Landasan Filsafat Metode Penelitian Kualitatif
.
PENDAHULUAN
Penelitian dalam bidang ekonomi,
manajemen dan akuntansi termasuk sosial lainnya,
merupakan proses pencarian pengetahuan yang
diharapkan bermanfaat dalam mengembangkan teori
baru dan menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan isu ekonomi, manajemen dan
akuntansi. Konsekuensinya, penelitian yang dilakukan
harus memperhatikan kaidah keilmuan. Penelitian
harus dilakukan berdasarkan prinsip berpikir
logis dan dilakukan secara berulang
mengingat penelitian tidak pernah berhenti
pada satu titik waktu tertentu (Lincoln
dan Guba 1986). Dalam berpikir
logis, seorang peneliti harus mampu
menggabungkan teori/ide yang ada dengan
fakta di lapangan dan dilakukan secara
sistematis. Jadi, dapat dikatakan bahwa
penelitian merupakan proses yang dilakukan secara
sistematis untuk menghasilkan pengetahuan (knowledge),
yang ditandai dengan dua proses yaitu;
(1) proses pencarian yang tidak pernah
berhenti, dan (2) proses yang sifatnya subyektif karena
topik penelitian, model penelitian, obyek
penelitian dan alat analisisnya
sangat tergantung pada faktor subyektifitas
si peneliti (Lincoln dan Guba 1986). Intinya penelitian merupakan
kegiatan yang tidak bebas nilai.
Selama ini, penelitian di
bidang ekonomi, manajemen dan akuntansi
lebih banyak dilakukan dalam
perspektif positivisme dengan menggunakan model
matematik dan analisis statistik. Namun
demikian, banyak yang tidak mengetahui bahwa
pada dasarnya penelitian yang dilakukan
tidak semata-mata terfokus pada alat yang
digunakan dalam penelitian tetapi tergantung
pada landasan filsafat yang melatar belakangi
penelitian yang dilakukan. Dalam perspektif
filsafat ilmu, validitas pengetahuan
yang dihasilkan melalui penelitian sangat
tergantung pada koherensi antara ontology,
epistemology dan methodology yang
digunakan oleh peneliti. Oleh karena itu
seorang peneliti
yang baik adalah peneliti yang paham betul landasan filsafat yang digunakan dalam proses penelitian.
LANDASAN FILOSOFI
Burrell dan Morgan (1979:1)
berpendapat bahwa ilmu sosial dapat
dikonseptualisasikan dengan empat asumsi yang
berhubungan dengan ontologi, epistemologi, sifat
manusia (human nature), dan metodologi.
Ontologi adalah asumsi yang penting
tentang inti dari fenomena
dalam penelitian. Pertanyaan dasar tentang
ontologi menekankan pada apakah “realita” yang
diteliti objektif ataukah “realita”adalah produk
kognitif individu. Oleh karena itu ontologi
dibedakan antara realisme (yang menganggap
bahwa dunia sosial ada secara independen
dari apresiasi individu) dan nominalisme (yang menganggap bahwa dunia sosial yang berada di
luar kognitif
individu berasal dari sekedar nama, konsep dan
label yang digunakan untuk
menyusun realita).
Epistemologi adalah asumsi tentang
landasan ilmu pengetahuan (grounds of knowledge) tentang bagaimana seseorang memulai memahami dunia dan mengkomunikasikannya
sebagai
pengetahuan kepada orang lain. Bentuk
pengetahuan apa yang bisa diperoleh?
Bagaimana seseorang dapat
membedakan apa yang disebut “benar” dan apa yang disebut “salah”?
Apakah sifat ilmu pengetahuan? Pertanyaan
dasar tentang epistemologi menekankan pada
apakah mungkin untuk mengidentifikasikan dan
mengkomunikasikan pengetahuan sebagai sesuatu yang
keras, nyata dan berwujud (sehingga
pengetahuan dapat dicapai) atau apakah
pengetahuan itu lebih lunak,
lebih subjektif, berdasarkan pengalaman dan
wawasan dari sifat seseorang yang unik
dan
penting (sehingga pengetahuan adalah sesuatu yang harus dialami secara pribadi). Oleh
karena itu epistemologi dibedakan antara positivisme
(yang berusaha untuk menjelaskan dan
memprediksi apa yang akan terjadi pada
dunia sosial dengan mencari kebiasaan dan
hubungan kausal antara elemen-elemen pokoknya)
dan antipositivisme (yang menentang
pencarian hukum atau kebiasaan pokok dalam
urusan dunia sosial yang berpendapat bahwa
dunia sosial hanya dapat dipahami dari
sudut pandang individu yang secara langsung
terlibat dalam aktifitas yang diteliti).
Sifat manusia (human nature), adalah
asumsi-asumsi tentang hubungan antar manusia
dan lingkungannya. Pertanyaan dasar tentang
sifat manusia menekankan kepada apakah
manusia dan pengalamannya adalah produk dari
lingkungan mereka, secara mekanis/determinis
responsif terhadap situasi yang ditemui di
dunia eksternal mereka, atau apakah manusia
dapat
dipandang sebagai pencipta dari lingkungan mereka. Perdebatan
tentang sifat manusia oleh karena itu
dibedakan antara determinisme
(yang menganggap bahwa manusia dan aktivitas
mereka ditentukan oleh situasi atau
lingkungan dimana mereka menetap) dan voluntarisme
(yang menganggap bahwa manusia autonomous
dan free-willed).
Metodologi, adalah asumsi-asumsi tentang bagaimana seseorang
berusaha untuk menyelidiki dan
mendapat “pengetahuan” tentang dunia sosial.
Pertanyaan dasar tentang metodologi menekankan
kepada apakah dunia sosial itu keras,
nyata, kenyataan objektif-berada di luar
individu ataukah lebih lunak, kenyataan
personal-berada di dalam individu. Selanjutnya
ilmuwan mencoba berkonsentrasi pada pencarian
penjelasan dan pemahaman tentang apa yang
unik/khusus dari seseorang dibandingkan dengan
yang umum atau universal yaitu cara
dimana seseorang menciptakan, memodifikasi, dan
menginterpretasikan dunia dengan cara yang
mereka temukan sendiri.
Oleh karena itu metodologi
dibagi menjadi dua antara prinsip nomotetik
(yang mendasarkan penelitian pada teknik dan
prosedur yang sistematis, menggunakan metode
dan pendekatan yang terdapat dalam ilmu
pengetahuan alam atau natural sciences
yang berfokus pada proses pengujian
hipotesis yang sesuai dengan norma kekakuan
ilmiah atau scientific rigour) dan prinsip
ideografis (yang mendasarkan penelitian pada
pandangan bahwa seseorang hanya
dapat memahami dunia sosial dengan mendapat
pengetahuan langsung dari subjek yang
diteliti, memperbolehkan subjektivitas seseorang
berkembang dalam sifat dasar dan karakteristik
selama proses penelitian). Interaksi antara
sudut pandang ontologi, epistemologi, sifat
manusia, dan metodologi memunculkan dua perspektif
yang luas dan saling bertentangan yaitu
pendekatan subjektif dan objektif dalam ilmu sosial.
Pemilihan Desain Penelitian
Pemilihan desain penelitian
melibatkan beberapa langkah (Crotty, 1998;
Sarantakos, 1998; Denzin dan Lincoln, 1994).
Denzin dan Lincoln (1994) menyarankan pemilihan desain penelitian yang meliputi
lima langkah yang berurutan yang dimulai
dari menempatkan bidang penelitian (field
of inquiry) dengan menggunakan
pendekatan kualitatif/
interpretatif atau kuantitatif/verifikasional. Langkah ini diikuti
dengan pemilihan paradigma teoretis penelitian yang dapat memberitahukan dan memandu
proses penelitian. Langkah ketiga adalah
menghubungkan paradigma penelitian yang dipilih
dengan dunia empiris lewat metodologi.
Langkah
keempat dan kelima melibatkan proses pemilihan metode
pengumpulan data dan
pemilihan metode analisis data.
Sebagai perbandingan, Crotty
(1998) menyarankan pemilihan metodologi
penelitian melibatkan empat langkah yang
berurutan dengan setiap langkah berhubungan
dengan satu solusi dari empat pertanyaan yaitu:
• Metode apa yang akan digunakan?
• Metodologi apa yang menentukan pilihan dan penggunaan metode?
• Perspektif teoretis apa yang
berada dibalik metode yang dipakai?
• Epistemologi apa yang mendukung perspektif teoretis tersebut?
Dalam model yang disarankan
Crotty, seorang peneliti dapat
memulai mendesain penelitian dengan memilih epistemologi yang tepat.
Menurut Crotty, pemilihan epistemologi dibutuhkan
untuk menunjukkan pemilihan
perspektifteoretis yang tepat (Crotty, 1998:3). Langkah ketiga dalam
model Crotty melibatkanpemilihan metodologi. Yang
keempat dan merupakan langkah
terakhir adalah pemilihan
metode-metode untuk mengumpulkan dan menganalisis
data. Dalam model Crotty, ontologi tidak
disebutkan. Crotty menjelaskan hal tersebut
dengan berpendapat bahwa tidak mungkin untuk
memisahkan ontologi dari epistemologi secara
konseptual. Crotty menyarankan bahwa dalam
proses pemilihan desain penelitian “isu-isu
ontologi dan epistemologi cenderung muncul
bersamaan”, sebagai contoh, “untuk membahas
konsep makna adalah juga untuk membahas
konsep realita yang bermakna” (Crotty, 1998:10).
Dari perspektif ini, Crotty berpendapat bahwa
masih cukup mungkin untuk mengikuti pemilihan
desain penelitian dengan mengikuti modelnya
dan tidak mencantumkan ontologi (Crotty,
1998:12) ke dalam skema.
Selain itu, Sarantakos (1998) menyarankan alternatif
untuk proses pemilihan
desain penelitian dengan melibatkan tiga langkah.
Model yang diajukan Sarantakos
(1998), mengikuti model Crotty pada dua
langkah terakhir yaitu pemilihan “metodologi”
dan “metode”. Perbedaannya model Sarantakos
dan Crotty adalah pada pemilihan
epistemologi dan perspektif teoretis.
Sarantakos memandang tahap pemilihan bidang
penelitian dan perspektif teoretis sebagai
sesuatu yang berhubungan sehingga hal itu
seharusnya dipandang sebagai satu langkah.
Proses tersebut disebut dengan pemilihan
“paradigma” yang tepat (Sarantakos, 1998:31).
PARADIGMA DALAM PENELITIAN
Paradigma merupakan perspektif riset
yang digunakan peneliti yang berisi
bagaimana peneliti melihat realita (world views),
bagaimana mempelajari fenomena, cara-cara
yang digunakan dalam penelitian dan cara-cara
yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan.
Dalam konteks desain penelitian, pemilihan
paradigma penelitian menggambarkan pilihan suatu
kepercayaan yang akan mendasari dan memberi
pedoman seluruh proses penelitian (Guba,
1990). Paradigma penelitian menentukan masalah
apa yang dituju dan tipe
penjelasan apa yang dapat diterimanya (Kuhn, 1970).
Sarantakos (1998) mengatakan bahwa ada
beberapa pandangan dalam ilmu sosial tentang beberapa
paradigma yang ada. Namun demilian, Lather
(1992) berpendapat hanya ada dua paradigma,
yaitu positivis dan pospositivis. Sebagai
perbandingan, Lincoln dan Guba
(1994) mengidentifikasi empat paradigma utama,
yaitu positivisme, pospositivisme, konstruksionisme
dan kritik teori. Sarantakos (1998)
berpendapat ada tiga paradigma utama dalam
ilmu sosial, yaitu positivistik, interpretif,
dan critical. Pemilihan paradigma memiliki
implikasi terhadap pemilihan metodologi dan
metode pengumpulan dan analisis data.
Dibawah ini adalah ringkasan
tiga paradigma menurut Sarantakos (1998).
Paradigma positivis. Secara ringkas,
positivisme adalah pendekatan yang diadopsi
dari ilmu alam yang menekankan pada
kombinasi antara angka dan logika deduktif
dan penggunaan alat-alat kuantitatif dalam
menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”.
Pendekatan ini
berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal
dari penggunaan data-data yang terukur secara
tepat, yang diperoleh melalui survai/kuisioner
dan dikombinasikan dengan statistik dan
pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif
(Neuman 2003). Dengan cara itu, suatu fenomena dapat
dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan
di
antara variabel-variabel yang terlibat di dalamnya.
Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau
hubungan sebab akibat. Bagi positivisme,
ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan
suatu dasar logika ilmu
yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada
kedua bidang ilmu tersebut
harus meggunakan metode yang sama dalam mempelajari
dan mencari jawaban serta mengembangkan
teori. Dunia nyata berisi hal-hal yang bersifat berulang
ulang dalam aturan maupun urutan tertentu
sehingga dapat dicari hukum sebab. Dengan
demikian, teori dalam pemahaman ini
terbentuk dari seperangkat hukum universal
yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian
adalah untuk menemukan hukum-hukum tersebut.
Dalam pendekatan ini, seorang peneliti
memulai dengan sebuah hubungan sebab
akibat umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan
idenya untuk memperbaiki penjelasan
tentang hubungan tersebut dalam konteks
yang lebih khusus.
Paradigma interpretif. Pendekatan
interpretif berasal dari filsafat Jerman
yang
menitikberatkan pada peranan
bahasa, interpretasi dan pemahaman di dalam
ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada
sifat subjektif dari social world
dan berusaha memahaminya dari kerangka
berpikir objek yang sedang dipelajarinya.
Jadi fokusnya pada arti individu dan
persepsi manusia pada realitas bukan pada
realitas independen yang berada di luar
mereka (Ghozali dan Chariri, 2007). Manusia
secara terus menerus menciptakan realitas
sosial mereka dalam rangka berinteraksi
dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam
Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan
pendekatan interpretif tidak lain adalah
menganalisis realita sosial semacam ini dan
bagaimana realita sosial
itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007).
Untuk memahami sebuah
lingkungan sosial yang spesifik, peneliti
harus menyelami pengalaman subjektif para
pelakunya. Penelitian interpretif tidak
menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting,
melainkan mengakui bahwa demi
memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas
para pelaku harus digali sedalam mungkin
hal ini memungkinkan terjadinya trade-off antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004).
Paradigma critical. Menurut Neuman
(2003), pendekatan critical lebih bertujuan
untuk memperjuangkan ide peneliti agar
membawa perubahan substansial pada masyarakat.
Penelitian bukan lagi menghasilkan
karya tulis ilmiah yang netral/tidak memihak
dan bersifat apolitis, namun lebih bersifat
alat untuk mengubah institusi sosial, cara
berpikir, dan perilaku masyarakat ke arah yang
diyakini lebih baik. Karena itu, dalam
pendekatan ini pemahaman yang mendalam
tentang suatu fenomena berdasarkan fakta
lapangan perlu dilengkapi dengan analisis
dan pendapat yang berdasarkan keadaan
pribadi peneliti, asalkan didukung argumentasi yang memadai. Secara ringkas, pendekatan
critical didefinisikan sebagai proses pencarian
jawaban yang melampaui
penampakan di permukaan saja yang seringkali didominasi oleh ilusi, dalam rangkamenolong
masyarakat untuk mengubah kondisi mereka
dan membangun dunianya agar lebih baik
(Neuman, 2003:81).
Gioia dan Pitre (1990) mengatakan
bahwa perbedaan paradigma akan mempengaruhi tujuan penelitian,
aspek teoritis yang digunakan
dan pendekatan dalam membangun teori.
Paradigma Positif
Paradigma positif sering
dinamakan paradigma functionalist. Paradigma
ini berusaha menguji keajegan (reguralities)
dan hubungan variabel sosial yang
diharapkan dapat menghasilkan generalisasi dan
prinsip-prinsip yang bersifat universal.
Paradigma ini beriorentasi pada upaya
untuk mempertahankan status quo dari
isu penelitian yang ada. Artinya,
penelitian dilakukan
dengan asumsi bahwa isu sosial sudah ada di luar sana (given) tinggal diteliti/dikonfirmasi sehingga tidak ada usaha untuk mengubah isu yang ada.
Paradigma ini mencoba mengembangkan teori
berdasarkan pendekatan deduktif dengan diawali
dengan review atas literature dan
mengoperasionalkannya dalam penelitian. Hipotesis kemudian
dikembangkan dan diuji dengan menggunakan
data yang ada berdasarkan
pada analisis statistik. Oleh
karena itu, pendekatan ini cenderung mengkonfirmasi,
atau merevisi atau memperluas teori (refinement) melalui analisis hubungan sebab
akibat (causal analysis).
Paradigma interpretive didasarkan pada
keyakinan bahwa individu
(manusia) merupakan mahluk yang secara sosial
dan simbolik membentuk dan mempertahankan
realita mereka sendiri. (Berger dan Luckmann
1967; Morgan dan Smircich 1980). Oleh
karena itu, tujuan dari pengembangan teori
dalam paradigma ini adalah untuk
menghasilkan deskripsi, pandangan-pandangan dan
penjelasan tentang peristiwa sosial tertentu sehingga
peneliti mampu mengungkap sistem interpretasi
dan pemahaman (makna) yang ada dalam
lingkungan sosial. Intinya paradigma ini
berusaha mengungkap bagaimana (how) realitas sosial dibentuk dan dipertahankan oleh individu
tertentu dan bagaimana mereka memaknainya.
Paradigma Radical Humanist
Paradigma ini hampir serupa dengan interpretive namun lebih bersikap kritikal danevaluatif. Tujuan
dari
paradigma ini adalah untuk membebaskan
individu dari berbagai sumber eksploitasi, dominasi, dan
tekanan yang muncul dari tatanan sosial
yang ada dengan tujuan untuk mengubah
tatanan tersebut tidak sekedar memahami dan
menjelaskannya. Pandangan ini sering dinamakan Critical Theory.
Critical theory berusaha untuk mengubah
struktur yang melekat pada kondisi statusquo yang
berpengaruh pada perilaku individu dan
mencoba mengubahnya dengan menunjukkan
pada individu bahwa struktur tersebut
merugikan pihak lain karena adanya unsur
dominasi, tekanan dan eksploitasi.
Dalam konteks paradigma ini, pengembangan
teori didasarkan pada agenda yang
bersifat politis Hal ini disebabkan
tujuan dari teori adalah untuk menguji
legitimasi tentang konsensus sosial tentang
makna (meaning) dan untuk
mengungkap adanyadistorsi komunikasi dan mendidik individu untuk
memahami cara-cara yang menyebabkan munculnya
distorsi tersebut (Forester 1983 dan Sartre
1943). Intinya, paradigma ini berusaha
mengkritisi dan menjelaskan mengapa (why)
realitas sosial dibentuk dan menanyakan
alasan atau kepentingan apa yang
melatarbelakangi pembentukan realitas sosial tersebut.
Paradigma Radical Structuralist
Paradigma radical structuralist
merupakan paradigma yang didasarkan
pada ideologi yang berusaha melakukan perubahan secara radical terhadap realita yang terstruktur.
Paradigma ini mirip dengan
radical humanist namun structuralist lebih
bersifat makro yaitu pada kelas-kelas
(kelompok) yang ada dalam masyarakat atau
struktur industri. Kelas-kelas tersebut
menimbulkan dominasi satu kelompok tertentu (yang
lebih tinggi, seperti pengusaha) terhadap
kelompok lainnya (yang lebih rendah,
misalnya buruh). Bagi radical sttructuralist,
kondisi masyarakat atau
organisasi pada dasarnya terbentuk melalui
proses historis. Kondisi tersebut ditandai
dengan kekuatan sosial yang muncul karena hubungan
sosial yang tidak berfungsi dengan baik
sehingga memunculkan konflik. Konflik inilah yang
dicoba dijelaskan dan diubah oleh radical
structuralis melalui
proses tranformasi untuk menunjukkan nilai
nilai dan sebab musabab terjadinya
konflik tersebut. Perumusan teori
dalam paradigma ini didasarkan pada model
pencarian pengetahuan (mode of inquiry)
yang bersifiat kritikal, dialektikal dan
historis. Tujuan teori adalah untuk
memahami, menjelaskan, mengkritik dan bertindak
atas dasar mekanisme struktural yang
terdapat dalam dunia sosial atau organisasi tujuan utama melakukan transformasi melalui collective resistence danperubahan
radikal (Heydebrand 1983). Proses perubahan
dilakukan melalui observasi terhadap kondisi
sosial atau organisasi dan pengembangan
teori melibatkan proses berpikir ulang (rethinking) atas
dasar data yang ada dan dianalisis
dengan menggunakan perspektif yang berbeda (Gioia
dan Pitre 1993). Bagi structuralist, proses
pengembangan teori dilakukan melalui argumentasi
dengan menyoroti bukti historis bahwa ada
dominasi tertentu yang harus diubah
dalam struktur masyarakat atau organisasi.
APA ITU PENELITIAN KUALITATIF ?
Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang dilakukan dalam setting
tertentu yang ada dalam kehidupan riil (alamiah) dengan
maksud menginvestigasi
dan memahami fenomena: apa yang terjadi, mengapa terjadi dan bagaimana terjadinya?.
Jadi riset kualitatif adalah berbasis pada konsep “going
exploring” yang melibatkan in-depth and
case-oriented study atas sejumlah kasus
atau kasus tunggal (Finlay 2006). Tujuan
utama penelitian kualitatif adalah
membuat fakta mudah dipahami (understandable) dan kalau
memungkinan (sesuai
modelnya) dapat menghasilkan hipotesis baru.
Penelitian kualitatif memiliki
beberapa ciri. Ciri tersebut dapat
dikaitkan dengan peranan peneliti, hubungan
yang dibangun, proses yang dilakukan, peran
makna dan interpretasi serta hasil temuan.
Ciri tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut (Finlay 2006):
1. Peranan Peneliti dalam membentuk pengetahuan
Dalam proses pembentukan/konstruksi pengetahuan, peneliti
merupakan figur
utama yang mempengaruhi dan membentukpengetahuan.
Peran ini dilakukan melalui proses pengumpulan, pemilihan dan interpretasi
data. Jadi, sangatlah
tidak mungkin untuk melakukan penelitian, jika penelitian tidak terjun langsung pada obyek yang diteliti.
Konsekuensinya, peneliti harus terlibat secara langsung dalam setiap tahap kegiatan
penelitian dan harus berada langsung dalam setting
penelitian yang dipilih.
2.
Arti penting hubungan peneliti dengan pihak lain
Penelitian kualitatif merupakan
proses yang melibatkan peserta
(yang diteliti), peneliti dan pembaca
serta relationship yang mereka
bangun. Jadi, peneliti dipengaruhi oleh
lingkungan sosial, historis dan
kultural dimana riset dilakukan.
Konsekuensinya, ketika melakukan penelitian,
peneliti harus mampu membangun hubungan yang baik dengan obyek penelitian dan mampu
menyajikan hasil penelitian sehingga pembaca dapat
mengikuti
dengan jelas alur pemikiran peneliti dalam membangun suatu pengetahuan.
3. Penelitian bersifat inductive, exploratory dan Hypothesis-Generating
Penelitian kualitatif selalu
didasarkan pada fenomena yang menarik dan
dimulai dengan pertanyaan terbuka (open
question); bukan dimulai dengan
hipotesis yang akan diuji kebenarannya.
Jadi, penelitian bertujuan
menginves-tigasi dan memahami social world bukannya
memprediksi perilaku. Penelitian
dilakukan secara induktif dan exploratif dengan melihat apa yang terjadi, menga-pa terjadi, dan
bagaimana
terjadinya sehingga diharapkan dapat menghasilkan
hipotesis baru.
4. Peranan Makna (Meaning) dan Interpretasi
Penelitian kualitatif difokusan
pada bagaimana individu memahami dunianya
dan bagaimana mereka mengalami peristiwa tertentu.
Jadi, penelitian ini berusaha menginterpretasikan fenomena
dari kacamata pelaku berdasarkan pada
interpretasi mereka terhadap fenomena tersebut.
5. Temuan sangat kompleks, rinci, dan komprehensif
Penelitian kualitatif didasarkan pada deskripsi yang jelas dan detail, karena men-jawab pertanyaan apa,
mengapa dan bagaimana. Oleh karena itu, penyajian atas
temuansangatlah kompleks, rinci dan komprehensif
sesuai dengan fenomena yang terja
pada setting penelitian.
MENGAPA PERLU QUALITATIVE RESEARCH?
Ada beberapa alasan yang
mendorong mengapa ekonomi, manajemen
dan akuntansi memerlukan pendekatan kualitatif.
Yang pertama, bidang
kajian bukan disiplin yang “bebas nilai”.
Artinya, kegiatan bisnis dan manajemen
sangat tergantung pada nilai nilai, norma, budaya, dan
perilaku tertantu yang terjadi di suatu
lingkungan bisnis. Jika lingkungannya berbeda, maka gaya
dan pendekatanyang digunakan dapat berbeda.
Hal ini disebabkan manajemen/bisnis
merupakan realitas yang terbentu secara
sosial melalui interaksi individu
dan lingkungannya (socially Constructed Reality);
merupakan praktik yang diciptakan manusia (human
creation); merupakan wacana simbolik yang
dibentuk oleh individunya (symbolic discourse)
dan hasil dari kreatifitas manusia (human creativity).
Yang kedua, tidak semua
nilai, perilaku, dan interaksi antara social
actors dengan lingkungannya dapat
dikuantifikasi. Hal ini disebabkan persepsi
seseorang atas sesuatu sangat tergantung
pada nilai-nilai, budaya, pengalaman dan
lain-lain yang dibawa individu
tersebut. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap manajemen/bisnis sebagai socially constructed reality
hanya dapat dilakukan dalam
setting organisasi atau lingkungan tertentu.
TIPE DAN PROSES PENELITIAN KUALITATIF
Penelitian kualitatif memiliki
berbagai model tidak hanya hanya studi
kasus. Pemilihan model penelitian kualitatif
sangat tergantung pada sudut pandang yang
digunakan peneliti dan tujuan penelitian.
Beberapa penelitian kualitatif dapat dilakukan
dalam perspektif SymbolicInteractionism, semiotics,
existential phenomenology, constructivism dan critical.
(Searcy and Mentzer 2003).
Atas dasar pilihan perspektif
yang digunakan, langkah berikutnya adalah
mengikuti tahapan penelitian. Tahapan kegiatan dalam
penelitian kualitatif tidak berbeda jauh
dengan penelitian lainnya, yaitu: menentukan research
problem, melakukan literature review,
mengumpulkan data dan analisis data.
Masalah Penelitian
Tahapan terberat dalam
melakukan penelitian adalah memulainya: apa
yang mau diteliti? dan darimana mulainya?
Penelitian kualitatif dilakukan berdasarkan pada
fenomena yang terjadi. Fenomena dapat
berasal dari dunia nyata (praktik) maupun
kesenjangan teori dan research gap. Fenomena tersebut kemudian digunakan sebagai
dasar dalam merumuskan masalahpenelitian
Literature Review
Literature review merupakan hal
yang penting dalam penelitian kualitatitf.
Kegiatan ini berkaitan dengan telaah atas
teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan
fenomena dan telaah penelitian sebelumnya untuk
menunjukkan keterkaitan antara penelitian
yang sedang dilakukan dengan yang telah
dilakukan. Dalam Penelitian kualitatif,
teori berfungsi sebagai “cermin” (lens)
untuk memahami fenomena. Sehingga dengan
menggunakan teori tersebut, fenomena yang
semula sulit untuk dipahami menjadi lebih
mudah dipahami dan bermakna. Oleh karena
itu, untuk memahami fenomena peneliti harus
mampu memilih teori yang
relevan dengan aspek ontology atas isu
penelitian yang digunakan dan sesuai dengan
masalah penelitian. Teori tidak sekedar
“dijahit” dalam penelitian tapi harus
dijelaskan mengapa relevan dan harus
dikaitkan langsung dengan masalah penelitian.
Perlu juga dipahami teori harus dipilih
karena relevansinya dengan penelitian
bukan karena popularitas dari teori tersebut.
Ada beberapa alasan mengapa literatur
review perlu diperhatikan dalam penelitian kualitatif. Alasan tersebut adalah (Neumen 2003):
- 1. Menunjukkan pemahaman tentang body of knowledge dan kredibilitas peneliti
Literatur review menceritakan apa
yang telah diketahui peneliti di
bidang pengetahuan yang sedang diteliti. Oleh
karena itu, literatur review berfungsi untuk
menunjukkan apakah kompetensi, kemampuan dan
background peneliti tercermin pada apa yang ditulis.
- 2. Menunjukkan pola penelitian sebelumnya dan kaitannya dengan riset yang sedang dilakukan Literatur review dapat mengarahkan peneliti pada pertanyaan penelitian dan menunjukkan perkembangan knowledge. Review yang baik dapat menunjukkan apakah riset yang dilakukan relevan dengan body of knowledge yang ada.
- 3. Menciptakan koherensi dan meringkas “what is known in an area”
Literatur review memungkinkan
peneliti untuk mengelompokkan dan mensintesiskan
hasil-hasil penelitian yang berbeda. Jadi
review yang baik dapat menggambarkan apakah
literatur review yang dilakukan dapat
menunjukkan apa yang sudah dilakukan dan apa yang belum dilakukan.
- 4. Belajar dari orang lain dan mendorong munculnya ide baru
Literatur review membatu
peneliti untu menceritakan apa yang telah
ditemukan sehingga peneliti memperoleh manfaat
dari yang telah dikerjakan orang lain.
Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif,
kualitas riset sangat tergantung pada
kualitas dan kelengkapan data yang
dihasilkan. Pertanyaan yang selalu diperhatikan
dalam pengumpulan data adalah apa, siapa,
dimana, kapan, dan bagaimana.
Penelitian kualitatif bertumpu pada triangulation
data yang dihasilkan dari tiga metode: interview,
participant observation, dan telaah catatan
organisasi (document records)
1. Interview
Interview bertujuan mencatat opini, perasaan, emosi, dan hal lain
berkaitan dengan individu yang ada dalam
organisasi. Dengan melakukan interview, peneliti
dapat memperoleh data yang lebih banyak
sehingga peneliti dapat memahami budaya
melalui bahasa dan ekspresi pihak
yang diinterview; dan dapat melakukan
klarifikasi atas hal-hal yang tidak
diketahui. Pertanyaan pertama yang perlu
diperhatikan dalam interview adalah Siapa
yang harus diinterview?
Untuk memperoleh data yang kredibel maka interview harus dilakukan
dengan Knowledgeable Respondent yang mampu menceritakan dengan akurat
fenomena yang diteliti. Isu yang kedua
adalah Bagaimana membuat responden mau
bekerja sama? Untuk merangsang pihak lain
mau meluangkan waktu untuk diinterview, maka
perilaku pewawancara dan responden harus
selaras sesuai dengan perilaku yang
diterima secara sosial sehingga ada
kesan saling menghormati. Selain itu,
interview harus dilakukan dalam waktu dan
tempat yang sesuai sehingga dapat
menciptalan rasa senang, santai dan
bersahabat. Kemudian, peneliti harus
berbuat jujur dan mampu meyakinkan bahwa
identitas responden tidak akan pernah
diketahui pihak
lain kecuali peneliti dan responden itu sendiri.
Data yang diperoleh dari
wawancara umumnya berbentuk pernyataan
yang menggambarkan pengalaman, pengetahuan, opini dan perasaan pribadi.
Untuk memperoleh data ini peneliti dapat
menggunakan metode wawancara standar yang
terskedul (Schedule Standardised Interview),
interview standar tak terskedul (Non-Schedule
Standardised Interview) atau
interview informal (Non Standardised Interview).
Ketiga pendekatan tersebut dapat dilakukan
dengan teknik sebagai berikut:
a)
Sebelum wawancara dimulai, perkenalkan diri dengan sopan untuk
men-ciptakan hubungan baik
b)
Tunjukkan bahwa responden memiliki kesan bahwa dia orang yang “penting”
c) Peroleh data sebanyak mungkin
d) Jangan mengarahkan jawaban
e) Ulangi pertanyaan jika perlu
f) Klarifikasi jawaban
g) Catat interview
2. Participant observation
Participant observation dilakukan
dengan cara mengamati secara
langsung perilaku individu dan interaksi
mereka dalam setting penelitian. Oleh karena
itu, Peneliti harus terlibat langsung dalam
kehidupan sehari-hari subyek yang
dipelajari. Dengan cara ini peneliti
dapat memperoleh data khusus di luar struktur dan prosedur formal organisasi.
Masalahnya, apa yang harus dilakukan? Dalam participant observation, peneliti
melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Melibatkan diri dalam
aktivitas sehari-hariMencatat kejadian, perilaku
dan setting social secara sistematik (apa
yang terjadi, kapan, dimana, siapa,
bagaimana). Adapun data yang dikumpulkan
selama observasi adalah:deskripsi program,
perilaku, perasaan, dan pengetahuan;
b. wujud data adalah catatan
(field note): Apa yang terjadi, bagaimana
Catatan terjadinya, siapa
yang ada di sana.
c. semua kejadian atau
perilaku yang dianggap penting oleh
peneliti (Bisa berupa checklist atau deskripsi rinci tentang peristiwa atau perilaku tertentu)
3. Telaah Organisational Record
Arsip dan catatan organisasi
merupakan bukti unik dalam studi kasus,
yang tidak ditemui dalam interview dan
observasi. Sumber ini merupakan sumber data
yang dapat digunakan untuk mendukung data
dari observasi dan interview. Selain itu,
telaah terhadap catatan
organisasi dapat memberikan data tentang
konteks historis setting organisasi yang
diteliti.
Sumber datanya dapat berupa catatan adminsitrasi,
surat menyurat, memo, agenda dan dokumen lain yang
relevan.
REFERENSI
Baxter, J. A. and W.
F. Chua (1998). “Doing Field Research:
Practice and Meta-Theory in Counterpoints.”Journal of Management Accounting Research 10: 69-87
Burrell, G dan G. Morgan, 1979, Sociological Paradigms and Organisational Analysis : Elements of The
Sociology of Corporate Life.
Heinemann Educational Books, London
Crotty, M. J. (1998). Foundations
of Social Research: Meaning and Perspective
in the Research Process. SAGE Publications.
Creswell, J. W. and D.
L. Miller, 2000, “Determining Validity in
Qualitative Inquiry”, Theory Into Practice, 39, 3, pp.124-130
Efferin, 2004, Metode Penelitian Untuk Akuntansi, Malang:
Bayumedia Publishing.
Finlay, L. 2006, “Going
Exploring’: The Nature of Qualitative
Research”, Qualitative Research for Allied
Health Professionals: Challenging Choices. Edited
by Linda Finlay and Claire
Ballinger. New York: John Wiley & Sons Ltd.
Ghozali dan Chariri. (2007). Teori Akuntansi.
Semarang: Badan Penerbit Undip.
Glaser, B. and A.
Strauss (1967). The Discovery of
Grounded Theory: Strategies for
Qualitative Research. Chicago, Aldine Press.
Gioia, D.A and E. Pitre.
1990. “Multiparadigm Perspectives on
Theory Building”, The Academy
of Managemen Review, October, 14, 4; pp. 584-602
Heydebrand, W. V., 1983.
“Organizations and Praxis”. Dalam G. Morgan
(Ed.)., Beyond Method: Strategies for Social Research, Beverly Hills: Sage., pp. 306-320.
Lather, P. 1992.Post-critical
pedagogies: a feminist reading. In C.
Luke & J. Gore (Eds.), Feminisms and critical pedagogy (pp. 120-137). New York:
Routledge
Lincoln, Y. S. and E. G. Guba. 1986. Naturalistic Inquiry. California: Sage
Neumen, W. L., 2003, Social
Research Method: Qualitative and Quantitative
Approaches, Boston,
MA: Allyn and Bacon Sarantakos, S 1998, Social research, 2nd Ed., South Melbourne: Macmillan
Education Australia.
Searcy, D.L. and J.T. Mentzer. 2003. “A Framework for Conducting and Evaluating
Research”, Journal of Accounting Literature, 22, pp. 130-167.
Yin, R. K. 2003. Case
Study Research: Design and Methods. 3
ed. Thousand Oaks, CA: Sage Publication
Oleh Prof. Dr. Deden Mulyana, SE., M.Si. – Keynotes
Speech – Disampaikan pada “Seminar Nasional Metode Penelitian Kualitatif”
sumber: infodiknas
0 Comments