Kualitas Guru Salah Satu Penyebab Buruknya Kualitas Pendidikan Indonesia

Salah satu penyumbang buruknya kualitas pendidikan kita adalah rendahnya kualitas guru. Persoalan ini juga pernah diakui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.

Akar dari jeleknya kualitas guru Indonesia setidaknya dari dua faktor, yakni pribadi guru dan manajemen pengelolaan tenaga pendidik. Pertama, secara pribadi harus diakui bahwa banyak guru kita alergi untuk mengembangkan diri ketika sudah didaulat menjadi guru.

Profesi guru yang seharusnya menuntut belajar lebih malah dimaknai sebagai titik selesainya proses belajar. Maka, jangan heran jika mereka malas membaca atau mengikuti pelatihan. Jika ikut pelatihan pun, yang mereka harap hanya sertifikatnya belaka. Semua tahu, sertifikat penting untuk urusan sertifikasi, sedangkan keahlian tak ada yang menilai.

Jika diri tak punya gairah belajar, bagaimana mengajar anak didik untuk rajin belajar? Ini sama seperti mengajar anak berenang tanpa menceburkan diri ke kolam, hanya teriak-teriak dari atas kolam sambil berkacak pingang. Bisa ditebak hasilnya seperti apa.

Di samping gairah belajar yang nihil, banyak guru menjadi guru tanpa tujuan mendidik. Mereka aslinya tak punya jiwa mendidik, tapi mengajar karena tak ada profesi lain yang bisa mereka geluti.

Saking banyaknya, kita sampai lupa menghitung berapa guru yang cabul, pelaku kekerasan terhadap siswa hingga tersangkut kasus korupsi.

Kedua, secara eksternal, ada yang kacau dalam sistem pengelolaan tenaga pendidik di Indonesia. Bakat anak bangsa sering dibiarkan dan tumbuh secara kebetulan, bukan dicari lalu dipelihara dengan cara saksama.

Di negara yang terdepan dalam pendidikan, seperti Finlandia dan Singapura, hanya orang dengan kualitas intelektual dan spiritual teratas yang dapat ijin untuk mengajar. Di Indonesia, siapa pun bisa jadi guru, apalagi yang punya koneksi.

Di Singapura misalnya, perencanaan pengembangan kualitas guru dilakukan sejak perekrutan. Kementerian pendidikan hanya menyeleksi sepertiga teratas lulusan sekolah menengah untuk diprospek menjadi guru. Kemampuan akademik dianggap sangat penting, dipadukan dengan komitmen terhadap profesi dan pelayanan kepada siswa. Bandingkan dengan guru Indonesia yang lebih sering hanya menuntut penghormatan dari siswa, tanpa pelayanan yang memadai.

Pembinaan dan penghargaan terhadap guru juga sangat tinggi. Guru akan menerima 60% dari gaji guru profesional selama masa training dan bersedia mengajar selama minimal tiga tahun.

Setelah menjadi guru profesional, kinerja mereka akan dinilai berdasarkan tiga potensi, keahlian mengajar, meneliti atau memimpin, dengan ketentuan gaji berjenjang. Di Indonesia, guru sering dianggap super hebat dan dipuji habis-habisan hanya jika mampu menulis.

Dengan fokus pada perekrutan dan pembinaan guru yang berkualitas, Singapura tak pernah menghadapi persoalan kekurangan guru kelas yang berbakat, kepala sekolah yang mumpuni, dan peneliti yang hasilnya dapat diaplikasikan ke dalam sistem pendidikan.

Demi menghormati profesi guru, Singapura menyiapkan, mendidik dan mengapresiasi mereka dengan gaji tertinggi di dunia.

Bagaimana manajemen pendidikan di Indonesia?

Manajemen pendidikan di negara kita banyak dipegang oleh orang-orang yang sakit jiwa. Alih-alih memikirkan kualitas guru, sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka terkenal sebagai tukang sunat dana bantuan pendidikan. Tanpa sungkan mereka memenggal 10-30 persen dana bantuan. Sekolah, yang pengelolanya biasanya merangkap jadi guru, juga tak ada yang berani menolak, takut tahun berikutnya bantuan tak cair.

Kita juga jengah dengan rumitnya birokrasi pendidikan. Kerumitan ini tampak disengaja jika tak ada uang pelicin. Bagaimana mungkin birokrasi pendidikan seperti ini sempat mengurusi perbaikan mutu pendidikan yang mensyaratkan kebajikan dalam segala lini, terutama guru sebagai garda terdepan pendidikan.

Para pemangku kebijakan di tingkat atas, seperti presiden atau menteri, sudah saatnya berani lantang menyatakan bahwa telah terjadi tragedi di pendidikan kita karena rendahnya kualitas guru. Sudah waktunya mata kita terbelalak untuk sadar lalu melakukan revolusi guru demi mengejar ketertinggalan.

Sumber; rimanews

Post a Comment

0 Comments