Gerakan Pemikiran Fiqh Kontemporer Serta Pemikirannya



A.    Pemikiran Ushul Fiqh Kontemporer
1.      Tokoh-Tokoh Ushul Fiqh dan Pemikirannya
a.      Fazlur  Rahman
Titik tolak pemikiran Fazlur Rahman tentang perlunya metodologi baru dalam memahami teks Al-Qur’an dimulai dengan penelitian historisnya mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), yang diungkapkannya dalam buku Islamic Methodology in History (1965).
Pandangan Fazlur Rahman ini dilatarbelakangi oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, yang kemudian mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi; yaitu perumusan  kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan titik-pusat ijtihadnya.
Dalam kajian historisnya ini, Fazlur Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi s.a.w. dan aktifitas ijtihad-ijma’. Bagi Fazlur Rahman, sunnah kaum Muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal Nabi s.a.w. yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Fazlur Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal Nabi s.a.w. di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum Muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain.
Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan. Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran menggantikan proses sunnah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakatankesepakatan masa lampau. Puncak dari proses reifikasi (proses pembendaan, pembakuan) ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke-4  Hijrah atau 10 M.
Dari hasil kajian historisnya ini, Fazlur Rahman kemudian menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Fazlur Rahman mengkritik doktrin ini, menurutnya “ijtihad bukanlah hak privilege eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat Muslim”, dia juga menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; kemudian dia mengajukan perlunya memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Fazlur Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup.
Sementara itu untuk mengantisipasi pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab, Fazlur Rahman mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode Chicago. Dalam konteks inilah metodologi tafsir Fazlur Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding the Qur’an” atau “ the correct method of Interpreteting The Qur’an” memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan syari’ah harus diperiksa di bawah sinaran bukti Al-Qur’an:
“Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang sistematis dan berani harus dilakukan.”
Akan tetapi, persoalannya terleetak pada kemampuan kaum Muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Fazlur Rahman menegaskan:“..bukan hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi Muslim awal, pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.”
b.      Muhammad Syahrur
Syahrur mengusung satu model, yaitu kembali ke teks (return to texts). Apa yang dimaksud dengan kembali ke teks menurut Syahrur adalah upaya membaca kitab suci dengan perangkat epistemologi yang diturunkan dari teks suci. Dalam pembacaannya, Syahrur mendasarkan pada asumsi-asumsi dasar yang dapat kita lihat pada Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-qur’an bahwa ”Jika Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami bahwa al-Kitab juga diturunkan kepada kita yang hidup dua puluh ini, seolah-olah Nabi Muhammad baru saja wafat dan telah menyampaikan sendiri kepada kita.”. Oleh sebab itu, Syahrur memahami al-Kitab dengan nalar zaman abad dua puluh sehingga al-Kitab dapat merefleksikan problemtika sosial, ekonomi dan politik sesuai zamannya.
Disini, Syahrur lebih bermain pada linguistik dengan bersandar pada tiga pondasi, yaitu metode linguistik Abu Ali al-Farisi, perspektif linguistik Ibnu Jinni dan Abdul Qadir al-Jurjani. Hingga menghasilkan produk akhir ilmu linguistik modern yang menyatakan bahwa bahasa manapun tidak memiliki karakter sinonim.
Syahrur membedakan istilah al-Kitab dan Al-qur’an. Al-Kitab ialah sekumpulan tema yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad yang terdiri dari ayat-ayat dalam mushaf. Sedangkan Al-qur’an ialah ayat-ayat mutasyabihat yang sering dinamakan as-sab’ al-masani. Perbedaan antara al-kitab dan al-qur’an sejajar dengan perbedaan konsep Nubuwwah (kenabian) dan al-Risalah  (kerasulan). Yang pertama menunjukkan perbedaan antara realitas dan khayalan atau ilusi, sedangkan yang kedua berisi hukum dan aturan tingkah laku. Dengan kata lain yang pertama bersifat objektif dan independen sementara yang kedua bersifat subjektif dan tergantung pada pengetahuan manusia.
Metode ijtihadnya antara lain, Syahrur hanyalah merupakan pseudo ijtihad sebagai tandingan dalam mendekonstruksi hukum-hukum Islam, mengesampingkan keterangan muhkamat dan tsawabit menjadi mutasyabihat dan mutaghayyirat.
Syahrur telah keluar dari epistemologi Islam yang mengugat dan mendekonstruksi ushul fiqih dengan epistemologi berlandaskan worldview (pandangan dunia) Barat yang mengedepankan rasionalitas yang tunduk pada realitas dengan pendekatan hermeneutika. Sunnah Nabi saw. yang selama 15 abad diyakini sebagai sumber hukum, sebagai bayan Al-qur’an dinegasikan posisinya oleh akal yang mempertimbangkan kondisi sosial. Sumber hukum Islam lainnya seperti Ijma’ pun didekonstruksi. Selain itu, Ia pun menggugurkan konsep qiyas, yang dikatakannya mengacu dan membawa masalah ke masa lampau serta tidak berarti sama sekali. Karena menurutnya, dia berulang kali katakan, bahwa penerapan hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis. Prinsip yang ia gunakan hanya akal pikiran dengan realitas objektif.
Buah dari pemikirannya tersebut melahirkan sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batas ini terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal). Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas ini pada Alqur’an surat an-Nisa’ ayat 13-14. Ia membagi  enam bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis, yaitu Halah al-had al-a’la (posisi batas maksimal), Halah al-hadd al-adna (posisi batas minimal), Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal bersamaan dengan batas minimal), Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif), Halah al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan), dan Halah al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif).
Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum itu tadi. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah tadi dapat digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudud-u-lLah (ketentuan Allah antara batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah.
Contoh aplikasi dalam teori batas mengenai pakaian dan aurat wanita. ketika menafsirkan QS. [24]: 31, “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”. Syahrur mengartikan aurat dengan apa yang membuat seseorang malu apabila terlihat dan aurat tidak berkaitan dengan halal haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh, “Apabila ada orang yang botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang botak, maka dia akan memakai rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya sebagai aurat. Kemudian ia mengutip hadits Nabi, “Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya.” Dia berkomentar, menutupi aurat mukmin dalam hadits itu, bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat. Maka ia menyimpulkan bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang ketika terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Sedang malu menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat istiadat, zaman, dan tempat. Maka ketika ada ayat yang menyuruh memakai jilbab dalam QS. [33]: 59.
c.       Hasan al-Turabi
Hasan al-Turabi mengusulkan perluasan makna qiyās dan istishāb. Menurut al-Turabi, sebenarnya pengertian qiyās luas sekali, mencakup makna lepas (‘afw) dan makna teknis yang harus dipatuhi oleh para ahli fikih dalam menyamakan hukum far` dengan hukum ashl karena memiliki alasan hukum (‘illah) yang serupa, syarat hukum asal, hukum cabang, dan tujuan hukum. Berbagai persoalan khusus (juz’iyat) dalam qiyās harus diperluas dengan menentukan sekumpulan nash dan mengambil konklusi tentang tujuan atau kemaslahatan agama dari berbagai situasi dan peristiwa itu. Kemudian diterapkan untuk situasi dan peristiwa baru. Pola kerja seperti ini, menurut al-Turabi yang dimaksud dengan fikih Umar ibn al-Khattab. Sebuah fikih kemaslahatan umum yang tidak membahas secara terperinci penyesuaian berbagai peristiwa khusus dan kemudian menghukuminya berdasarkan analogi dengan berbagai peristiwa serupa sebelumnya. Akan tetapi, ia berangkat dari orientasi perjalanan syariat awal dan dengannya berusaha mengarahkan kehidupan saat ini. Jadi setiap qiyās mengharuskan adanya abstraksi kondisi tertentu sebelumnya berdasarkan nash.
Sebagai contoh al-Turabi menukil sebuah riwayat di mana seorang pria datang pada Nabi SAW dan berkata:” Celakalah aku. Aku telah menggauli istri pada siang hari di bulan Ramadhan”. Menurut al-Turabi, kasus seperti ini tidak akan pernah terulang lagi secara persis sama. Mungkin kasus serupa bisa terjadi pada orang lain dengan istrinya sendiri, tapi kita tidak mengambil pelajaran (i’tibār) dari peristiwa itu dan menjatuhkan hukum di antara keduanya. Karena bisa jadi penyebab batal puasanya adalah persoalan lain semisal makan atau minum. Persoalannya kemudian, apakah kita juga akan mengabstraksikannya dengan menganggap cara itu dan berpegang pada segala bentuk pembatalan puasa dan kemudian memperluas penentuan hukumnya? Selanjutnya al-Turabi menyatakan bahwa keluasan dan kesempitan qiyās yang dipergunakan ditentukan pada taraf abstraksi kondisi pertama untuk memperoleh tujuan hukum utama. Qiyās mujmal yang lebih luas atau qiyās mashlahah mursalah lebih tinggi derajatnya dalam mencari inti tujuan hukum dengan cara mengambil sejumlah hukum agama yang disandarkan pada sejumlah peristiwa dan diambil unsur kemaslahatan umum darinya.


d.      Abdullahi Ahmed an Na’im
Setiap tokoh pasti memiliki ciri dan karakter tersendiri dalam merumuskan pemikiran yang merupakan hasil dari pemahaman masing-masing, Model paradigma barunya An-Na’im, beliau berpendapat bahwa syari’ah tidak cukup hanya dengan reformasi hukum Islam akan tetapi lebih dari itu yaitu dengan rekonstruksi, reaktualisasi atau bahkan mungkin harus dengan dekonstruksi. Karena Islam lahir dalam setting masyarakat yang sama sekali berbeda dengan masyarakat kontemporer yang tengah berlangsung dalam kehidupan modern saat ini.
Pemikiran dekonstruksi Abdullahi Ahmed an-Naim nampaknya layak dan bisa menjadi garansi atas wacana pembaharuan hukum Islam kontemporer. Bagi Abdullahi Ahmed an-Na’im seperti bisa dibaca pada karyanya kesempurnaan syari’ah Islam bukanlah terletak pada kebekuannya (yang dianggap sudah berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW), melainkan justru pada kemampuannya untuk terus berkembang maju sesuai dengan tuntutan kehidupan yang juga semakin berkembang maju. An-Naim membangun metodologi dengan teori yang selama ini baru. Hukum islam harus didekrontuksi secara total, agar bisa koheren dengan modernitas, namun tetap islam. Pemikiran rekronstuktifnya An-Na’im cenderung skeptipis dan apatis terhadap metodelogi yang telah ada sebelumnya yaitu fiqh klasik.
e.       Hassan Hanafi
Hasan Hanafi menengarai perlunya sikap kritis terhadap tradisi kita dan tradisi mereka. Proyeknya yang terkenal adalah al-turats wa al-tajdid yang berupaya meletakkan landasan teoritis pada kerangka lingkaran piramida peradaban. Kerangka teoritis tersebut berisi bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tiga akar pijakan berfikir; kemarin (al-madhi), yang dipersonifikasikan dengan turats qodim (khazanah klasik). Esok (al-mustaqbal) yang dipersonifikasikan dengan turats gharbi (khazanah barat), dan sekarang (al-hali), yang dipersonifikasikan dengan al waqi’ (realitas kontemporer).
f.        Nashr Hamid Abū Zayd
Sementara Nashr Hamid dengan konsep makna dan signifikansi (maghzā) mencoba melakukan pembacaan ulang konsep ‘illah dalam ushul fikih. Dalam pandangan Abū Zayd, perbedaan antara makna dan signifikansi dapat dilihat dari dua dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Dimensi pertama, bahwa makna memiliki ciri historis, maksudnya bahwa ia dapat diraih hanya dengan pengetahuan yang cermat mengenai konteks linguistik (internal) dan konteks kultural-sosiologis (eksternal). Sementara signifikansi (maghzā), meskipun tidak dapat dipisahkan dari makna, bahkan saling bersentuhan dan berangkat dari makna, memiliki corak kontemporer dalam pengertian ia merupakan hasil dari pembacaan masa di luar atau berbeda dengan masa (terbentuknya) teks.
Dimensi kedua dan ini dianggap sebagai konsekuensi dari dimensi pertama, adalah bahwa makna memiliki aksentuasi yang relatif stabil dan mapan, sementara signifikansi memiliki corak yang bergerak (dinamis) seiring dengan perubahan horison-horison pembacaan, meskipun hubungannya dengan makna mengendalikan dan mengarahkan geraknya, karena memang demikianlah yang harus dilakukan (oleh pembacaan). Apabila dicermati, model pembacaan ini, yakni keharusan maghzā (signifikansi) bersentuhan dengan makna dan harus berangkat dari horison-horisonnya tampak tidak berbeda secara mendasar dengan analogi fiqhiyah yang didasarkan pada temuan ‘illah, dan menjadikan temuan tersebut sebagai pengikat bagi pengembangan pengertian ke peristiwa-peristiwa yang serupa yang tidak dieksplisitkan teks.
Namun demikian, kemiripan ini hanya tampak di permukaan saja, sementara perbedaannya sangat mendasar dan dalam. ‘Illah yang merupakan tempat bergantungnya hukum menurut ulama ahli fikih bisa jadi merupakan bagian dari pengertian dan makna, maksudnya ditegaskan secara eksplisit atau implisit, dan terkadang dicapai hanya dengan sekedar ijtihad ahli fiqh. Dalam kedua konteks ini analogi bersifat partikular (parsial), maksudnya berkaitan dengan hukum partikular dari hukum-hukum syariat, dan tidak melampauinya sampai pada hukum-hukum lainnya, apalagi merambah pada teks-teks non-hukum. Ahli fiqh kuna tidaklah menyingkapkan signifikansi, dan puncak yang diraihnya hanya pembicaraan mengenai tujuan-tujuan umum (al-maqāshid al-kulliyyah) yang sudah dibatasi pada upaya memelihara agama, jiwa, harga diri dan harta. Kata “memelihara” di sini tidak lepas dari konotasi yang menyingkapkan watak dari sikap fikih lama.
Dengan demikian, signifikansi, bagi Abū-Zayd, bukan merupakan tujuan-tujuan umum (maqāshid kulliyah) sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama fikih. Hal ini karena dua alasan mendasar. Pertama, signifikansi merupakan hasil dari pengukuran gerak yang ditimbulkan oleh teks dalam struktur bahasa, dan karenanya juga dalam kebudayaan dan realitas. Bersamaan dengan pengukuran gerak, orientasi gerak harus dibatasi, sebab beberapa tidak hanya mengulang bahasa yang sudah umum, dan karenanya memapankan gerak realitas dan kebudayaan semata, tetapi juga dalam struktur bahasanya kembali ke masa lalu dengan mengulanginya dan mengembalikan kebudayaan dan realitas ke belakang. Kedua, signifikansi ditentukan secara lebih ketat oleh tujuan-tujuan real wahyu.
Bertolak dari pembedaan makna dan signifikansi tersebut, kemudian Abū-Zayd merumuskan prosedur pembacaan teks yang harus ditaati seorang penganalisis. Menurutnya, sekalipun pembacaan berangkat dari signifikansi kontemporer, namun ia harus tetap berpangkal pada makna historis teks terlebih dahulu. Sebab, makna historis teks selain dapat memberikan “objektivitas” pemahaman, ia juga yang menentukan batas-batas yang mengarahkan pergeseran teks. Sementara itu, signifikansi juga memiliki peran di dalam menentukan segi-segi tertentu dari teks yang hendak diungkapkan. Ini karena, sifat signifikansi yang mengajukan “kriteria kontemporer” bagi upaya penyingkapan makna historis teks itu sendiri. Dalam pengertian ini, makna bukanlah sesuatu yang sudah final, tetapi turut ditentukan oleh horison harapan pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa pembacaan merupakan gerak dialektika antara makna dan signifikansi, antara masa lampau dan masa kini, dan antara teks dan pembacanya. Mengabaikan salah satu unsur tersebut akan menjerumuskan pembacaan kepada ideologisasi (qirā’ah talwiniyah).
2.      Kasus-kasus fiqh kontemporer
Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang belum dikenal pada masa Nabi. Maka pada masa sekarang ini, ketika perbankan (khususnya perbankan konveksional) memperkenalkan sistem bunga, pertanyaan muncul apakah ini termasuk kategori riba? Disinilah awal dari perdebatan itu. Persoalan prinsip ada pada uang apakah ia bisa dijadikan sebagai alat komoditi? Karena pada dasarnya bank adalah lembaga yang bergerak dalam usaha dagang. Karenanya, keuntungan menjadi sasaran penting dalam usahanya, dan barang dagang bank adalah uang dan jasa. Untuk menyelesaikan persoalan bunga bank itu riba atau bukan, maka alat yang digunakan untuk menganalisis masalah ini adalah melalui penalaran bayani yang lebih menitihberatkan pada pemahaman teks. Dan penalaran ta’lili, yang lebih berusaha mencari ‘illat hukum diharamkannya riba. Sehingga tidak terjebak pada pemaknaan riba adalah semata-mata “penambahan atas modal”, tanpa melihat kausa prima diharamkannya riba. Dalam masalah poligami.
Ayat Al-Qur’an 4:3 mensyaratkan keadilan di antara para isteri sebagai persyaratan poligami, Artinya:” Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Dan karena ayat 4:129 menyatakan bahwa keadilan yang dipersyaratkan itu tidak mungkin dicapai dalam praktik, Allah berfirman “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Maka selanjutnya dikatakan bahwa sesungguhnya maksud Al- Qur’an adalah menghapuskan poligami. Jadi seluruh teks itu disebut oleh para intelektual muslim modernis dalam rangka mendukung pembatasan poligami justru membolehkan poligami untuk suatu pengecualian. Inilah hasil konsep nasakh yang ditawarkan Abdullahi Ahmed an Na’im.
Kasus pelarangan atas rokok menurut syahrur. Selama ini, para ulama menyatakan bahwa hukumnya rokok adalah makruh dengan didasarkan pada riwayat hadis Nabi yang lemah. Bagi Syahrūr, adanya hukum yang melarang merokok adalah didasarkan pada kenyataan objektif atau bukti ilmiah yang dihasilkan oleh ilmu kedokteran bahwa di dalam rokok terdapat zat-zat yang berbahaya bagi tubuh manusia terutama jantung dan paru-paru. Temuan ilmiah kedokteran inilah yang menurutnya menjadi al-syāhid al-awwal dalam konsep qiyās, dan manusia yang hidup di masa ini adalah al-syāhid al-tsānī



B.     Pengertian Fiqh Sosial
Dalam sejarahnya, Fiqih Sosial muncul setelah ide-ide pembaruan Fiqih di Indonesia bermunculan. Kita mengenal ide Fiqih Indonesia yang dipopulerkan oleh Hasby Assidiqie tahun 1960an (bahkan benihnya sudah muncul sejak 1940an). Ide itu ditindaklanjuti dengan ide Fiqih Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia) oleh Hazairin pada tahun 1960an juga . Kemudian KH. Abdurrahman Wahid (lebih dikenal dengan pangilan Gus Dur) pada 1975 menawarkan ide Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan. Pada 1980an, Munawir Sjadzali mengusulkan ide Reaktualisasi Ajaran Islam. Disusul dengan ide Agama Keadilan oleh Masdar F. Mas’udi pada 1990an. Kemudian pada 1991 muncul Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang “dianggap” ijmak Ulama Indonesia, yang diinstruksikan oleh Presiden Soeharto. Baru kemudian muncul ide Fiqih Sosial pada 1994 oleh KH. Sahal Mahfudh dan KH. ‘Ali Yafie.
Sebagai sebuah wacana pemikiran, keberadaan Fiqh Sosial memang belum terdefinisikan secara jelas. Pemakaian istilah fiqh soaial (al-fiqh al-ijtima>’i>) secara bahasa akan menjadi tepat apabila disandingkan dengan term lain, yakni fiqh ndividu (al-fiqh al-infira>dhi>). Kedua istilah ini relative belum dikenla dalam discourse fiqh klasik[3], walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa klasifikasi – klasifikasi fiqh yang dibangun selama ini tetap mengapresiasikan dua sisi tersebut.
Jika al-fiqh al-infira>dhi> lebih menekankan pada aspek ajaran tentang hubungan individu dengan Tuhan (ibadah mahdhah) dan hubungan manusia dengan manusia dalam bentuk personal (baina al-fardh wa al-fardh), Maka fiqh sosial (al-fiqh ijtima>’i) lebih menekankan kajiannya pada aspek ajaran tentang hubungan antarsesama manusia-individu dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dengan pendekatan bahasa ini fiqh sosial dapat dipahami sebagai fiqh yang berdimensi sosial atau fiqh yang dibangun atas dasar hubungan antarindividu atau kelompok didalam masyarakat.[4] Ketiadaan istilah tak otomatis menunjukkan ketiadaan ide dasar istilah tersebut. Adanya indikasi Fiqih Sosial di dunia Arab bisa dilacak dari mekanisme Fiqih Sosial itu sendiri. Ini mengingat Fiqih Sosial merupakan tema yang sangat besar. Mekanisme itu diantaranya adalah semangat menjadikan Fiqih tak hanya sebagai justifikasi hukum. Akan tetapi, menjadikannya sebagai kritik sosial, agen perubahan sosial, penggerak perubahan dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Dengan begitu, Fiqih Sosial lebih peka terhadap masalah-masalah sosial dan lebih ramah budaya dan peradaban. Selain itu, ada mekanisme lain dari Fiqih Sosial. Yaitu, menverifikasi kembali mana persoalan-persoalan agama yang pokok dan mana yang cabang. Itu dilakukan dengan metode Maqâshid al-Syarî’ah. dari dua mekanisme itu saja bisa terlihat bahwa Fiqih Sosial, meskipun istilahnya dari Indonesia, akan tetapi spirit dan mekanismenya itu universal.
Fiqh sosial merupakan sebuah ikhtiar aktualisasi fiqh klasik melalui upaya aktualisasi keseluruhan nilai yang ada didalamnya untuk dioptimalkan pelaksanaan dan diserasikan dengan tuntunan makna sosial yang terus berkembang. Tujuan pokok fiqh sosial adalah membentuk satu konsep fiqh yang berdimensi sosial, atau fiqh yang dibangun dengan sejumlah peranan individu atau kelompok dalam proses bermasyarakat dan bernegara. Secara khusus bisa dikatakan bahwa pemikiran fiqh sosial ini berangkat dari realitas sikap keberagaman masyarakat tradisional, yang secara hirarkis mempertahankan pola bermadzhab secara utuh (qauli dan manhaji) dan benar (dimanifestasikan dalam seluruh sendi kehidupan).
Fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol: Pertama, Interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual; Kedua, Perubahan pola bermadzhab dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); Ketiga, Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu‘); Keempat, fiqh dihadir kan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial. [5] Jika dicermati lebih jauh, kelima ciri di atas memang didasarkan alas keyakinan bahwa rumusan produk hukum yang tertuang dalam berbagai kitab fiqh banyak yang dapat diterapkan (applicable) untuk memecahkan masalah-masalah sosial kontemporer. Pengembangan fiqh sosial tidak serta merta menghilangkan peran khazanah klasik. Dengan dasar keyakinan ini, kreatifitas dalam pengembangan fiqh sosial diharapkan tidak tercerabut dari akar tradisi orthodoxy. Persoalannya sekarang bagaimanakah khazanah klasik itu disikapi. Untuk tujuan ini maka prinsip “almuha>fadhatu ‘ala al-qodi>m al-sa>lih wa al-ak{hdzu> bil jadi>d al-aslah” akan selalu menjadi panduan.
C.    Paradigma Fiqh Sosial
Paradigma, paradigma oleh Thomas Khun diartikan sebagai cara pandang yang memiliki makna transedensi, namun paradigma kini menjadi kata yang bermakna awam dan telah digunakan sebagian masyarakat dengan makna atau arti yang berbeda. Paradigma yang dimaksud adalah cara pandang dalam melihat perubahan sosial di abad postmodernisme dari sisi fiqh (hukum Islam).[6] Saat ini, persoalan terbesar ummat manusia adalah munculnya berbagai persoalan sosial kemasyarakatan dan berbagai persoalan lainnya yang menyelimuti kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan sosial yang demikian pesat saat ini, perangkat-perangkat hukum yang telah ada disamping al-Qur’an dan as-Sunnah, para fuqoha dan pemimpin Islam diharapkan tanggap serta ditantang untuk melakukan ijtihad guna menyelesaikan masalah-masalah hukum (masa>il fiqhiyah) yang lahir akibat perubahan atau perkembangan sosial masyarakat Islam yang ada.
Dan, secara paradigmatik persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat yang menimbulkan persoalan hukum (masa>il fiqhiyah) harus disikapi secara kritis dan dipahami seditail mungkin, hingga ijtihad atau kebijakan yang diambil oleh para fuqoha dan pemimpin Islam lainnya dapat memberikan ketenangan dan ketentraman kepada ummat.
Pada prinsipnya tujuan syari’ at Islam yang dijabarkan secara rinci oleh para ulama dalam ajaran fiqh ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara. Syari’at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang dalam fiqh menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) maupun mut{hloqah (teknik operasionalnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu). la juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalam bentuk mu’a>syarah (pergaulan) maupun mu’a>malah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Disamping itu ia juga mengatur hubungan dan tata cara keluarga, yang dirumuskan dalam komponen muna>kahat. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jina>yah, jihad dan qadla>.
Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum. Dalam hal ini, kemaslahatan umum -kurang lebih adalah kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Baik kebutuhan itu berdimensi dlaru>riya>t atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan ha>jiya>t (sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi tah{siniyya>h atau pelengkap (suplementer).[7]
Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqh sosial di dasarkan atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dlaru>riya>t (primer), kebutuhan ha>jiya>t (sekunder) dan kebutuhan tah{siniyya>h (tersier). Fiqh sosial bukan sekedar sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga menjadikan fiqh sebagai paradigma pemaknaan sosial.
D.    Tokoh Fiqh Sosial Dan Pemikirannya
Seperti yang telah dipaparkan pada keterangan sebelumnya. Diantara tokoh-tokoh penggagas fiqh sosial diantaranya adalah KH. Sahal Mahfudh dan KH. ‘Ali Yafie.
Kiai Sahal Mahfudh merupakan sosok kiai yang sangat kharismatik di belantara Nusantara. repotasinya bisa disejajarkan dengan Gus Dur (almarhum) baik pola pemikiran dan kegigihannya dalam memperjuangkan agama Islam. Begitu juga beliau sering mengisi ceramah keagamaan di berbagai tempat, diskusi dan yang lebih menarik beliau juga produktif dalam menulis. Yang membuat namanya semakin tersohor, dengan perjuangannya melahirkan konsep baru di bidang fiqih. Beliau memiliki keinginan kuat untuk memposisikan fiqih mampu menjawab segala tantangan zaman, sehingga lahirlah pemikiran beliau yang terkenal dengan  sebutan fiqih sosial.
Pondasi kuat yang melatar belakangi timbulnya terobosan baru yang progesif di bidang fiqih ini, tak lepas dari keinginan beliau untuk membuktikan bahwa, fiqih tidak hanya berkaitan dengan ibadah mahdhah an sich (relasi vertikal), namun juga mampu mengeluarkan manusia dari jurang kejumudan, keterbelakangan, akhirnya menemukan konsep baru yang bernama ”fiqih sosial”, yakni fiqih yang berhubungan, berkaitan, dan berkelin-kelindan dengan problematika sosial yang meliputi pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, ekonomi, keilmuan, budaya, dan politik.[8]
Pada level ini kiai sahal berupaya mengentaskan kemiskinan dengan mendoktrin masyarakat dengan paradigma yang berbeda. Beliau mampu melakukan pergeseran pengertian miskin, setelah usahanya baik melalui ceramah, diskusi dan tulisan. Dengan segala upayanya menyadarkan masyarakat, beliau tidak henti-hentinya menyampaikan bahwa, hidup miskin harus dilawan dan harus di hilangkan, tiada lain dengan upaya keras, terencana, dan terorganisir, tidak menyerah tampa ada upaya mengubahnya. Kondisi miskin adalah kondisi yang tidak ideal, dan juga tidak dianjurkan oleh agama, landasannya adalah hadis Nabi ”kefakiran mendekatkan diri pada kekufuran” (HR. Abu Naim dari Anas). Dalam upaya kiai Sahal mengentaskan kemiskinan, dalam ranah praksisnya, pada Tahun 1977 Sahal mengikutkan santrinya, untuk mengikuti latihan tenaga pengembangan masyarakat yang di selenggarakan oleh LP3ES Jakarta, bekerja sama dengan Departemen Agama RI, selama satu tahun. Selama satu tahun itu diajari bagaimana mengembangkan potensi rakyat terutama di sektor pertanian.
Dari berbagai konsep yang ditawarkan kiai Sahal, perlu kiranya untuk membaca kembali berbagai konsepnya yang cukup mencerahkan dan penuh argumen, sebagai masukan untuk mebawa pada perubahan yang nyata, dengan tidak mudah menerima dengan kondisi yang kurang edial, agar kemiskinan yang menjadi salah satu faktor kekufuran tidak terus kita nikmati selamanya.
K.H. Ali Yafie dilahirkan di Wani-Donggala, Sulawesi Tengah, barangkali turut mengalirkan sifat pribadinya yang berkemauan keras, tekun, dan paantang menyerah. Beliau adalah sosok tokoh yang bentuk dan struktur dasar intelektualitasnya dirakit dipesantren. [9]
Begitu banyak kiprah beliau dalam bidang kemasyarakatan, dar tingkat local (pengajar diberbagai madrasah), regional (dosen dan hakim pada Pengadilan Tinggi Agama di Makasar, Inspektur Pengadilan Agama Indonesia Wilayah Timur, Staf harian dan anggota Dewan Pleno Badan Potensi Karya Kodam XIV Hasanudin) sampai tingkat nasional dengan duduk atau pernah menduduki jabatan penting (Ketua Dewan Penasehat ICMI, anggota Dewan Pengawas Syari’ah Bank Muamalat Indonesia, wakil ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur’an, Guru Besar Dira>sah Isla>miyah Universitas As-Syafi’iyah).
Melalui berbagai uraian, K.H. Ali Yafie telah memandu kita menjelajah belantara keagamaan dan sosial kemasyarakatan dalam spektrum yang cukup luas. Salah satu karyanya adalah Menggagas Fiqih Sosial dimana karya ini merupakan suntingan, kumpulan dari 26 artikel yang masing-masing merupakan ide utuh, lepas, berdiri sendiri, dan disampaikan pada berbagai kesempatan yang berbeda. Berkat teknik suntingan yang canggih, semua artikel terangkum menjadi jalinan kesatuan karya penting yang setiap unsurnya saling menopang dibawah tema sentral yang menggoda : Menggagas Fiqih Sosial.
Karya ini seirama dengan membumikan Al-Qur’an karya Prof. Dr. Quraish Shihab. Dengan orisinalitasnya masing-masing, keduanya dimulai dengan pembahasan tentang Al-Qur’an kemudian merambah kepada masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang actual saat ini. Dimana keduanya memberikan tekanan antara lain pada perlunya pemahaman Al-Qur’an secara utuh. Salah satu cara untuk memperoleh pemahaman Al-Qur’an secara utuh adalah dengan mendorong penafsiran secara tematis. Dengan menekankan pada atau mengajukan tema-tema tertentu. Dengan kemampuan memilih ayat-ayat yang berkaitan dengan kehidupan dan dengan bantuan Sunnah yang merupakan penjelasan paling otentik terhadap isis dan kandungan Al-Qur’an, menurut K.H. Ali Yafie, kita bisa menjadikannya pedoman yang benar-benar fungsional bagi manusia untuk hidup di dunia, terlebih di akhirat.

Kesimpulan

Gagasan teori Ushul Fiqh Kontemporer itu lebih menekankan metodologi menafsirkan atau menemukan hukum yang tidak hanya mengacu pada teks, tapi harus berpacu pada realitas sosial bukan pada undang-undang atau kepastian hukum semata.
Fazlur Rahman, dengan menggunakan konsep double movmentnya, Rahman mencoba menafsirkan ayat atau undang-undang dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain. Muhammad Syahrur dengan teori batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan menguhungungkan dengan realitas masyrakat sekarang
Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta'wilnya. Yaitu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya mengungkap makna teks secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi menyentuh pada spirit teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna signifikansi. 
Keberadaan Fiqh Sosial memang belum terdefinisikan secara jelas. Pemakaian istilah fiqh soaial (al-fiqh al-ijtima>’i>) secara bahasa akan menjadi tepat apabila disandingkan dengan term lain, yakni fiqh ndividu (al-fiqh al-infira>dhi>). Kedua istilah ini relative belum dikenla dalam discourse fiqh klasik[10], walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa klasifikasi – klasifikasi fiqh yang dibangun selama ini tetap mengapresiasikan dua sisi tersebut.
Dengan pendekatan bahasa ini fiqh sosial dapat dipahami sebagai fiqh yang berdimensi sosial atau fiqh yang dibangun atas dasar hubungan antarindividu atau kelompok didalam masyarakat.
Paradigma fiqh sosial di dasarkan atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dlaruriyah (primer), kebutuhan hajjiyah (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyah (tersier). Fiqh sosial bukan sekedar sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga menjadikan fiqh sebagai paradigma pemaknaan sosial.
Diantara tokoh fiqih sosial adalah K.H. Sahal Mahfudz dengan pemikirannya dalam pengentasan kemiskinan serta tokoh K.H. Ali Yafie dengan menggagas fiqih sosialnya.



DAFTAR PUSTAKA
Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Parsipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara Yogyakarta. 2005
Mahfudz, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKis Yogyakarta. 1994.
Rahman, Jamal D. Wacana Baru Fiqih Sosial 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: MIZAN. 1997



Oleh : Masnawiyah
          Nana Rupaidah

Post a Comment

0 Comments