Ukuran Sukse Bagi Seorang Guru

Lewat tengah malam, dari atas bukit, Salahuddin Al Ayyubi memperhatikan tenda pasukannya. Sebagian samar-samar diterangi lentera dan ada yang telah terselimuti gelap. Pada pagi hari saat pasukan berbaris siap ke medang perang, Salahuddin berteriak lantang, “Siapa yang tak shalat Tahajud, tak usah ikut perang!”

Pada hari itu, Kota Jerusalem jatuh ke tangan Salahuddin Al Ayyubi. Mengapa Tahajud jadi ukuran? Inilah pendidikan model Rasulullah SAW yang akhirnya ditiru dan diterapkan para sahabat. Tahajud memang jadi pengingat diri. Pada saat perang, menegakkan Tahajud sungguh amat berat. Siapa yang bisa menegakkannya, itu tanda dia bisa menguasai diri.

Siapa yang tak mampu menguasai diri, bila menang perang, mereka jadi bangga diri. Mereka terjebak makna sukses yang semu. Seolah itu hasil jerih payah mereka. Bila kalah, mereka kecewa dan putus asa. Bahkan, menyalahkan Allah SWT karena tak mau membantu. Maka, menang atau kalah, cara itu tak punya nilai di hadapan Allah SWT.

Ukuran sukses memang berbeda. Banyak orang tergila-gila, hingga sukses pun dikejar hingga ke ujung dunia. Namun tanyalah, apa itu sukses? Bagi seorang Mukmin, tujuan puncak atau pencapaian akhir adalah meraih cinta dan ridha Allah SWT. Firman Allah SWT, “Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah; itulah keberuntungannya yang paling besar.” (QS al-Maidah: 119). Meraih ridha Allah SWT, itulah makna kesuksesan yang hakiki.

Jadi guru, bisakah mengantarkan kita pada kesuksesan? Bisakah menjadi guru dianggap jalan menuju sukses? Guru dikatakan sukses bukan karena dia menggenggam kesuksesan dunia (harta, takhta, popularitas, penghargaan, jabatan). Namun, bisakah dia mengantar murid-muridnya mengenal Allah. Murid yang kenal Allah, mereka akan menjadi orang berhasil karena takwa. Ilmunya bermanfaat dan akhlaknya menenteramkan masyarakat.

Kesuksesan guru di panggung dunia bisa menimbulkan rasa sombong, lupa diri, menganggap diri orang paling hebat. Dampaknya, orang lain pun bisa terpancing untuk merasa cemburu, dengki, dan marah atas capaian kesuksesan tersebut. Jangan terlena dengan kesuksesan di dunia. Karena, panggung kehidupan belum tutup layar sampai kita wafat dan mempertangungjawabkan kesuksesan dunia yang pernah diraih.

Firman Allah SWT, “Dan, tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan, sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut: 64). Sukses meraih dunia, apakah jaminan untuk meraih kesuksesan yang abadi di akhirat kelak?

Seorang guru hendaknya sibuk melakukan 'koreksi diri'. Menjadi guru adalah jalan untuk mengabdi kepada Allah SWT (QS adz-Dzariyat: 56). Setiap desah napas kehidupan diisi dengan amal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Jika jalan menjadi guru karena cara curang, apakah Allah SWT akan ridha? Jika menjalani profesi guru tanpa dedikasi dan tanggung jawab, akankah turun ridha Allah SWT? Jika mendidik anak tak ikhlas dan dipandu hawa nafsu, mungkinkah pertolongan Allah SWT datang saat guru menghadapi kesulitan?

Hadirkanlah Allah SWT dalam niat dan ikhtiar terbaik mendidik murid-murid. Bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Jangan terjebak dengan kesuksesan dunia yang fana. Biarkan Allah SWT, Rasulullah SAW, dan masyarakat yang melihat hasil pekerjaan kita sebagai guru. Semakin guru gigih mendidik, semoga semakin dekat dengan Allah SWT dan jadi penyebab ridha Allah SWT. Wallahu a'lam.

Sumber: republika

Post a Comment

0 Comments