Menjadi seorang Guru merupakan suatu pengabdian yang sangat besar kepada bangsa. terlebih bagi mereka yang bertugas di daerah tertentu yang jauh dari Anak dan Istri.
Meninggalkan anak, istri dan
keluarga besar untuk merantau tentu sangat berat. Ditambah lagi jika kepergian
tersebut untuk bukan untuk waktu singkat.
Namun bagi Idris, hanya itulah
yang bisa dilakukannya untuk menunjukkan pengabdian kepada negara dan bangsa
Indonesia. Bersama ratusan guru lainnya, Idris akan ditempatkan di berbagai
negara tetangga guna mengajar anak-anak para tenaga kerja Indonesia (TKI).
"Keluarga saya ya sedih
ditinggal dua tahun. Apalagi baru boleh pulang setelah enam bulan mengajar.
Namun saya beri pemahaman bahwa ini adalah panggilan untuk tugas dan mengabdi
bagi bangsa dan negara. Ketika kita punya kemmapuan lebih dan dibutuhkan oleh
bangsa dan negara, ya kita harus siap hadir," kata Idris, usai pelepasan
para guru di Jakarta, belum lama ini.
Ayah satu anak itu merupakan
guru tingkat sekolah dasar (SD). Meski tahu akan ditempatkan di Sabah,
Malaysia, Idris mengaku belum mengetahui akan mengajar mata pelajaran apa dan
pada jenjang pendidikan apa.
Sebelum ditunjuk sebagai salah
satu guru bagi anak-anak TKI ilegal di negara tetangga tersebut,
Idris melalui sejumlah seleksi, termasuk wawancara. Dia mengaku tidak merasa
khwatir menjalani program ini selama dua tahun ke depan.
"Saya sudah mempersiapkan
semua ini selama empat bulan terakhir," ujar pemilik gelar Master
Administrasi Pendidikan dari Universitas Pakuan, Bogor, itu.
Selain Idris, ada pula Sigit
Rudiawoko. Lulusan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu juga menganggap
penempatannya di Sabah sebagai sebuah pengabdian.
"Sebelumnya saya juga
pernah mengajar melalui prpgram SM3T di Sumba Timur," ujar Sigit.
Meski ditempatkan di negeri
tetangga, Sigit merasa salah satu kendala yang akan dihadapinya adalah bahasa.
"Karena walaupun mereka orang Indonesia, mereka tidak tahu Indonesia itu
di mana," ujarnya.
Sabah merupakan daerah dengan
banyak perkebunan kepala sawit. Saat ini ada sekira 53 ribu anak TKI yang
bekerja di perkebunan tersebut tidak mendapat akses pendidikan di negeri jiran.
Mereka tidak bisa bersekolah karena orangtuanya adalah TKI ilegal. Karena
itulah pemerintah Indonesia dan Malaysia bekerjasama untuk mengirimkan
guru-guru Indonesia ke sana.
Sumber: okezone
0 Comments