Kelas sebagai Suatu Sistem Sosial


Pada dasarnya, proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah interaksi kegiatan yang berlangsung di ruang kelas. Untuk keperluan tersebut pembahasan mengenai kegiatan kelas menempati sub-topik tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut sosiologi beberapa pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis untuk mengamati proses-proses yang terjadi di ruang kelas.

Dimulai dari pengamatan Parson yang mengetengahkan argumentasi ilmiahnya tentang kelas sebagai suatu sistem sosial. Berkaitan dengan fungsi sekolah maka kelas merupakan kepanjangan
dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kiprah interaksi di kelas secara khusus berusaha untuk memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat (Robinson,
1981 : 127).

Di sisi lain, pendekatan interaksionis cenderung menekankan analisis sosio-psikologis untuk melihat ruang kelas. Sejumlah tokoh seperti Delamont, Lewin, Lippit, White dan H.H. Anderson adalah
figur-figur yang mengeksplorasi aspek interaksi antarguru dan murid. Selaras dengan hal tersebut, Withall, 1949, yang memanfaatkan karya-karya pendahulunya mencoba menemukan pengaruh
situasi sosial emosional dalam ruang kelas. Ia membedakan antara metode pengajaran yang cenderung teacher-centred dengan tipologi pembelajaran Learner-centred, dengan beranggapan bahwa tipe yang kedua merupakan cara yang paling efektif untuk kegiatan pembelajaran di kelas (Robinson, 1981 : 129).

Dalam satu rangkaian penelitian Flanders, 1967 memperkuat studi tentang interaksi di kelas. Menurut pendapatnya, semakin besar ketergantungan murid kepada guru, semakin kurang siswa tersebut mengembangkan strategi-strategi belajarnya sendiri (Robinson, 1981 : 130).

Inti dari penerapan analisis interaksi adalah menganalisis seluruh proses interaksi edukatif di kelas dan pengaruh-pengaruh psikologisnya kepada para siswa. Hal ini terkait erat dengan metode pendekatan yang diterapkan oleh guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.

Model pendekatan interpretatif juga bermanfaat untuk menangkap segala hal yang terpola di dalam aktivitas ruang kelas. Yang termasuk hasil penelitian di lingkup kategori interpretatif adalah analisis Waller. Bagi Waller, pendidikan merupakan seni menanamkan definisi-definisi situasi yang berlaku pada kaum muda dan sudah diterima oleh golongan penyelenggara. Dengan demikian sekolah merupakan satu alat ampuh untuk melakukan kontrol sosial (Robinson, 1981: 135). Inti dari studi tersebut mencoba menerangkan tentang fungsi sekolah yang mempengaruhi alam kesadaran para siswa untuk selalu konsekuen mengamalkan kriteria-kriteria penafsiran nilai yang ditekankan oleh sekolah.

Analisis lain juga mengungkap bahwa sumber ketegangan antarguru dan siswa berasal dari dualisme ketegangan peran guru di dalam kelas. Sebagai bawahan kepala sekolah seorang guru harus menerapkan ketentuan administratif sekolah secara ketat kepada murid-murid, namun di lain pihak tanggung jawab moral sebagai pendidik yang sarat dengan kebijaksanaan akan menghalanghalangi penerapan sanksi kepada siswa tersebut.

Sebagai sistem sosial tentunya di dalam kelas telah terbentuk konfigurasi sosial di dunia pergaulan siswa. Dari sini tampak konsep diferensiasi mengacu pada praktik organisasi penentuan penghuni kelas berdasarkan prestasi-prestasi siswa. Tentunya implikasi dari pengelompokan ini akan berakibat terbentuknya polarisasi antarkelompok. Baik itu kelompok si bodoh, si kaya, si pandai, dan
si pemalu. Apabila guru mengetahui fakta tersebut dan mampu mengelola interaksi antarkelompok maka proses penangkapan pengetahuan menjadi semakin dinamis dan cukup kaya. Sebaliknya
apabila guru cenderung masa bodoh dengan keadaan demikian justru semakin mempertegas potensi disintegrasi antarsiswa. Pada umumnya guru secara gegabah juga dengan mudah menuruti
subjektifitas perasaannya untuk menuruti kelompok-kelompok siswa yang menyenangkan perasaannya.

Sekali lagi jika hal terakhir yang terjadi maka kecemburuan sosial malah menjadi iklim pergulatan sosial di lingkungan kelas. Patut ditambahkan, analisis sosiologis juga mengungkapkan betapa eratnya kaitan antara tingkah laku dan sikap-sikap seseorang dengan latar belakang kelompok aspirasi yang digandrunginya. Kelompok-kelompok atau aspirasi-aspirasi acuan merupakan tempat berlabuh yang harus diperhitungkan di dalam upaya pembinaan tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya dari hasil analisis di atas, dapat memberikan wawasan sosiologi kelas kepada pengajar agar proses pendidikan dan pembinaan siswa lebih efektif (Faisal dan Yasik, 1985 : 76)

Post a Comment

0 Comments