Tak bisa dipungkiri
bahwa pendidikan sangat menentukan perkembangan seorang anak. Pendidikan yang
wajar, pemikiran anak akan berjalan sebagaimana mestinya. Pendidikan yang tidak
wajar - cenderung dipaksakan - mengantarkan anak ke dalam kegalauan panjang
bahkan sampai usia dewasa. Karena apa? Pendidikan yang dipaksakan demikian ini
pula yang membuat anak salah pilih jurusan saat kuliah misalnya, yang berakibat
kesalahan fatal pada masa depannya.
Masih syukur jika perkuliahan benar
dijalani, namun jika pendidikan terbengkalai siapa yang mesti disalahkan. Tidak
hanya itu, urusan pekerjaan menghadang dengan sendirinya setelah pendidikan
sarjana usai. Apabila salah "jurusan" maka bisa tamat riwayat anak
karena bingung mau ke mana dan apa yang harus dilakukan. Belum lagi kondisi
saat ini yang mana ruang pekerjaan semakin sempit, ditolak oleh perusahaan atau
tidak lulus pegawai negeri menjadi ketakutan tersendiri bagi mereka yang tidak
memiliki kreatifitas tinggi.
Dari mana memulai
pendidikan yang baik itu?
Semua orang paham betul
bahwa pendidikan terbaik terjadi sejak dini. Pada masa ini pula anak-anak
menunjukkan keinginan mereka. Anak yang berbakat main bola akan senang sekali
menendang bola bahkan akan menangis sejadinya jika orang tua tidak membeli
bola. Anak yang hobi memasak akan menunggu sampai ibunya menghidangkan makanan
di atas meja. Anak yang memiliki jiwa seni berlebih akan cukup senang menari
atau bernyanyi.
Dalam keluarga,
pendidikan yang baik telah terbina namun berubah drastis begitu masuk ke dunia
pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan umum yang berpatokan pada kurikulum dari
pemerintah malah membuat keinginan anak simpang siur. Anak harus belajar banyak
pelajaran walaupun mereka tidak meminatinya. Anak harus ikut keinginan
kurikulum – guru hanya mengajar sesuai kurikulum – walaupun diubah tiap kali.
Anak harus mencapai nilai batas minimun jika ingin lulus mata pelajaran
dimaksud. Jika tidak lulus, bagaimana tindakannya? Tidak naik kelas atau
hukuman lainnya seperti mengulang ujian (remedial). Padahal anak yang pintar
menulis puisi belum tentu bisa menurunkan persamaan rumit matematika.
Maka, kurikulum yang
baik itu harus memiliki aspek ini...
Mengarah pada bakat dan
minat
Lihat terlebih dahulu
bakat dan minat seorang anak. Sejak diantarkan orang tua mereka ke sekolah,
anak telah menunjukkan bakat dan minat terhadap suatu hal. Dari permasalahan
ini pula seorang guru yang berpatokan pada kurikulum mengarahkan anak ke bakat
dan minat tersebut. Penting sekali mengarahkan anak pada bakat dan minat mereka
karena kemajuan mereka terletak pada pemahaman di kemudian hari. Anak yang
dipaksa belajar suatu mata pelajaran namun tidak disukainya, otomatis menjadi
pelengkap saat bersekolah. Contoh kecil saja, dunia hiburan Korea Selatan
benar-benar menyeleksi bakat-bakat seni sejak kecil lalu dididik sampai debut.
Hasilnya, dalam waktu cepat sekali pertumbuhan dunia hiburan negeri gingseng
diakui dunia. Bakat-bakat lain terlihat dari dunia teknologi, tak mudah Samsung
atau LG berdiri kokoh sebagai raksasa teknologi yang disegani secara global
jika sejak dini pendidikan mengenai ini dijalankan dengan maksimal.
Tidak mengekang
Pendidikan yang
mengekang adalah pendidikan di mana guru sebagai tokoh utama. Guru sangat
perkasa dan tak bisa dibantah. Apa yang dikatakan guru adalah benar. Keputusan
guru tidak boleh disanggah. Kondisi yang seperti ini membuat anak tidak berani
mengeluarkan unek-unek mereka. Anak-anak tidak santai dalam belajar karena
apa-apa yang mereka kerjakan takut salah. Ketakutan demikian membuat anak susah
berkembang karena tidak berani mencoba. Padahal, proses coba-coba inilah yang
membawa keberhasilan. Tak ada teori relativitas Albert Einstein tanpa proses
coba-coba berkepanjangan. Tak ada pula bola lampu berpijar tanpa kegagalan dari
Thomas Alva Edison.
Membiarkan hobi
berkembang
Hobi bisa menjadi
pekerjaan? Ini sudah menjadi rahasia umum saat ini. David Beckham memulai
sepakbola karena sebuah hobi, akhirnya menjadi pesepakbola disegani di dunia
bahkan termasuk orang terkaya di dunia. Hobi menulis bahkan bisa menjadi
selebriti seperti Raditya Dika atau Asma Nadia.
Pendidikan yang
"layak" saat ini adalah pendidikan yang membiarkan hobi anak berkembang.
Hobi dimulai dari bakat dan minat sejatinya pasti akan menghasilkan sesuatu.
Anak yang dididik melalui peminatan sejak dini tidak akan keluar dari bakat
maupun minat. Anak hobi tentang sesuatu maka akan dilakukan dengan segenap
jiwa.
Disiplin
Kunci sukses adalah
disiplin. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan deadline lomba menulis,
misalnya. Jika ingin menjadi penulis sukses seperti JK. Rowling tentu saja
mengatur rutinitas menulis dengan bijak.
Anak yang telah dilatih
kedisiplinan sejak dini akan mudah mempraktekkan di kemudian hari. Disiplin
tidak perlu - cuma - diajarkan secara lisan. Disiplin itu berkaitan dengan
tingkah laku. Orang mendengungkan disiplin belum tentu melaksanakannya. Orang
yang tidak berbicara disiplin bisa saja telah melaksanakan kedisiplinan dalam
kesehariannya.
Kurikulum yang berlaku
saat ini, baik-baik saja jika mengandalkan nilai berupa angka. Namun, kurikulum
ini tidak akan baik jika menginginkan hasil akhir berupa sikap, kematangan pola
pikir dan pendewasaan hidup.
0 Comments