Landasan Filsafat Metode Penelitian Kualitatif

Landasan Filsafat Metode Penelitian Kualitatif

.
PENDAHULUAN 

Penelitian  dalam bidang  ekonomi,  manajemen  dan  akuntansi  termasuk sosial lainnya,  merupakan  proses  pencarian pengetahuan  yang  diharapkan bermanfaat  dalam  mengembangkan  teori  baru  dan  menyelesaikan masalah yang berkaitan  dengan  isu  ekonomi,  manajemen dan  akuntansi.   Konsekuensinya, penelitian yang dilakukan harus memperhatikan  kaidah  keilmuan.  Penelitian  harus dilakukan berdasarkan  prinsip  berpikir  logis  dan  dilakukan  secara  berulang  mengingat  penelitian tidak  pernah  berhenti  pada  satu  titik  waktu  tertentu  (Lincoln  dan  Guba  1986).  Dalam  berpikir  logis, seorang  peneliti  harus  mampu  menggabungkan  teori/ide  yang  ada  dengan  fakta  di  lapangan  dan dilakukan  secara  sistematis.  Jadi,  dapat  dikatakan  bahwa  penelitian  merupakan  proses yang dilakukan  secara sistematis  untuk  menghasilkan  pengetahuan  (knowledge),  yang  ditandai  dengan dua  proses  yaitu; 
(1)  proses  pencarian  yang  tidak  pernah  berhenti,  dan  (2)  proses  yang  sifatnya subyektif  karena  topik  penelitian,  model  penelitian,  obyek  penelitian  dan  alat  analisisnya  sangat tergantung  pada  faktor   subyektifitas   si peneliti (Lincoln dan Guba 1986). Intinya penelitian merupakan  kegiatan yang  tidak bebas nilai.
Selama  ini,  penelitian  di  bidang  ekonomi,  manajemen  dan  akuntansi  lebih  banyak  dilakukan  dalam  perspektif positivisme  dengan  menggunakan  model  matematik  dan  analisis  statistik.  Namun  demikian,  banyak yang  tidak  mengetahui  bahwa  pada dasarnya  penelitian  yang  dilakukan  tidak  semata-mata  terfokus pada  alat  yang  digunakan  dalam  penelitian  tetapi  tergantung  pada  landasan  filsafat yang  melatar belakangi  penelitian  yang  dilakukan.  Dalam  perspektif  filsafat  ilmu,  validitas  pengetahuan  yang dihasilkan  melalui  penelitian  sangat  tergantung  pada  koherensi  antara  ontology,  epistemology  dan methodology  yang  digunakan  oleh  peneliti.  Oleh  karena  itu  seorang  peneliti  yang baik adalah peneliti yang paham betul landasan filsafat yang digunakan dalam proses penelitian.
LANDASAN FILOSOFI
Burrell  dan  Morgan  (1979:1)  berpendapat  bahwa  ilmu  sosial  dapat  dikonseptualisasikan dengan  empat  asumsi  yang  berhubungan  dengan  ontologi,  epistemologi,  sifat  manusia  (human nature), dan metodologi.
Ontologi adalah  asumsi  yang  penting  tentang  inti  dari  fenomena  dalam penelitian. Pertanyaan  dasar  tentang  ontologi  menekankan  pada  apakah  “realita”  yang  diteliti  objektif  ataukah “realita”adalah  produk  kognitif  individu.  Oleh  karena  itu  ontologi dibedakan  antara realisme  (yang  menganggap  bahwa  dunia  sosial  ada  secara  independen  dari  apresiasi  individu) dan nominalisme (yang menganggap bahwa dunia sosial yang berada di luar kognitif individu berasal dari sekedar nama,  konsep  dan  label  yang  digunakan  untuk  menyusun realita).
Epistemologi adalah  asumsi  tentang  landasan  ilmu  pengetahuan  (grounds  of  knowledge) tentang bagaimana seseorang memulai memahami dunia dan mengkomunikasikannya 
sebagai  pengetahuan  kepada  orang  lain.  Bentuk  pengetahuan  apa  yang  bisa  diperoleh? Bagaimana seseorang dapat  membedakan apa yang disebut  “benar” dan apa yang disebut “salah”? Apakah sifat ilmu  pengetahuan?  Pertanyaan  dasar tentang  epistemologi  menekankan  pada  apakah  mungkin untuk  mengidentifikasikan  dan  mengkomunikasikan  pengetahuan  sebagai  sesuatu yang  keras,  nyata dan  berwujud  (sehingga  pengetahuan  dapat  dicapai)  atau  apakah  pengetahuan  itu  lebih  lunak,  lebih subjektif,  berdasarkan  pengalaman  dan  wawasan  dari  sifat  seseorang  yang  unik  dan  penting (sehingga pengetahuan adalah sesuatu yang harus dialami secara pribadi). Oleh  karena  itu  epistemologi  dibedakan  antara  positivisme  (yang  berusaha untuk  menjelaskan  dan  memprediksi  apa  yang  akan  terjadi  pada  dunia  sosial  dengan  mencari kebiasaan  dan  hubungan  kausal  antara  elemen-elemen  pokoknya)  dan  antipositivisme  (yang menentang  pencarian  hukum  atau  kebiasaan  pokok  dalam  urusan  dunia  sosial  yang  berpendapat bahwa  dunia  sosial  hanya dapat  dipahami  dari  sudut  pandang  individu  yang  secara  langsung  terlibat dalam aktifitas yang diteliti).
Sifat  manusia  (human  nature),  adalah  asumsi-asumsi  tentang  hubungan  antar  manusia  dan lingkungannya.  Pertanyaan  dasar  tentang  sifat  manusia  menekankan  kepada  apakah  manusia  dan pengalamannya  adalah  produk  dari  lingkungan  mereka,  secara  mekanis/determinis  responsif terhadap  situasi  yang ditemui  di  dunia  eksternal  mereka,  atau  apakah  manusia  dapat  dipandang sebagai pencipta dari lingkungan mereka. Perdebatan  tentang  sifat  manusia  oleh  karena  itu  dibedakan  antara  determinisme  (yang menganggap  bahwa  manusia  dan  aktivitas  mereka  ditentukan  oleh  situasi  atau  lingkungan  dimana mereka  menetap)  dan  voluntarisme  (yang  menganggap  bahwa  manusia  autonomous  dan  free-willed).
Metodologi, adalah asumsi-asumsi tentang bagaimana seseorang  berusaha untuk  menyelidiki   dan  mendapat  “pengetahuan”  tentang  dunia  sosial.  Pertanyaan  dasar  tentang  metodologi menekankan  kepada  apakah  dunia  sosial  itu  keras,  nyata,  kenyataan  objektif-berada  di  luar  individu ataukah  lebih  lunak,  kenyataan  personal-berada  di  dalam  individu.  Selanjutnya  ilmuwan  mencoba berkonsentrasi  pada  pencarian  penjelasan dan  pemahaman  tentang  apa  yang  unik/khusus  dari seseorang  dibandingkan  dengan  yang  umum  atau  universal  yaitu  cara  dimana  seseorang menciptakan,  memodifikasi,  dan  menginterpretasikan  dunia  dengan  cara  yang  mereka  temukan sendiri.
Oleh  karena  itu  metodologi dibagi  menjadi  dua  antara  prinsip  nomotetik  (yang mendasarkan  penelitian  pada  teknik  dan  prosedur  yang  sistematis,  menggunakan  metode  dan pendekatan  yang  terdapat  dalam  ilmu  pengetahuan  alam  atau  natural  sciences  yang  berfokus  pada proses  pengujian  hipotesis  yang  sesuai  dengan  norma  kekakuan  ilmiah  atau  scientific  rigour)  dan prinsip  ideografis  (yang  mendasarkan  penelitian  pada  pandangan  bahwa seseorang  hanya  dapat memahami  dunia  sosial  dengan  mendapat  pengetahuan  langsung  dari  subjek  yang  diteliti, memperbolehkan  subjektivitas  seseorang  berkembang  dalam  sifat  dasar  dan  karakteristik  selama proses penelitian).  Interaksi  antara  sudut  pandang  ontologi,  epistemologi,  sifat  manusia,  dan  metodologi memunculkan  dua  perspektif  yang  luas  dan saling  bertentangan  yaitu  pendekatan  subjektif  dan objektif dalam ilmu sosial.

Pemilihan Desain Penelitian 
Pemilihan  desain  penelitian  melibatkan  beberapa  langkah  (Crotty,  1998; Sarantakos,   1998;  Denzin dan Lincoln, 1994).
Denzin dan Lincoln (1994) menyarankan pemilihan desain penelitian yang meliputi  lima  langkah  yang  berurutan  yang  dimulai  dari menempatkan  bidang  penelitian  (field  of inquiry)  dengan  menggunakan  pendekatan kualitatif/ interpretatif atau kuantitatif/verifikasional. Langkah ini diikuti  dengan  pemilihan  paradigma teoretis penelitian yang dapat memberitahukan dan memandu  proses  penelitian.  Langkah  ketiga  adalah  menghubungkan  paradigma  penelitian  yang dipilih  dengan  dunia  empiris  lewat  metodologi.  Langkah  keempat dan kelima melibatkan proses pemilihan metode  pengumpulan data dan  pemilihan metode analisis data.
Sebagai  perbandingan,  Crotty  (1998)  menyarankan  pemilihan  metodologi  penelitian melibatkan  empat  langkah  yang  berurutan  dengan  setiap  langkah  berhubungan  dengan  satu  solusi dari empat pertanyaan yaitu:
Metode apa yang akan digunakan?
Metodologi apa yang menentukan pilihan dan penggunaan metode?
Perspektif teoretis apa yang berada dibalik metode yang dipakai?
Epistemologi apa yang mendukung perspektif teoretis tersebut?
Dalam  model  yang  disarankan  Crotty,  seorang  peneliti  dapat  memulai mendesain penelitian dengan memilih epistemologi yang tepat.  Menurut  Crotty, pemilihan  epistemologi  dibutuhkan  untuk  menunjukkan  pemilihan  perspektifteoretis yang tepat (Crotty, 1998:3).  Langkah ketiga dalam  model Crotty melibatkanpemilihan metodologi.  Yang  keempat  dan  merupakan  langkah    terakhir   adalah pemilihan  metode-metode  untuk  mengumpulkan  dan  menganalisis  data.  Dalam  model  Crotty, ontologi  tidak  disebutkan.  Crotty  menjelaskan  hal tersebut  dengan  berpendapat  bahwa  tidak mungkin  untuk  memisahkan  ontologi  dari  epistemologi  secara  konseptual.  Crotty  menyarankan bahwa  dalam  proses  pemilihan  desain  penelitian  “isu-isu  ontologi  dan epistemologi  cenderung muncul  bersamaan”,  sebagai  contoh,  “untuk  membahas  konsep  makna  adalah  juga  untuk membahas  konsep  realita  yang bermakna” (Crotty,  1998:10).  Dari perspektif  ini,  Crotty  berpendapat bahwa  masih  cukup  mungkin  untuk  mengikuti  pemilihan  desain  penelitian  dengan  mengikuti modelnya  dan  tidak  mencantumkan  ontologi  (Crotty,  1998:12)  ke  dalam  skema.
Selain itu, Sarantakos (1998) menyarankan alternatif  untuk  proses pemilihan  desain penelitian dengan  melibatkan  tiga  langkah.  Model  yang  diajukan  Sarantakos  (1998), mengikuti  model  Crotty pada  dua  langkah  terakhir  yaitu  pemilihan  “metodologi”  dan  “metode”.  Perbedaannya  model Sarantakos  dan  Crotty  adalah  pada  pemilihan  epistemologi  dan  perspektif  teoretis.  Sarantakos memandang  tahap  pemilihan  bidang  penelitian dan  perspektif  teoretis  sebagai  sesuatu  yang berhubungan  sehingga  hal  itu  seharusnya  dipandang sebagai satu langkah.  Proses  tersebut  disebut  dengan  pemilihan “paradigma” yang tepat (Sarantakos, 1998:31).

PARADIGMA DALAM PENELITIAN 

Paradigma merupakan perspektif riset  yang  digunakan  peneliti  yang  berisi  bagaimana peneliti melihat  realita  (world  views),  bagaimana  mempelajari  fenomena,  cara-cara  yang digunakan  dalam penelitian  dan  cara-cara  yang  digunakan  dalam  menginterpretasikan  temuan.  Dalam  konteks  desain penelitian,  pemilihan  paradigma  penelitian  menggambarkan  pilihan  suatu  kepercayaan  yang  akan mendasari  dan  memberi  pedoman  seluruh  proses  penelitian  (Guba,  1990). Paradigma penelitian menentukan  masalah  apa  yang  dituju  dan  tipe  penjelasan apa  yang dapat diterimanya (Kuhn, 1970).   Sarantakos  (1998)  mengatakan  bahwa  ada  beberapa  pandangan  dalam  ilmu sosial  tentang beberapa  paradigma  yang  ada.  Namun demilian,  Lather  (1992)  berpendapat  hanya  ada  dua paradigma,  yaitu  positivis  dan  pospositivis.  Sebagai  perbandingan,  Lincoln  dan  Guba  (1994) mengidentifikasi  empat  paradigma  utama,  yaitu  positivisme,  pospositivisme,  konstruksionisme  dan kritik  teori.  Sarantakos  (1998)  berpendapat  ada  tiga  paradigma  utama  dalam  ilmu  sosial,  yaitu positivistik,  interpretif,  dan  critical.  Pemilihan  paradigma  memiliki  implikasi  terhadap  pemilihan metodologi  dan  metode  pengumpulan  dan  analisis  data.  Dibawah  ini  adalah  ringkasan  tiga paradigma menurut Sarantakos (1998).

Paradigma  positivis.  Secara  ringkas,  positivisme  adalah  pendekatan  yang diadopsi  dari  ilmu alam  yang  menekankan  pada  kombinasi  antara  angka  dan  logika  deduktif  dan  penggunaan  alat-alat kuantitatif  dalam  menginterpretasikan  suatu  fenomena  secara  “objektif”.  Pendekatan  ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal  dari penggunaan data-data  yang terukur  secara  tepat,  yang  diperoleh  melalui  survai/kuisioner  dan   dikombinasikan  dengan  statistik dan  pengujian  hipotesis  yang  bebas  nilai/objektif  (Neuman  2003).  Dengan  cara  itu,  suatu  fenomena dapat  dianalisis  untuk  kemudian  ditemukan  hubungan  di  antara variabel-variabel yang terlibat di dalamnya.  Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau  hubungan  sebab  akibat.  Bagi  positivisme,  ilmu  sosial  dan  ilmu  alam menggunakan  suatu  dasar  logika  ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada  kedua  bidang  ilmu  tersebut  harus meggunakan metode yang sama  dalam  mempelajari  dan  mencari  jawaban  serta  mengembangkan  teori.  Dunia  nyata  berisi hal-hal yang bersifat berulang ulang dalam aturan maupun urutan tertentu  sehingga  dapat  dicari  hukum sebab.  Dengan  demikian,  teori  dalam  pemahaman  ini  terbentuk  dari  seperangkat  hukum universal  yang  berlaku.  Sedangkan  tujuan  penelitian  adalah  untuk  menemukan  hukum-hukum tersebut.  Dalam  pendekatan  ini,  seorang  peneliti  memulai  dengan  sebuah  hubungan  sebab  akibat umum  yang diperoleh  dari  teori umum. Kemudian, menggunakan  idenya  untuk  memperbaiki  penjelasan  tentang hubungan tersebut dalam  konteks  yang lebih  khusus.

Paradigma  interpretif.  Pendekatan  interpretif  berasal  dari  filsafat  Jerman   yang
menitikberatkan  pada  peranan  bahasa,  interpretasi  dan  pemahaman  di  dalam  ilmu  sosial. Pendekatan  ini  memfokuskan  pada  sifat  subjektif  dari  social  world  dan berusaha  memahaminya  dari kerangka  berpikir  objek  yang  sedang  dipelajarinya.  Jadi  fokusnya  pada  arti  individu  dan  persepsi manusia  pada  realitas  bukan  pada  realitas  independen  yang  berada  di  luar  mereka  (Ghozali  dan Chariri,  2007).  Manusia  secara  terus  menerus  menciptakan  realitas  sosial  mereka  dalam  rangka berinteraksi  dengan  yang  lain  (Schutz,  1967  dalam  Ghozali  dan Chariri,  2007).  Tujuan  pendekatan interpretif  tidak  lain  adalah  menganalisis  realita  sosial  semacam  ini  dan  bagaimana  realita  sosial  itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007).
Untuk  memahami  sebuah  lingkungan  sosial  yang  spesifik,  peneliti  harus menyelami pengalaman  subjektif  para  pelakunya.  Penelitian  interpretif  tidak  menempatkan  objektivitas  sebagai hal  terpenting,  melainkan  mengakui  bahwa  demi  memperoleh pemahaman  mendalam,  maka subjektivitas  para  pelaku  harus  digali  sedalam  mungkin  hal  ini memungkinkan  terjadinya  trade-off antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004).

Paradigma  critical.  Menurut  Neuman  (2003),  pendekatan  critical  lebih bertujuan  untuk memperjuangkan  ide  peneliti  agar  membawa  perubahan  substansial pada  masyarakat.  Penelitian bukan  lagi  menghasilkan  karya tulis  ilmiah  yang  netral/tidak  memihak  dan  bersifat  apolitis,  namun lebih  bersifat  alat  untuk  mengubah  institusi  sosial,  cara  berpikir,  dan  perilaku  masyarakat  ke  arah yang  diyakini  lebih  baik.  Karena  itu,  dalam  pendekatan  ini  pemahaman  yang  mendalam  tentang suatu  fenomena  berdasarkan  fakta  lapangan  perlu  dilengkapi  dengan  analisis  dan  pendapat  yang berdasarkan  keadaan  pribadi  peneliti, asalkan didukung argumentasi yang memadai. Secara ringkas, pendekatan critical didefinisikan  sebagai  proses  pencarian  jawaban  yang melampaui penampakan di permukaan saja yang seringkali didominasi oleh ilusi, dalam rangkamenolong  masyarakat  untuk  mengubah  kondisi  mereka  dan  membangun dunianya  agar  lebih  baik  (Neuman, 2003:81).   Gioia dan Pitre (1990) mengatakan  bahwa perbedaan paradigma akan mempengaruhi tujuan penelitian,  aspek teoritis  yang  digunakan  dan pendekatan dalam  membangun  teori.


Paradigma Positif 
Paradigma  positif  sering  dinamakan  paradigma  functionalist.  Paradigma  ini berusaha  menguji keajegan  (reguralities)  dan  hubungan  variabel  sosial  yang  diharapkan  dapat  menghasilkan generalisasi  dan  prinsip-prinsip  yang  bersifat  universal.  Paradigma  ini  beriorentasi  pada  upaya  untuk mempertahankan  status  quo  dari  isu  penelitian  yang  ada.  Artinya,  penelitian  dilakukan  dengan asumsi bahwa isu sosial sudah ada di luar sana (given) tinggal diteliti/dikonfirmasi sehingga tidak ada usaha untuk mengubah isu yang ada.  Paradigma  ini  mencoba  mengembangkan  teori  berdasarkan  pendekatan  deduktif  dengan diawali  dengan  review  atas  literature  dan  mengoperasionalkannya  dalam  penelitian.  Hipotesis kemudian  dikembangkan  dan  diuji  dengan menggunakan  data  yang  ada  berdasarkan  pada analisis statistik.   Oleh karena itu, pendekatan ini cenderung mengkonfirmasi,  atau  merevisi  atau memperluas teori (refinement) melalui analisis hubungan sebab  akibat (causal analysis).

Paradigma  interpretive  didasarkan  pada  keyakinan  bahwa  individu  (manusia) merupakan mahluk  yang  secara  sosial  dan  simbolik  membentuk  dan  mempertahankan  realita  mereka  sendiri. (Berger  dan  Luckmann  1967;  Morgan  dan  Smircich 1980).  Oleh  karena  itu,  tujuan  dari pengembangan  teori  dalam  paradigma  ini  adalah  untuk  menghasilkan  deskripsi,  pandangan-pandangan dan  penjelasan  tentang  peristiwa  sosial  tertentu  sehingga  peneliti mampu  mengungkap sistem  interpretasi  dan  pemahaman  (makna)  yang  ada  dalam  lingkungan  sosial. Intinya  paradigma  ini  berusaha mengungkap bagaimana (how) realitas sosial dibentuk dan dipertahankan oleh individu
 tertentu dan bagaimana mereka memaknainya.

Paradigma Radical Humanist  
Paradigma ini hampir serupa dengan interpretive namun lebih bersikap kritikal danevaluatif. Tujuan 
dari  paradigma  ini  adalah  untuk  membebaskan  individu  dari berbagai  sumber  eksploitasi,  dominasi, dan  tekanan  yang  muncul  dari  tatanan  sosial  yang  ada  dengan  tujuan  untuk  mengubah  tatanan tersebut  tidak  sekedar  memahami  dan  menjelaskannya.  Pandangan  ini  sering  dinamakan  Critical TheoryCritical  theory  berusaha  untuk  mengubah  struktur  yang  melekat  pada  kondisi  statusquo yang  berpengaruh  pada  perilaku  individu  dan  mencoba  mengubahnya  dengan  menunjukkan  pada individu  bahwa  struktur  tersebut  merugikan  pihak  lain  karena  adanya  unsur  dominasi,  tekanan  dan eksploitasi.
Dalam konteks paradigma ini,  pengembangan  teori didasarkan pada  agenda yang  bersifat politis  Hal  ini  disebabkan  tujuan dari teori  adalah  untuk  menguji  legitimasi  tentang  konsensus  sosial   tentang  makna  (meaning)  dan  untuk  mengungkap adanyadistorsi komunikasi dan mendidik individu untuk  memahami  cara-cara  yang  menyebabkan  munculnya  distorsi  tersebut  (Forester  1983  dan Sartre  1943).  Intinya,  paradigma  ini  berusaha  mengkritisi  dan  menjelaskan  mengapa  (why)  realitas sosial  dibentuk  dan  menanyakan  alasan  atau  kepentingan  apa  yang  melatarbelakangi  pembentukan realitas sosial tersebut.
Paradigma  Radical Structuralist 
Paradigma  radical  structuralist  merupakan  paradigma  yang  didasarkan  pada ideologi  yang berusaha melakukan perubahan secara radical terhadap realita yang terstruktur.
 Paradigma ini mirip dengan  radical  humanist  namun  structuralist  lebih  bersifat  makro  yaitu  pada  kelas-kelas  (kelompok) yang  ada  dalam  masyarakat  atau  struktur  industri.  Kelas-kelas  tersebut  menimbulkan dominasi satu kelompok  tertentu  (yang  lebih  tinggi,  seperti  pengusaha)  terhadap  kelompok  lainnya  (yang  lebih rendah,  misalnya  buruh).  Bagi  radical  sttructuralist,  kondisi  masyarakat  atau  organisasi  pada dasarnya  terbentuk  melalui  proses  historis.  Kondisi  tersebut  ditandai  dengan  kekuatan sosial  yang muncul  karena  hubungan  sosial  yang  tidak  berfungsi  dengan  baik  sehingga  memunculkan  konflik. Konflik  inilah yang  dicoba dijelaskan  dan  diubah  oleh  radical  structuralis  melalui  proses tranformasi untuk menunjukkan  nilai nilai dan sebab musabab terjadinya  konflik tersebut.  Perumusan  teori  dalam paradigma ini didasarkan pada model  pencarian pengetahuan (mode of  inquiry)  yang  bersifiat  kritikal,  dialektikal  dan  historis.  Tujuan  teori  adalah  untuk  memahami, menjelaskan,  mengkritik  dan  bertindak  atas dasar  mekanisme  struktural  yang  terdapat  dalam  dunia  sosial  atau organisasi tujuan utama melakukan transformasi melalui collective resistence danperubahan  radikal  (Heydebrand  1983).  Proses  perubahan  dilakukan  melalui  observasi  terhadap kondisi  sosial  atau  organisasi  dan  pengembangan  teori  melibatkan  proses  berpikir  ulang  (rethinking) atas  dasar  data  yang  ada  dan  dianalisis  dengan  menggunakan  perspektif yang  berbeda (Gioia  dan Pitre  1993).  Bagi  structuralist,  proses  pengembangan teori dilakukan melalui argumentasi   dengan menyoroti  bukti  historis  bahwa ada  dominasi  tertentu yang harus diubah  dalam struktur masyarakat atau organisasi.


APA ITU PENELITIAN KUALITATIF ? 

Penelitian  kualitatif  adalah  penelitian  yang  dilakukan  dalam  setting  tertentu yang ada dalam kehidupan riil (alamiah) dengan  maksud  menginvestigasi  dan memahami  fenomena: apa yang terjadi, mengapa terjadi dan bagaimana terjadinya?.
 Jadi riset kualitatif adalah berbasis pada konsep “going  exploring”  yang  melibatkan  in-depth  and  case-oriented  study  atas  sejumlah  kasus  atau  kasus tunggal  (Finlay  2006).  Tujuan  utama  penelitian  kualitatif  adalah  membuat fakta mudah dipahami (understandable) dan kalau  memungkinan  (sesuai  modelnya) dapat menghasilkan hipotesis baru.
Penelitian  kualitatif  memiliki  beberapa  ciri.  Ciri  tersebut  dapat  dikaitkan  dengan  peranan peneliti,  hubungan  yang  dibangun,  proses  yang  dilakukan,  peran  makna dan  interpretasi  serta  hasil temuan.  Ciri  tersebut  dapat dijelaskan  sebagai berikut (Finlay 2006):
1.  Peranan Peneliti dalam membentuk pengetahuan 
Dalam proses pembentukan/konstruksi pengetahuan, peneliti  merupakan figur  utama yang mempengaruhi dan membentukpengetahuan.  Peran ini dilakukan  melalui proses pengumpulan, pemilihan dan interpretasi  data.  Jadi,  sangatlah  tidak mungkin untuk melakukan penelitian, jika penelitian tidak terjun langsung pada obyek yang diteliti. 
Konsekuensinya, peneliti harus terlibat secara langsung dalam setiap tahap kegiatan penelitian dan harus berada langsung dalam setting  penelitian  yang dipilih.
2. Arti penting hubungan peneliti dengan pihak lain 
Penelitian  kualitatif  merupakan  proses  yang  melibatkan  peserta  (yang diteliti),  peneliti  dan pembaca  serta  relationship  yang  mereka  bangun. Jadi,  peneliti  dipengaruhi  oleh  lingkungan sosial,  historis  dan  kultural dimana riset dilakukan.  Konsekuensinya, ketika melakukan penelitian,  peneliti harus mampu membangun hubungan yang baik dengan obyek penelitian dan mampu  menyajikan hasil  penelitian  sehingga pembaca  dapat  mengikuti  dengan jelas alur pemikiran peneliti dalam membangun suatu pengetahuan.
3.  Penelitian bersifat inductive, exploratory dan Hypothesis-Generating  
Penelitian  kualitatif  selalu  didasarkan  pada  fenomena  yang  menarik  dan  dimulai  dengan pertanyaan  terbuka  (open  question);  bukan  dimulai  dengan  hipotesis yang akan diuji kebenarannya.  Jadi, penelitian  bertujuan  menginves-tigasi dan memahami social  world  bukannya  memprediksi  perilaku.  Penelitian  dilakukan secara induktif dan exploratif dengan melihat apa yang terjadi, menga-pa terjadi, dan
 bagaimana  terjadinya sehingga diharapkan dapat menghasilkan  hipotesis baru.
4.  Peranan Makna (Meaning) dan Interpretasi 
Penelitian  kualitatif  difokusan  pada  bagaimana  individu  memahami  dunianya  dan  bagaimana mereka  mengalami  peristiwa  tertentu. Jadi,  penelitian  ini  berusaha  menginterpretasikan fenomena  dari  kacamata  pelaku  berdasarkan  pada  interpretasi  mereka  terhadap  fenomena tersebut.
5.  Temuan sangat kompleks, rinci, dan komprehensif 
Penelitian kualitatif didasarkan pada deskripsi yang jelas dan detail, karena men-jawab pertanyaan apa,
 mengapa dan bagaimana. Oleh karena itu, penyajian atas  temuansangatlah kompleks, rinci dan  komprehensif  sesuai  dengan  fenomena  yang  terja  pada setting penelitian.


MENGAPA PERLU QUALITATIVE RESEARCH? 

Ada  beberapa  alasan  yang  mendorong  mengapa  ekonomi,  manajemen  dan akuntansi memerlukan  pendekatan  kualitatif.  Yang  pertama,  bidang  kajian bukan disiplin yang “bebas nilai”.  Artinya,  kegiatan  bisnis dan  manajemen sangat tergantung pada nilai nilai, norma, budaya, dan  perilaku tertantu  yang  terjadi di  suatu  lingkungan  bisnis.  Jika lingkungannya  berbeda, maka gaya  dan pendekatanyang  digunakan  dapat  berbeda.  Hal  ini  disebabkan  manajemen/bisnis   merupakan realitas  yang  terbentu  secara  sosial  melalui  interaksi  individu  dan lingkungannya  (socially Constructed  Reality);  merupakan  praktik  yang  diciptakan  manusia  (human  creation);  merupakan wacana  simbolik  yang  dibentuk  oleh  individunya  (symbolic discourse)  dan  hasil  dari kreatifitas manusia (human creativity).
Yang  kedua,  tidak  semua  nilai,  perilaku,  dan  interaksi  antara  social  actors  dengan lingkungannya  dapat  dikuantifikasi.  Hal  ini  disebabkan  persepsi  seseorang  atas  sesuatu  sangat tergantung  pada  nilai-nilai,  budaya,  pengalaman  dan  lain-lain  yang  dibawa  individu  tersebut. Oleh  karena  itu,  pemahaman terhadap manajemen/bisnis sebagai socially constructed reality  hanya  dapat dilakukan dalam  setting organisasi atau  lingkungan tertentu.


TIPE DAN PROSES PENELITIAN KUALITATIF 

Penelitian  kualitatif  memiliki  berbagai  model  tidak  hanya  hanya  studi  kasus.  Pemilihan  model penelitian  kualitatif  sangat  tergantung  pada  sudut  pandang  yang  digunakan  peneliti  dan  tujuan penelitian.  Beberapa  penelitian  kualitatif  dapat  dilakukan  dalam  perspektif  SymbolicInteractionism, semiotics,  existential  phenomenology,  constructivism  dan  critical.  (Searcy  and  Mentzer  2003).
Atas  dasar  pilihan  perspektif  yang  digunakan,  langkah  berikutnya  adalah  mengikuti  tahapan penelitian.  Tahapan  kegiatan  dalam  penelitian  kualitatif  tidak  berbeda  jauh  dengan  penelitian lainnya,  yaitu:  menentukan  research  problem,  melakukan  literature  review,  mengumpulkan  data dan analisis data.

Masalah Penelitian 
Tahapan  terberat  dalam  melakukan  penelitian  adalah  memulainya:  apa  yang  mau  diteliti? dan  darimana mulainya?  Penelitian  kualitatif  dilakukan  berdasarkan  pada  fenomena  yang  terjadi. Fenomena  dapat  berasal  dari  dunia  nyata  (praktik)  maupun  kesenjangan  teori  dan  research  gap.  Fenomena tersebut kemudian digunakan sebagai  dasar  dalam merumuskan masalahpenelitian

Literature Review 
Literature  review  merupakan  hal  yang  penting  dalam  penelitian  kualitatitf.  Kegiatan  ini berkaitan  dengan  telaah  atas  teori yang  dapat  digunakan  untuk menjelaskan  fenomena  dan  telaah penelitian  sebelumnya  untuk  menunjukkan  keterkaitan antara  penelitian  yang sedang  dilakukan dengan yang  telah  dilakukan.  Dalam  Penelitian  kualitatif,  teori berfungsi  sebagai  “cermin”  (lens)  untuk  memahami fenomena.  Sehingga  dengan  menggunakan  teori  tersebut,  fenomena  yang  semula  sulit  untuk dipahami  menjadi  lebih  mudah  dipahami  dan bermakna.  Oleh  karena  itu,  untuk  memahami fenomena  peneliti  harus  mampu  memilih  teori  yang  relevan dengan aspek  ontology atas isu  penelitian yang digunakan dan  sesuai  dengan  masalah  penelitian.  Teori tidak  sekedar  “dijahit” dalam penelitian  tapi  harus  dijelaskan  mengapa  relevan  dan  harus  dikaitkan  langsung  dengan  masalah penelitian.  Perlu  juga  dipahami  teori  harus  dipilih karena  relevansinya  dengan  penelitian  bukan karena popularitas  dari teori tersebut.
Ada  beberapa  alasan  mengapa  literatur  review  perlu  diperhatikan  dalam  penelitian kualitatif. Alasan tersebut adalah (Neumen 2003):
  1. 1.    Menunjukkan pemahaman tentang body of knowledge dan kredibilitas peneliti 
Literatur  review  menceritakan  apa  yang  telah  diketahui  peneliti  di  bidang pengetahuan  yang sedang  diteliti. Oleh  karena  itu,  literatur  review berfungsi  untuk  menunjukkan  apakah kompetensi,  kemampuan dan  background  peneliti tercermin pada apa yang ditulis.
  1. 2.    Menunjukkan pola penelitian sebelumnya dan kaitannya dengan riset yang sedang dilakukan Literatur  review  dapat  mengarahkan  peneliti  pada  pertanyaan  penelitian dan menunjukkan perkembangan  knowledge.  Review  yang  baik dapat menunjukkan  apakah  riset  yang dilakukan relevan  dengan  body of knowledge yang ada.
  2. 3.    Menciptakan koherensi dan meringkas “what is known in an area” 
Literatur  review  memungkinkan  peneliti  untuk  mengelompokkan  dan mensintesiskan  hasil-hasil penelitian  yang  berbeda.  Jadi  review  yang  baik dapat menggambarkan  apakah  literatur  review  yang  dilakukan dapat  menunjukkan apa yang sudah dilakukan dan apa yang belum dilakukan.
  1. 4.    Belajar dari orang lain dan mendorong munculnya ide baru 
Literatur  review  membatu  peneliti  untu  menceritakan  apa yang telah ditemukan sehingga peneliti memperoleh  manfaat  dari   yang  telah dikerjakan  orang  lain.

Pengumpulan Data
Dalam  penelitian  kualitatif,  kualitas  riset  sangat  tergantung  pada  kualitas  dan  kelengkapan data  yang  dihasilkan.  Pertanyaan yang  selalu  diperhatikan  dalam  pengumpulan  data  adalah  apa, siapa,  dimana,  kapan,  dan  bagaimana.  Penelitian  kualitatif  bertumpu  pada  triangulation  data  yang dihasilkan  dari  tiga  metode:  interview,  participant  observation,  dan  telaah  catatan  organisasi (document records)
1.  Interview
Interview bertujuan mencatat opini, perasaan, emosi, dan hal lain  berkaitan  dengan individu  yang  ada  dalam  organisasi.  Dengan melakukan interview,  peneliti  dapat memperoleh data yang lebih banyak  sehingga  peneliti  dapat  memahami budaya  melalui  bahasa  dan  ekspresi  pihak  yang diinterview;  dan  dapat  melakukan  klarifikasi  atas  hal-hal  yang  tidak  diketahui.  Pertanyaan pertama yang  perlu  diperhatikan  dalam  interview  adalah  Siapa  yang  harus  diinterview?
Untuk memperoleh data yang kredibel maka interview harus dilakukan  dengan  Knowledgeable Respondent yang mampu menceritakan dengan akurat  fenomena  yang diteliti.  Isu  yang  kedua  adalah  Bagaimana  membuat  responden  mau  bekerja  sama? Untuk merangsang  pihak  lain  mau  meluangkan  waktu  untuk diinterview,  maka  perilaku  pewawancara  dan responden  harus  selaras  sesuai  dengan  perilaku  yang  diterima  secara  sosial  sehingga  ada  kesan saling  menghormati.  Selain  itu,  interview  harus  dilakukan  dalam  waktu dan  tempat  yang  sesuai sehingga  dapat  menciptalan  rasa  senang,  santai  dan  bersahabat.  Kemudian,  peneliti  harus  berbuat jujur  dan  mampu  meyakinkan  bahwa  identitas  responden  tidak  akan  pernah  diketahui  pihak  lain kecuali peneliti dan responden itu sendiri.
Data  yang  diperoleh  dari  wawancara  umumnya  berbentuk  pernyataan  yang menggambarkan pengalaman, pengetahuan, opini dan perasaan pribadi.  Untuk memperoleh data ini peneliti  dapat  menggunakan  metode   wawancara  standar  yang  terskedul  (Schedule  Standardised Interview),  interview  standar  tak  terskedul  (Non-Schedule  Standardised  Interview)  atau  interview informal  (Non  Standardised  Interview).  Ketiga  pendekatan  tersebut  dapat  dilakukan  dengan  teknik sebagai berikut:
a)  Sebelum wawancara dimulai, perkenalkan diri dengan sopan untuk men-ciptakan  hubungan baik
b) Tunjukkan bahwa responden memiliki kesan bahwa dia orang yang “penting”
c) Peroleh data sebanyak mungkin
d) Jangan mengarahkan jawaban
e) Ulangi pertanyaan jika perlu
f) Klarifikasi jawaban
g) Catat interview
2.  Participant observation  
Participant  observation  dilakukan  dengan  cara  mengamati  secara  langsung perilaku  individu dan  interaksi  mereka dalam  setting  penelitian.  Oleh  karena  itu,  Peneliti  harus  terlibat  langsung dalam  kehidupan  sehari-hari  subyek  yang  dipelajari.  Dengan  cara  ini  peneliti  dapat  memperoleh data khusus di luar struktur dan prosedur formal organisasi.  Masalahnya, apa yang harus dilakukan? Dalam participant observation, peneliti  melakukan kegiatan sebagai berikut:
a.  Melibatkan  diri  dalam  aktivitas sehari-hariMencatat  kejadian,  perilaku  dan  setting  social secara  sistematik  (apa  yang  terjadi,  kapan,  dimana,  siapa,  bagaimana).  Adapun  data  yang dikumpulkan  selama  observasi  adalah:deskripsi  program,  perilaku,  perasaan,  dan pengetahuan;
b. wujud  data  adalah  catatan  (field  note):   Apa  yang  terjadi,  bagaimana Catatan   terjadinya,  siapa  yang ada di sana.
c. semua  kejadian  atau  perilaku  yang  dianggap  penting  oleh  peneliti  (Bisa  berupa checklist atau deskripsi rinci tentang peristiwa atau perilaku tertentu)
3.  Telaah Organisational Record 
Arsip  dan  catatan  organisasi  merupakan  bukti  unik  dalam  studi  kasus,  yang tidak  ditemui dalam  interview  dan  observasi.  Sumber  ini  merupakan sumber  data  yang  dapat  digunakan untuk mendukung  data  dari observasi  dan interview.  Selain  itu,  telaah  terhadap  catatan  organisasi dapat memberikan  data  tentang  konteks  historis  setting  organisasi yang  diteliti.  Sumber datanya dapat berupa catatan adminsitrasi,  surat menyurat, memo, agenda dan dokumen lain yang  relevan.

REFERENSI 

Baxter,  J.  A.  and  W.  F.  Chua  (1998).  “Doing  Field  Research:  Practice  and  Meta-Theory  in Counterpoints.”Journal of Management Accounting Research 10: 69-87
Burrell, G dan G. Morgan, 1979, Sociological Paradigms and Organisational Analysis : Elements of The 
Sociology of Corporate Life.  Heinemann Educational Books, London
Crotty,  M.  J.  (1998).  Foundations  of  Social  Research:  Meaning  and  Perspective  in  the  Research Process. SAGE Publications.
Creswell,  J.  W.  and  D.  L.  Miller,  2000,  “Determining  Validity  in  Qualitative  Inquiry”,  Theory  Into Practice, 39, 3, pp.124-130
Efferin, 2004, Metode Penelitian Untuk Akuntansi, Malang: Bayumedia Publishing.
Finlay,  L.  2006,  “Going  Exploring’:  The  Nature  of  Qualitative  Research”,  Qualitative  Research  for Allied  Health  Professionals:  Challenging  Choices. Edited  by  Linda  Finlay  and  Claire  Ballinger. New York: John Wiley & Sons Ltd.
Ghozali dan Chariri. (2007). Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Undip.
Glaser,  B.  and  A.  Strauss  (1967).  The  Discovery  of  Grounded  Theory:  Strategies  for  Qualitative Research. Chicago, Aldine Press.
Gioia,  D.A  and  E.  Pitre.  1990.  “Multiparadigm  Perspectives  on  Theory Building”,  The  Academy  of Managemen Review, October, 14, 4; pp. 584-602
Heydebrand,  W.  V.,  1983.  “Organizations  and  Praxis”.  Dalam  G.  Morgan  (Ed.)., Beyond Method: Strategies for Social Research, Beverly Hills: Sage., pp. 306-320.
Lather,  P.  1992.Post-critical  pedagogies:  a  feminist  reading.  In  C.  Luke  &  J.  Gore (Eds.), Feminisms and critical pedagogy (pp. 120-137). New York: Routledge
Lincoln, Y. S. and E. G. Guba. 1986. Naturalistic Inquiry. California: Sage
Neumen,  W.  L.,  2003,  Social  Research  Method:  Qualitative  and  Quantitative  Approaches,  Boston,
MA: Allyn and Bacon  Sarantakos, S 1998, Social research, 2nd Ed., South Melbourne: Macmillan
 Education Australia.
Searcy, D.L. and J.T. Mentzer. 2003. “A Framework for Conducting and Evaluating  Research”, Journal of Accounting Literature, 22, pp. 130-167.
Yin,  R.  K.  2003.  Case  Study  Research:  Design  and  Methods.  3  ed.  Thousand Oaks,  CA:  Sage Publication


Oleh Prof. Dr. Deden Mulyana, SE., M.Si. – Keynotes Speech – Disampaikan pada “Seminar Nasional Metode Penelitian Kualitatif”
sumber: infodiknas

Post a Comment

0 Comments