FGSI Nilai Program Kemdikbud Masih Bersifat Ritual

Dewan Pembina Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI) Doni Koesoma mengatakan, program-program yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sejauh ini masih bersifat ritual dan tidak membangun sustainabilitas secara sistem.

Dia menilai, program seperti guru garis depan (GGD), belajar bersama maestro (BBM), atau kawah kepemimpinan pelajar, semuanya hanya berupa program pelatihan terputus, tanpa ada kelanjutan dan dukungan dalam sistem.

“Seharusnya pemerintah melakukan program yang sustinabilitas karena program seperti BBM tidak secara langsung menjaring anak-anak terbaik. Padahal seharusnya program itu dapat dimanfaatkan oleh semua orang,” kata pendiri Pendidikan Karakter Education Consulting itu kepada SP, Selasa ( 29/12) sore.

Dia menambahkan, jika tahun depan pemerintah masih memberi dana untuk membiayai lomba-lomba olimpiade dan lain-lain, maka semakin menunjukkan ketidakadilan. Sebab, yang memperoleh manfaat dari lomba-lomba seperti itu hanya satu atau dua orang saja. Supaya tidak hanya menjadi sebuah ritual, pemerintah harus membuat kebijakan yang membangun budaya sekolah.

Doni menjelaskan, kebijakan membangun budaya sekolah ini terkait dengan aturan dan juga terkait dengan sistem kurikulum yang sedang diterapkan saat ini.

Selanjutnya dia menyebutkan ada tiga hal yang harus dibenahi pemerintah. Pertama, kebijakan tentang kriteria ketuntasan minimal (KKM). Selama ini, kebijakan KKM tidak menunjukkan fungsinya secara benar seperti yang ada dalam buku pedoman KKM. Sebab dengan adanya KKM, masing-masing sekolah menjadi jor-joran meningkatkan KKM.

Misalkan KKM nilai biologi dalam rapor delapan maka, siswa harus mencapai standar tersebut meskipun siswa tidak mampu. “Maka KKM di lapangan membuat anak-anak malas karena ujung-ujungnya nilai tetap di atas KKM,” kata dia.

Dia menambahkan, KKM juga sangat berpengaruh untuk sekolah negeri khususnya anak kelas tiga. Jika nilai tidak mencapai KKM, siswa tidak dapat mengikuti ujian nasional (UN) sehingga sekolah mau tidak mau harus meningkatkan poin siswa agar sesuai dengan KKM.

“Nah hal ini tidak mendidik, karena anak yang malas sengaja tidak mau belajar dan ini tidak membentuk karakter anak,” jelasnya.
Selain itu, KKM juga berpengaruh untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) via jalur undangan. Sebab, KKM akan membuat sekolah lebih mengutamakan peningkatan nilai siswa daripada membentuk karakter siswa

Kedua, terkait penilaian sikap. Menurut Doni, ke kedepannya, pemerintah harus mengubah penilaian sikap yang masih mengunakan huruf tanpa ada penjelasan. Sebab, seharusnya penilaian sikap harus objektif.

“Jika sikap dalam rapor diberi penilaian B sebagai standar minimal kenaikan kelas, maka anak-anak nakal dan tidak nakal sulit kita bedakan. Seharusnya objektif biar dia pintar jika nakal nanti akan sadar diri,” ujarnya.

Dia menambahkan, berdasarkan pengalaman, masih banyak sekolah yang belum berani menampilkan sikap anak sesuai kenyataan hanya sekolah- sekolah dengan indeks integritas baik yang berani.

Ketiga, kebijakan remedial, menurutnya tidak menunjukkan proses pembelajaran menjadi lebih baik. Sebab, anak-anak tidak akan malu dan tidak ada peningkatan minat belajar karena siswa mengedepankan remedial untuk mencapai standar KKM.

Sumber; beritasatu

Post a Comment

0 Comments