Jawa Timur yaitu Isanawangsa. Istilah wangsa Isana
dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 963 S (1041 M) yang menyebut gelar
Sindok yaitu Sri Isanatungga. Rupanya kerajaan yang baru itu tetap bernama
Mataram, sebagaimana tertera dalam prasasti Paradah 865 S (943 M) dan
prasasti Anjukladang 859 S (937 M).
Kedudukan Mpu Sindok dalam keluarga raja Mataram memang
dipermasalahkan. Poerbatjaraka berpendapat bahwa Sindok naik tahta karena
perkawinannya dengan Pu Kbi, anak Wawa. Dengan demikian Pu Sindok adalah
menantu Wawa, Stutterheim membantah pendapat tersebut dengan mengatakan
bahwa Pu Sindok adalah cucu Daksa. Bahkan Boechari (1962) mengemukakan
bahwa Pu Sindok pernah memangku jabatan Rakai Halu dan Rakryan Mapatih I
Hino yang menunjukkan bahwa ia pewaris tahta kerajaan yang sah, siapapun
ayahnya. Jadi tidak perlu harus kawin dengan putri mahkota untuk dapat menjadi
raja.
Pu Sindok memerintah mulai tahun 929-948 M. Ia meninggalkan banyak prasasti
yang sebagian besar berisi penetapan Sima. Dari prasasti tersebut dapat
diketahui bahwa agama Sindok adalah Hindu. Selama Sindok berkuasa
terhimpun pula sebuah kitab suci agama Buddha yaitu Sang Hyang
Kamahayanikan yang menguraikan ajaran dan ibadah agama BuddhaTantrayana.
Pengganti Sindok dapat diketahui pula dari prasati Pucangan yang dikeluarkan
Airlangga. Demikianlah Sindok digantikan anak perempuannya Sri Isana
Tunggawijaya yang bersuamikan raja Sri Lokapala. Mereka berputra Sri
Makutawangsawarddhana. Mengenai kedua raja pengganti Sindok tak ada suatu
keterangan lain lagi, kecuali bahwa Makutawangsawarddhana mempunyai
seorang anak perempuan bernama Gunapriyadharmmapatni atau
Mahendradatta yang kawin dengan Udayana dari keluarga Warmadewa dan
memerintah di Bali. Mereka mempunyai anak bernama Airlangga.
Pengganti Makutawangsawarddhana adalah Sri Dhammawangsa Teguh
Anantawikrama. Kemungkinan besar ia adalah anak Makutawangsawarddhana,
jadi saudara Mahendradatta yang menggantikan ayahnya duduk di atas tahta
kerajaan Mataram. Dalam masa pemerintahan Dharmawangsa, kitab
Mahabharata disadur dalam bahasa Jawa Kuno. Sementara itu dalam bidang
politik, Dharmawangsa berusaha keras untuk menundukkan Sriwijaya yang saat
ini merupakan saingan berat karena menguasai jalur laut India-Indonesia-Cina.
Prasasti Pucangan memberitakan tentang keruntuhan itu. Disebutkan bahwa tak
lama sesudah perkawinan Airlangga denga putri Teguh, kerajaan ini mengalami
pralaya pada tahun 939 S (1017 M), yaitu pada waktu raja Wurawari menyerang
dari Lwaram. Banyak pembesar yang meninggal termasuk Dharmawangsa
Teguh.
Prasasti Pucangan menyebutkan bahwa Dharmawangsa Airlangga dapat
menyelamatkan diri dari serangan Haji Wurawari, dan masuk hutan hanya diikuti
abdinya yang bernama Narottama. Selama di hutan Airlangga tetap melakukan
pemujaan terhadap dewa-dewanya. Maka pada tahun 941 S (1019 M) ia direstui
para pendeta Siwa, Buddha, dan Mahabrahmana sebagai raja dengan gelar
Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa
(Soekmono, 1973).
Pada masa pemerintahannya, raja Airlangga telah banyak mengeluarkan
prasasti seperti prasasti Pucangan atau Calcutta. Prasasti ini dikeluarkan
airlangga pada tahun 963 S (1041 M) memuat silsilah raja Airlangga yang dimulai
dari raja Sri Isana Tungga atau Pu Sindok. Dengan silsilah ini, Airlangga ingin
memperkokoh dan melegitimasi kedudukannya sebagai pewaris sah atas tahta
kerajaan Dharmmawangsa Teguh dan benar-benar masih keturunan Pu Sindok.
Sebagaian besar masa pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan
menaklukkan kembali raja-raja bawahannya, antara lain menyerang Haji
Wengker, Haji Wurawari, dan raja Hasin. Di bidang karya sastra, pada masa ini
telah dihasilkan kitab Arjunawiwaha yang merupakan gubahan Pu Kanwa.
Untuk menghindari perang saudara Airlangga terpaksa membagi kerajaan
menjadi dua. Samarawijaya sebagai pewaris yang sah karena ia anak
Dharmmawangsa Teguh mendapatkan kerajaan Pangjalu dengan ibukota yang
lama yaitu Dahana Pura. Sedangkan anak Airlangga sendiri entah
Sanggramawijaya entah adiknya mendapat bagian kerajaan Janggala yang
beribukota di Kahuripan.
menyebut bahwa raja pertama Pangjalu yang berkedudukan di Daha adalah
Sanggramawijaya yang kemudian diambil alih oleh Samarawijaya. Sedangkan
kerajaan Janggala yang berkedudukan di Kahuripan rajanya bernama Mapanji
Garasakan, yang tidak lain adalah anak Airlangga, adik Sanggramawijaya.
Garasakan kemudian digantikan oleh Alanjung Ahyes, selanjutnya digantikan
oleh Samarotsaha.
Setelah 3 orang raja Janggala dan setelah ada masa gelap selama kira-kira 60
tahun, yang muncul dalam sejarah adalah kerajaan Kadiri dengan ibukotanya di
Daha. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa temuan prasasti batu yang
sebagian besar ada di daerah Kediri. Prasasti yang pertama adalah Prasasti
Pandlegan tahun 1038 S (1117 M) yang dikeluarkan oleh raja Sri Bameswara.
Prasasti ini berisi tentang anugerah raja Bameswara kepada penduduk desa
Pandlegan (Boechari, 1968). Prasasti lain yang dikeluarkan Bameswara adalah
prasasti Panumbangan (1042 S), Geneng (1050 S), Candi (1051 S), Besole
(1051 S), Tangkilan (1052 S), dan Pagilitan (1056 S). Berdasarkan data prasasti
yang ada dapat diketahui bahwa raja Bameswara memerintah antara tahun
1038-1056 S.
Setelah pemerintahan raja Bameswara, muncul raja lain bernama Jayabaya.
Hanya 3 prasasti yang telah ditemukan dari raja ini yaitu prasasti Hantang (1057
S), Talang (1058 S), dan Jepun (1066 S) yang berisi tentang penetapan Sima.
Cap kerajaannya berupa Narasingha. Pada masa pemerintahan Jayabaya telah
digubah kakawin Bhatarayuddha pada tahun 1079 S (1157 M) oleh Mpu Sedah
dan Mpu Panuluh.
Raja Kadiri yang terakhir adalah Srengga atau Krtajaya, memerintah antara
tahun 1194-1222 M. Ada 6 prasasti dari raja ini Kemulan (1116 S), Palah (1119
S), Galunggung (1122 S), Biri (1124 S), Sumber Ringin Kidul (1126 S), dan
Lawadan (1127 S). Lencana kerajaan Kadiri yang dipakai Krtajaya adalah
Srenggalanchana.
Kerajaan Kadiri runtuh pada tahun 1144 S (1222 M). Menurut Nagarakretagama
(XL:3-4) Sri Ranggah Rajasa yang bertahta di Kutaraja, ibukota kerajaan
Tumapel pada tahun 1144 S menyerang raja Kadiri yaitu raja Sri Krtajaya.
Krtajaya kalah, kerajaan dihancurkan, dan ia melarikan diri ke gunung yang
sunyi. Sedangkan menurut Pararaton, raja Kadiri bernama Dandang Gendis
minta kepada para bhujangga Siwa dan Buddha supaya menyembah kepadanya.
Para bhujangga menolak lalu melarikan diri ke Tumapel berlindung pada Ken
Angrok. Para bhujangga merestui Ken Angrok sebagai raja di Tumapel,
kerajaannya bernama Singhasari dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara
Sang Amurwabhumi. Lalu ia menyerang Daha (Kadiri), dan raja Dandang Gendis
dapat dikalahkan
yang dikepalai oleh seorang akuwu bernama Tunggul Ametung. Daerah Tumapel
ini termasuk dalam daerah kekuasaan raja Krtajaya (Dandang Gendis) dari Daha
(Kadiri). Kedudukan Tunggul Ametung menjadi akuwu Tumapel berakhir setelah
dibunuh oleh Ken Angrok, dan jandanya yang bernama Kendedes dikawininya.
Ken Angrok kemudian menjadi penguasa baru di Tumapel. Ken Angrok pula
yang kemudian menaklukkan Dandang Gendis dari Kadiri, dan kemudian
menjadi Maharaja di Singhasari.
Munculnya tokoh Ken Angrok ini kemudian menandai lahirnya wangsa baru yaitu
Rajasawangsa atau Girindrawangsa. Wangsa inilah yang berkuasa di Singhasari
dan Majapahit. Ken Angrok memerintah Singhasar sejak 1222-1227 M dan tetap
berkedudukan di Tumapel atau secara resmi disebut Kutaraja. Pemerintahan
Rajasa berlangsung aman dan tentram.
Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Angrok memperoleh 4 orang anak,
yaitu Mahesa Wonga Teleng, Panji Anabrang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Dari
istrinya yang lain yaitu Ken Umang, Ken Angrok mempunyai 4 orang anak yaitu
Tohjoyo, Sudahtu, Wregola, dan Dewi Rambi. Pada tahu 1227 M Ken Angrok
dibunuh oleh seorang pengalasan dari Batil atas suruhan Anusapati, anak tirinya
sebagai balas dendam terhadap pembunuhan ayahnya Tunggul Ametung. Dari
kitab Pararaton diketahui bahwa Anusapati bukanlah bukanlah anak dari Ken
Dedes dan Ken Angrok, tatapi anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Ken
Angrok kemudian dicandikan di Kagenengan sebagai Siwa. (Nagarakretagama,
XXXVI:1-2) dan di Usana sebagai Buddha (Sumadio, 1994).
Sepeninggal Ken Angrok, Anusapati menjadi raja, memerintah tahun 1227-1248
M. Selama masa pemerintahannya itu tidak banyak yang diketahui. Tetapi juga
Tohjaya hendak pula membalas dendam atas pembunuhan ayahnya, Ken
Angrok oleh Anusapati. Akhirnya pada tahun 1248 Anusapati dapat dibunuh oleh
Tohjaya. Anusapati kemudian didharmakan3 di candi Kidal.
Dengan meninggalnya Anusapati, Tohjaya kemudian menggantikannya menjadi
raja. Tohjaya hanya memerintah selama beberapa bulan dalam tahun 1248.
Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orangorang Rajasa dan Sinelir. Dalam penyerbuan itu Tohjaya luka parah dan
diungsikan ke Katang Lumbang. Akhirnya ia meninggal dan dicandikan di Katang
Lumbang.
Pada tahun 1248 Ranggawuni dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri
Jayawisnuwardana. Dalam menjalankan pemerintahannya ia didampingi oleh
Mahisa Campaka, anak Mahisa Wonga Teleng (memerintah bersama bagai
Wisnu dan Indra). Pada tahun 1255 M Wisnuwarddhana mengeluarkan sebuah
prasasti untuk mengukuhkan desa Mula dan Malurung menjadi Sima. Di dalam
prasasti tersebut ia disebut dengan nama Narayya Smining Rat. Sebelumnya,
dalam tahun 1254 Wisnuwarddhana menobatkan anaknya Kertanagara sebagia
raja, tetapi ia sendiri tidak turun tahta tetapi memerintah terus untuk anaknya.
Menurut Kakawin Nagarakertagama (LXXIII:3) Wisnuwarddana meninggal pada
tahun 1268, serta dicandikan di Weleri sebagai Siwa dan di Jajaghu sebagai
Buddha.
Sebelum tahun 1268, Kertanagara belum memerintah sendiri sebagai raja
Singhasari Pada waktu itu ia masih memerintah di bawah bimbingan ayahnya,
Raja Wisnuwarddhana sebagai rajamuda (Rajakumara) di Daha. Setelah
memerintah, raja Kertanagara adalah seorang raja Singhasari yang sangat
terkenal. Dalam bidang politik ia terkenal sebagai seorang raja yang mempunyai
gagasan perluasan Cakrawala Mandala ke luar pulau Jawa.
Menurut Pararaton bahwa dalam usaha meruntuhkan Kerajaan Singhasari,
Jayakatwang mendapat bantuan dari Arya Wiraraja, Adipati Sumenep yang telah
dijauhkan dari kraton oleh raja Kertanegara. Serangan Jayakatwang dilancarkan
pada tahun 1292. Kitab Pararaton menceritakan bahwa tentara Kadiri dibagi dua,
menyerang dari dua arah, pasukan yang menyerang dari arah utara ternyata
hanya untuk menarik pasukan Singhasari dari arah kraton. Siasat itu berhasil
setelah pasukan Singhasari dibawah pimpinan Raden Wijaya (anak Lembu Tal,
cucu Mahisa Campaka) dan Arddharaja (anak Jayakatwang) menyerbu ke utara,
maka pasukan Jayakatwang yang menyerang dari arah selatan menyerbu ke
kraton, dan dapat membunuh raja Kertanegara. Dengan gugurnya raja pada
tahun 1929, seluruh kerajaan Singhasari dikuasai oleh Jayakatwang. Raja
Kertanegara kemudian didharmakan di candi Singosari sebagai Bhairawa, candi
Jawi sebagai Siwa-Buddha, dan di Sagala sebagai Jina (Soekmono, 1985).
Jayakatwang, Singhasari berada di bawah kekuasaan raja Kadiri Jayakatwang.
Raden Wijaya yang juga menantu Raja Kertanegara kemudian berusaha untuk
merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya dari tangan raja Jayakatwang
dengan bantuan Adipati Wiraraja dari Madura, serta memanfaatkan kedatangan
tentara Khubilai Khan yang sebenarnya dikirim untuk menyerang Singhasari
dalam menyambut tantangan raja Kertanegara yang telah menganiaya
utusannya Meng-Chi. Demikianlah maka dengan kedatangan tentara Khubilai
Khan tercapailah apa yang dicita-citakan oleh Wijaya, yaitu runtuhnya Daha.
Setelah Wijaya berhasil mengusir tentara Mongol, maka dirinya dinobatkan
menjadi raja Majapahit pada tahun 1215 S (1293 M) dengan gelar Sri Kertarajasa
Jayawardhana. Raja ini kemudian meninggal pada tahun 1309 M serta
dicandikan di Antahpura sebagai Jina dan di Simping sebagai Siwa.
Sepeninggal Kertarajasa, putranya Jayanagara dinobatkan menjadi raja
Majapahit. Pada masa pemerintahannya ia dirongrong oleh serentetan
pemberontakan. Dalam pemberontakan Kuti tahun 1319 M muncul seorang
tokoh yang kemudian akan memegang peranan penting dalam sejarah Majapahit
yaitu Gajah Mada. Dalam Pararaton diceritakan bahwa pada pada tahun 1328 M
Raja Jayanagara meninggal dibunuh seorang tabib bernama Tanca. Selanjutnya
menurut Nagarakretagama (XLVIII:3) Raja Jayanagara dicandikan dalam pura di
Sila Petak dan Bubat sebagai Wisnu, serta di Sukhalila sebagai Amoghasiddhi
Raja Jayanagara tidak mempunyai keturunan, maka sepeninggalnya pada tahun
1328 M, ia digantikan oleh adik perempuannya yaitu Bhre Kahuripan. Ia
dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Tribuwanottunggadewi
Jayawisnuwardhani. Dari kakawin Nagarakretagama (XLIX:3) diketahui bahwa
dalam masa pemerintahannya telah terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta
pada tahun 1331 M. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada,
setelah peristiwa Sadeng ini, kitab Pararaton menyebutkan sebuah peristiwa
yang kemudian menjadi amat terkenal dalam sejarah yaitu Sumpah Palapa
Gajah Mada. Pada tahun 1350 M Tribhuwana mengundurkan diri dari
pemerintahan dan digantikan oleh anaknya Hayam Wuruk. Pada tahun 1372 M
Tribhuwana meninggal dan didharmakan di Panggih (Sumadio, 1994).
Pada tahun 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja
Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara. Dalam menjalankan pemerintahannya
ia didampingi oleh Gajah Mada yang menduduki jabatan patih Hamangkubhumi.
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah kerajaan Majapahit mengalami
puncak kebesarannya. Untuk menjalankan politik Indonesianya, satu demi satu
daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji kekuasaan Majapahit
ditundukkan dan dipersatukan oleh Hayam Wuruk. Akan tetapi politik Indonesia
itu berakhir sampai tahun 1357 M dengan terjadinya peristiwa Bubat, yaitu
perang antara orang Sunda dan Majapahit.
Dalam masa pemerintahannya, Hayam Wuruk sering mengadakan perjalanan
keliling daerah-daerah kekuasaannya yang dilakukan secara berkala. Pada masa
ini bidang kesusastraan sangat maju. Kitab Nagarakretagama yang merupakan
kitab sejarah tentang Singhasari dan Majapahit berhasil dihimpun dalam tahun
1365 oleh Prapanca. Sedangkan pujangga Tantular berhasil menggubah cerita
Arjunawiwaha dan Sutasoma
Selanjutnya dalam kitab Pararaton (XXX:24) disebutkan bahwa pada tahun 1311
S (1389 M) Raja Hayam Wuruk meninggal, namun tempat pendharmaannya
tidak diketahui. Sepeninggal Hayam Wuruk, tahta kerajaan Majapahit dipegang
oleh Wikramawarddhana. Ia adalah menantu dan keponakan Raja Hayam Wuruk
yang dikawinkan dengan putrinya bernama Kusumawarddhani.
Wikramawarddhana mulai memerintah tahun 1389 M. Pada tahun 1400 M ia
mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjadi seorang pendeta.
Wikramawarddhana kemudian mengangkat anaknya yang bernama Suhita untuk
menggantikannya menjadi raja Majapahit.
Diangkatnya Suhita di atas tahta kerajaan Majapahit menimbulkan pangkal
konflik di Majapahit, (timbulnya pertentangan keluarga antara
Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhumi). Pada tahun 1404 M persengketaan
itu makin memuncak, dan muncul huru hara yang dikenal dengan nama Perang
Paregreg. Dari Pararaton disebutkan bahwa dalam Perang Paregreg akhirnya
Bhre Wirabhumi berhasil dibunuh Bhre Narapati.
Masa pemerintahan Suhita berakhir dengan meninggalnya Suhita pada tahun
1447 M. Ia didharmakan di Singhajaya. Oleh karena Suhita tidak memiliki anak,
maka tahta kerajaan diduduki oleh adiknya yang bernama Bhre Tumapel Dyah
Kertawijaya dengan gelar Prabu Brawijaya I. Ia tidak lama memerintah. Pada
tahun 1451 M ia meninggal dan didharmakan di Krtawijaya pura.
Dengan meninggalnya Kertawijaya, Bhre Pamotan menggantikannya menjadi
raja dengan gelar Sri Rajasawarddhana. Ia dikenal pula dengan sebutan Sang
Sinagara atau Prabu Brawijaya II. Ia memerintah hampir 3 tahun lamanya. Pada
tahun 1453 M ia meninggal dan didharmakan di Sepang. Menurut Pararaton
sepeninggal Rajasawarddhana selama 3 tahun (1453-1456 M) Majapahit
mengalami masa kekosongan tanpa raja (interregnum). Baru pada tahun 1456 M
tampillah Dyah Suryawikrama Girisawarddhana menduduki tahta dengan gelar
Brawijaya III. Ia memerintah selama 10 tahun (1456-1466 M). Pada tahun 1466
M ia meninggal dan didharmakan di Puri (Soekmono, 1985).
Sebagai penggantinya kemudian Bhre Pandan Salas diangkat menjadi raja
dengan gelar prabu Brawijaya IV. Setelah Bhre Pandan Salas meninggal,
kedudukannya sebagai raja Majapahit digantikan oleh anaknya
Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Sebelum menjadi raja Majapahit,
Ranawijaya berkedudukan sebagai Bhattara i Kling. Pada masa
pemerintahannya ia tidak berkedudukan di Majapahit, melainkan tetap di Kling
karena Majapahit di duduki Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V. Pada
tahun 1478 M Ranawijaya melancarkan serangan terhadap Bhre Kertabhumi.
Dalam perang tersebut Ranawijaya berhasil merebut kembali kekuasaan
Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi, dan Kertabhumi gugur di Kadaton
(Djafar, 2009).
Prasasti Pucangan memberitakan tentang keruntuhan itu. Disebutkan bahwa tak
lama sesudah perkawinan Airlangga denga putri Teguh, kerajaan ini mengalami
pralaya pada tahun 939 S (1017 M), yaitu pada waktu raja Wurawari menyerang
dari Lwaram. Banyak pembesar yang meninggal termasuk Dharmawangsa
Teguh.
Prasasti Pucangan menyebutkan bahwa Dharmawangsa Airlangga dapat
menyelamatkan diri dari serangan Haji Wurawari, dan masuk hutan hanya diikuti
abdinya yang bernama Narottama. Selama di hutan Airlangga tetap melakukan
pemujaan terhadap dewa-dewanya. Maka pada tahun 941 S (1019 M) ia direstui
para pendeta Siwa, Buddha, dan Mahabrahmana sebagai raja dengan gelar
Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa
(Soekmono, 1973).
Pada masa pemerintahannya, raja Airlangga telah banyak mengeluarkan
prasasti seperti prasasti Pucangan atau Calcutta. Prasasti ini dikeluarkan
airlangga pada tahun 963 S (1041 M) memuat silsilah raja Airlangga yang dimulai
dari raja Sri Isana Tungga atau Pu Sindok. Dengan silsilah ini, Airlangga ingin
memperkokoh dan melegitimasi kedudukannya sebagai pewaris sah atas tahta
kerajaan Dharmmawangsa Teguh dan benar-benar masih keturunan Pu Sindok.
Sebagaian besar masa pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan
menaklukkan kembali raja-raja bawahannya, antara lain menyerang Haji
Wengker, Haji Wurawari, dan raja Hasin. Di bidang karya sastra, pada masa ini
telah dihasilkan kitab Arjunawiwaha yang merupakan gubahan Pu Kanwa.
Untuk menghindari perang saudara Airlangga terpaksa membagi kerajaan
menjadi dua. Samarawijaya sebagai pewaris yang sah karena ia anak
Dharmmawangsa Teguh mendapatkan kerajaan Pangjalu dengan ibukota yang
lama yaitu Dahana Pura. Sedangkan anak Airlangga sendiri entah
Sanggramawijaya entah adiknya mendapat bagian kerajaan Janggala yang
beribukota di Kahuripan.
d. Kadiri dan Jenggala
Berdasarkan pembagian kerajaan tersebut, selanjutnya Boechari (1968)menyebut bahwa raja pertama Pangjalu yang berkedudukan di Daha adalah
Sanggramawijaya yang kemudian diambil alih oleh Samarawijaya. Sedangkan
kerajaan Janggala yang berkedudukan di Kahuripan rajanya bernama Mapanji
Garasakan, yang tidak lain adalah anak Airlangga, adik Sanggramawijaya.
Garasakan kemudian digantikan oleh Alanjung Ahyes, selanjutnya digantikan
oleh Samarotsaha.
Setelah 3 orang raja Janggala dan setelah ada masa gelap selama kira-kira 60
tahun, yang muncul dalam sejarah adalah kerajaan Kadiri dengan ibukotanya di
Daha. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa temuan prasasti batu yang
sebagian besar ada di daerah Kediri. Prasasti yang pertama adalah Prasasti
Pandlegan tahun 1038 S (1117 M) yang dikeluarkan oleh raja Sri Bameswara.
Prasasti ini berisi tentang anugerah raja Bameswara kepada penduduk desa
Pandlegan (Boechari, 1968). Prasasti lain yang dikeluarkan Bameswara adalah
prasasti Panumbangan (1042 S), Geneng (1050 S), Candi (1051 S), Besole
(1051 S), Tangkilan (1052 S), dan Pagilitan (1056 S). Berdasarkan data prasasti
yang ada dapat diketahui bahwa raja Bameswara memerintah antara tahun
1038-1056 S.
Setelah pemerintahan raja Bameswara, muncul raja lain bernama Jayabaya.
Hanya 3 prasasti yang telah ditemukan dari raja ini yaitu prasasti Hantang (1057
S), Talang (1058 S), dan Jepun (1066 S) yang berisi tentang penetapan Sima.
Cap kerajaannya berupa Narasingha. Pada masa pemerintahan Jayabaya telah
digubah kakawin Bhatarayuddha pada tahun 1079 S (1157 M) oleh Mpu Sedah
dan Mpu Panuluh.
Raja Kadiri yang terakhir adalah Srengga atau Krtajaya, memerintah antara
tahun 1194-1222 M. Ada 6 prasasti dari raja ini Kemulan (1116 S), Palah (1119
S), Galunggung (1122 S), Biri (1124 S), Sumber Ringin Kidul (1126 S), dan
Lawadan (1127 S). Lencana kerajaan Kadiri yang dipakai Krtajaya adalah
Srenggalanchana.
Kerajaan Kadiri runtuh pada tahun 1144 S (1222 M). Menurut Nagarakretagama
(XL:3-4) Sri Ranggah Rajasa yang bertahta di Kutaraja, ibukota kerajaan
Tumapel pada tahun 1144 S menyerang raja Kadiri yaitu raja Sri Krtajaya.
Krtajaya kalah, kerajaan dihancurkan, dan ia melarikan diri ke gunung yang
sunyi. Sedangkan menurut Pararaton, raja Kadiri bernama Dandang Gendis
minta kepada para bhujangga Siwa dan Buddha supaya menyembah kepadanya.
Para bhujangga menolak lalu melarikan diri ke Tumapel berlindung pada Ken
Angrok. Para bhujangga merestui Ken Angrok sebagai raja di Tumapel,
kerajaannya bernama Singhasari dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara
Sang Amurwabhumi. Lalu ia menyerang Daha (Kadiri), dan raja Dandang Gendis
dapat dikalahkan
e. Singhasari
Pada masa akhir kerajaan Kadiri, daerah Tumapel merupakan suatu daerahyang dikepalai oleh seorang akuwu bernama Tunggul Ametung. Daerah Tumapel
ini termasuk dalam daerah kekuasaan raja Krtajaya (Dandang Gendis) dari Daha
(Kadiri). Kedudukan Tunggul Ametung menjadi akuwu Tumapel berakhir setelah
dibunuh oleh Ken Angrok, dan jandanya yang bernama Kendedes dikawininya.
Ken Angrok kemudian menjadi penguasa baru di Tumapel. Ken Angrok pula
yang kemudian menaklukkan Dandang Gendis dari Kadiri, dan kemudian
menjadi Maharaja di Singhasari.
Munculnya tokoh Ken Angrok ini kemudian menandai lahirnya wangsa baru yaitu
Rajasawangsa atau Girindrawangsa. Wangsa inilah yang berkuasa di Singhasari
dan Majapahit. Ken Angrok memerintah Singhasar sejak 1222-1227 M dan tetap
berkedudukan di Tumapel atau secara resmi disebut Kutaraja. Pemerintahan
Rajasa berlangsung aman dan tentram.
Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Angrok memperoleh 4 orang anak,
yaitu Mahesa Wonga Teleng, Panji Anabrang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Dari
istrinya yang lain yaitu Ken Umang, Ken Angrok mempunyai 4 orang anak yaitu
Tohjoyo, Sudahtu, Wregola, dan Dewi Rambi. Pada tahu 1227 M Ken Angrok
dibunuh oleh seorang pengalasan dari Batil atas suruhan Anusapati, anak tirinya
sebagai balas dendam terhadap pembunuhan ayahnya Tunggul Ametung. Dari
kitab Pararaton diketahui bahwa Anusapati bukanlah bukanlah anak dari Ken
Dedes dan Ken Angrok, tatapi anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Ken
Angrok kemudian dicandikan di Kagenengan sebagai Siwa. (Nagarakretagama,
XXXVI:1-2) dan di Usana sebagai Buddha (Sumadio, 1994).
Sepeninggal Ken Angrok, Anusapati menjadi raja, memerintah tahun 1227-1248
M. Selama masa pemerintahannya itu tidak banyak yang diketahui. Tetapi juga
Tohjaya hendak pula membalas dendam atas pembunuhan ayahnya, Ken
Angrok oleh Anusapati. Akhirnya pada tahun 1248 Anusapati dapat dibunuh oleh
Tohjaya. Anusapati kemudian didharmakan3 di candi Kidal.
Dengan meninggalnya Anusapati, Tohjaya kemudian menggantikannya menjadi
raja. Tohjaya hanya memerintah selama beberapa bulan dalam tahun 1248.
Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orangorang Rajasa dan Sinelir. Dalam penyerbuan itu Tohjaya luka parah dan
diungsikan ke Katang Lumbang. Akhirnya ia meninggal dan dicandikan di Katang
Lumbang.
Pada tahun 1248 Ranggawuni dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri
Jayawisnuwardana. Dalam menjalankan pemerintahannya ia didampingi oleh
Mahisa Campaka, anak Mahisa Wonga Teleng (memerintah bersama bagai
Wisnu dan Indra). Pada tahun 1255 M Wisnuwarddhana mengeluarkan sebuah
prasasti untuk mengukuhkan desa Mula dan Malurung menjadi Sima. Di dalam
prasasti tersebut ia disebut dengan nama Narayya Smining Rat. Sebelumnya,
dalam tahun 1254 Wisnuwarddhana menobatkan anaknya Kertanagara sebagia
raja, tetapi ia sendiri tidak turun tahta tetapi memerintah terus untuk anaknya.
Menurut Kakawin Nagarakertagama (LXXIII:3) Wisnuwarddana meninggal pada
tahun 1268, serta dicandikan di Weleri sebagai Siwa dan di Jajaghu sebagai
Buddha.
Sebelum tahun 1268, Kertanagara belum memerintah sendiri sebagai raja
Singhasari Pada waktu itu ia masih memerintah di bawah bimbingan ayahnya,
Raja Wisnuwarddhana sebagai rajamuda (Rajakumara) di Daha. Setelah
memerintah, raja Kertanagara adalah seorang raja Singhasari yang sangat
terkenal. Dalam bidang politik ia terkenal sebagai seorang raja yang mempunyai
gagasan perluasan Cakrawala Mandala ke luar pulau Jawa.
Menurut Pararaton bahwa dalam usaha meruntuhkan Kerajaan Singhasari,
Jayakatwang mendapat bantuan dari Arya Wiraraja, Adipati Sumenep yang telah
dijauhkan dari kraton oleh raja Kertanegara. Serangan Jayakatwang dilancarkan
pada tahun 1292. Kitab Pararaton menceritakan bahwa tentara Kadiri dibagi dua,
menyerang dari dua arah, pasukan yang menyerang dari arah utara ternyata
hanya untuk menarik pasukan Singhasari dari arah kraton. Siasat itu berhasil
setelah pasukan Singhasari dibawah pimpinan Raden Wijaya (anak Lembu Tal,
cucu Mahisa Campaka) dan Arddharaja (anak Jayakatwang) menyerbu ke utara,
maka pasukan Jayakatwang yang menyerang dari arah selatan menyerbu ke
kraton, dan dapat membunuh raja Kertanegara. Dengan gugurnya raja pada
tahun 1929, seluruh kerajaan Singhasari dikuasai oleh Jayakatwang. Raja
Kertanegara kemudian didharmakan di candi Singosari sebagai Bhairawa, candi
Jawi sebagai Siwa-Buddha, dan di Sagala sebagai Jina (Soekmono, 1985).
f. Majapahit
Setelah penguasa Singhasari terakhir (raja Kertanegara) gugur karena seranganJayakatwang, Singhasari berada di bawah kekuasaan raja Kadiri Jayakatwang.
Raden Wijaya yang juga menantu Raja Kertanegara kemudian berusaha untuk
merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya dari tangan raja Jayakatwang
dengan bantuan Adipati Wiraraja dari Madura, serta memanfaatkan kedatangan
tentara Khubilai Khan yang sebenarnya dikirim untuk menyerang Singhasari
dalam menyambut tantangan raja Kertanegara yang telah menganiaya
utusannya Meng-Chi. Demikianlah maka dengan kedatangan tentara Khubilai
Khan tercapailah apa yang dicita-citakan oleh Wijaya, yaitu runtuhnya Daha.
Setelah Wijaya berhasil mengusir tentara Mongol, maka dirinya dinobatkan
menjadi raja Majapahit pada tahun 1215 S (1293 M) dengan gelar Sri Kertarajasa
Jayawardhana. Raja ini kemudian meninggal pada tahun 1309 M serta
dicandikan di Antahpura sebagai Jina dan di Simping sebagai Siwa.
Sepeninggal Kertarajasa, putranya Jayanagara dinobatkan menjadi raja
Majapahit. Pada masa pemerintahannya ia dirongrong oleh serentetan
pemberontakan. Dalam pemberontakan Kuti tahun 1319 M muncul seorang
tokoh yang kemudian akan memegang peranan penting dalam sejarah Majapahit
yaitu Gajah Mada. Dalam Pararaton diceritakan bahwa pada pada tahun 1328 M
Raja Jayanagara meninggal dibunuh seorang tabib bernama Tanca. Selanjutnya
menurut Nagarakretagama (XLVIII:3) Raja Jayanagara dicandikan dalam pura di
Sila Petak dan Bubat sebagai Wisnu, serta di Sukhalila sebagai Amoghasiddhi
Raja Jayanagara tidak mempunyai keturunan, maka sepeninggalnya pada tahun
1328 M, ia digantikan oleh adik perempuannya yaitu Bhre Kahuripan. Ia
dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Tribuwanottunggadewi
Jayawisnuwardhani. Dari kakawin Nagarakretagama (XLIX:3) diketahui bahwa
dalam masa pemerintahannya telah terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta
pada tahun 1331 M. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada,
setelah peristiwa Sadeng ini, kitab Pararaton menyebutkan sebuah peristiwa
yang kemudian menjadi amat terkenal dalam sejarah yaitu Sumpah Palapa
Gajah Mada. Pada tahun 1350 M Tribhuwana mengundurkan diri dari
pemerintahan dan digantikan oleh anaknya Hayam Wuruk. Pada tahun 1372 M
Tribhuwana meninggal dan didharmakan di Panggih (Sumadio, 1994).
Pada tahun 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja
Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara. Dalam menjalankan pemerintahannya
ia didampingi oleh Gajah Mada yang menduduki jabatan patih Hamangkubhumi.
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah kerajaan Majapahit mengalami
puncak kebesarannya. Untuk menjalankan politik Indonesianya, satu demi satu
daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji kekuasaan Majapahit
ditundukkan dan dipersatukan oleh Hayam Wuruk. Akan tetapi politik Indonesia
itu berakhir sampai tahun 1357 M dengan terjadinya peristiwa Bubat, yaitu
perang antara orang Sunda dan Majapahit.
Dalam masa pemerintahannya, Hayam Wuruk sering mengadakan perjalanan
keliling daerah-daerah kekuasaannya yang dilakukan secara berkala. Pada masa
ini bidang kesusastraan sangat maju. Kitab Nagarakretagama yang merupakan
kitab sejarah tentang Singhasari dan Majapahit berhasil dihimpun dalam tahun
1365 oleh Prapanca. Sedangkan pujangga Tantular berhasil menggubah cerita
Arjunawiwaha dan Sutasoma
Selanjutnya dalam kitab Pararaton (XXX:24) disebutkan bahwa pada tahun 1311
S (1389 M) Raja Hayam Wuruk meninggal, namun tempat pendharmaannya
tidak diketahui. Sepeninggal Hayam Wuruk, tahta kerajaan Majapahit dipegang
oleh Wikramawarddhana. Ia adalah menantu dan keponakan Raja Hayam Wuruk
yang dikawinkan dengan putrinya bernama Kusumawarddhani.
Wikramawarddhana mulai memerintah tahun 1389 M. Pada tahun 1400 M ia
mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjadi seorang pendeta.
Wikramawarddhana kemudian mengangkat anaknya yang bernama Suhita untuk
menggantikannya menjadi raja Majapahit.
Diangkatnya Suhita di atas tahta kerajaan Majapahit menimbulkan pangkal
konflik di Majapahit, (timbulnya pertentangan keluarga antara
Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhumi). Pada tahun 1404 M persengketaan
itu makin memuncak, dan muncul huru hara yang dikenal dengan nama Perang
Paregreg. Dari Pararaton disebutkan bahwa dalam Perang Paregreg akhirnya
Bhre Wirabhumi berhasil dibunuh Bhre Narapati.
Masa pemerintahan Suhita berakhir dengan meninggalnya Suhita pada tahun
1447 M. Ia didharmakan di Singhajaya. Oleh karena Suhita tidak memiliki anak,
maka tahta kerajaan diduduki oleh adiknya yang bernama Bhre Tumapel Dyah
Kertawijaya dengan gelar Prabu Brawijaya I. Ia tidak lama memerintah. Pada
tahun 1451 M ia meninggal dan didharmakan di Krtawijaya pura.
Dengan meninggalnya Kertawijaya, Bhre Pamotan menggantikannya menjadi
raja dengan gelar Sri Rajasawarddhana. Ia dikenal pula dengan sebutan Sang
Sinagara atau Prabu Brawijaya II. Ia memerintah hampir 3 tahun lamanya. Pada
tahun 1453 M ia meninggal dan didharmakan di Sepang. Menurut Pararaton
sepeninggal Rajasawarddhana selama 3 tahun (1453-1456 M) Majapahit
mengalami masa kekosongan tanpa raja (interregnum). Baru pada tahun 1456 M
tampillah Dyah Suryawikrama Girisawarddhana menduduki tahta dengan gelar
Brawijaya III. Ia memerintah selama 10 tahun (1456-1466 M). Pada tahun 1466
M ia meninggal dan didharmakan di Puri (Soekmono, 1985).
Sebagai penggantinya kemudian Bhre Pandan Salas diangkat menjadi raja
dengan gelar prabu Brawijaya IV. Setelah Bhre Pandan Salas meninggal,
kedudukannya sebagai raja Majapahit digantikan oleh anaknya
Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Sebelum menjadi raja Majapahit,
Ranawijaya berkedudukan sebagai Bhattara i Kling. Pada masa
pemerintahannya ia tidak berkedudukan di Majapahit, melainkan tetap di Kling
karena Majapahit di duduki Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V. Pada
tahun 1478 M Ranawijaya melancarkan serangan terhadap Bhre Kertabhumi.
Dalam perang tersebut Ranawijaya berhasil merebut kembali kekuasaan
Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi, dan Kertabhumi gugur di Kadaton
(Djafar, 2009).
0 Comments