Macam-macam Puasa



A.  Pengertian Puasa
              Puasa menurut arti Bahasa adalah menahan diri, sedangkan menurut syara ialah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalka dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari karena perintah Allah semata-mata, dengan disertai niat dan syarat-syarat tertentu.
Puasa bulan Ramadhan adalah salah satu dari rukun
Islam yang lima, diwajibkan pada tahun 11 Hijriyah, yaitu tahun kedua sesudah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Hukumnya Fardlu’ Ain atau tiap-tiap mukallad (baligh berakal).
Dasar hukumnya adalah firman Allah;
Artinya;
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari tertentu”(Q.S. Al Baqarah;183-184).
B.   Macam-macam Puasa
Puasa ada empat macam;
v Puasa wajib, yaitu puasa pada bulan Ramadhan tiap-tiap tahun, puasa nadzar dan puasa kifarat.
v Sunnat, yaitu puasa yang dianjurkan Nabi, seperti puasa setiap haris senin dan kamis, tiap tangal 13, 14 dan 15 pada tiap bulan Hujriyah, puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah dan sebagainya.
v Puasa Makruh, yaitu puasa seperti pada hari syak (ragu-ragu) (yaitu tanggal 29 dan 30 Sya’ban).
v Puasa Haram, yaitu puasa yang dilaksanakan pada dua haru Raya yaitu Hari Idul Adha dan 3 hari Tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah).

Puasa bulan Ramadhan itu merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima, diwajibkan pada Tahun kedua hijriyah, yaitu tahun kedua sesudah Nabi Muhammad Saw. Hijrah ke Madinah. Hukumnya Fardu’ain atas tiap-tiap mukallaf (balig dan berakal).
Sabda Rasulullah Saw;
“islam itu d tegakan 5 dasar;1), besaksi bahwa tidak ada Tuhan yang hak (patut disembah) kecuali Allah, dan bahwasanya Nabi Muhammad itu utusan Allah, 2), mendirikan salat lima waktu, 3), membayar zakat,4), mengerjakan haji ke Baitillah, 5), berpuasa pada bulan Ramadhan.” (Riwayat Bukhari,muslim, dan Ahmad).

C.       Syarat sah dan Sunnahnya
Syarat-syarat sah puasa adalah;
1.    Islam.
2.    Tamyiz,artinya orang-orang atau anak-anak yang dapat membedakan antara baik dan buruk. Tegasnya bukan anak-anak yang terlalu kecil dan bukan orang gila.
3.    Suci dari hadast dari nifas. Wanita yang sedang haid dan nifas tidak sah berpuasa, tetapi wajib qadla pada waktu lain,sebanyak hari yang ia tinggalkan.
4.    Tidak di dalam hari-hari yang dilarang untuk berpuasa yaitu di bulan Ramadhan.
Sunnah puasa;
·      Menyegerakan berbuka puasa bila waktu telah tiba.
Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah berikut ini;
لايز ال النا س يجير ما عجلو ا ا لفطر

“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.”
Apabila telah mendegar seruan mu’adzin untuk melaksanakan shalat magrib, maka wanita muslimah yang berpuasa harus segera berbuka. Mengenai hal ini, ada sebuah hadis yang diriwayatkan dari ibnu umar, dimana ia bercerita; bahwa ia aku pernah mendegar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam besabda;


“apabila malam telah datang, siang telah berlalu dan matahari telah terbenam, maka orang yang berpuasa pun segera berbuka puasa.

Disunnatkan juga bagi orang yang puasa untuk berbuka dengan beberapa butir kurma. Karna, kurma ini mampub mempertajam pad=ndangan. Jika tidak ada kurma, maka hendaklah ia berbuka dengan air putih saja.
·      Makan Sahur dan mengakhirkannya, sabda Nabi SAW;
“Umatku selalu dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka (setelah masuk waktu magrib) dan mengakhirkan sahur”.
·      Berbuka dengan makanan manis seperti Kurma atau lainnya atau Minum Air.
“Bila Nabi sedang bepuasa, beliau tidak mengerjakan shalat sebelum makan makanan yang basah atau minum air. Pada musin kemarau tidak mengerjakan shalat sebelum makan kurma atau minum air.
·      Berdoa ketika berbuka, seperti yang dilakukan oleh Nabi SAW.
“Ya Allah, karna engkau saya puasa dan dengan rizki pemberian engkau saya berbuka, dahag telah hilang dan urat-uratvtelah minum dan mudah-mudahan pahala ditetapkan,”
·      Memberikan makanan untuk orang yang berbuka puasa.
Sabda Nabi SAW;
“Barang siapa yang memberi makanan untuk orang yang berbuka puasa, maka ia mendapat pahala sebanyak pahala orang yang puasa itu, tidak kurang sedikitpun”.
·      Memperbanyak sedekah selama bulan Ramadhan.
·      Memperbanyak membaca Al-Quran dan mempelajarinya serta mengajarkan kepada orang lain.
D.       Yang membatalkan Puasa dan Pahalanya.
Ø Makan dan minum dengan sengaja. Kalau tidak sengajanseoerti terlupa, tidak membatalkan puasa.
Sabda Nabi SAW;
“Rasulullah SAW bersabda; “ Barang siapa yang lupa, padahal ia sedang berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka teruskanlah puasanya. Sesungguhnya Allah telah memeberinya makan dan minum” (H.R bukhari dan Muslim).
Ø Muntah dengan sengaja, muntah yang tidak sengaja tidak membatalkan puasa. Sabda Nabi SAW;
“Barang siapa muntah tidak sengaja dan ia sedang berpuasa maka ia tidak usah mengganti, barang siapa yang sengaja muntah maka hendaklah ia mengganti”. (H.R Ashabus Sunan).
Ø Bersenggama, mengadakan hubungan seksual. Barangsiapa yang bersenggama atau mengadakan hubungan seksual pada siang hari di bulan Ramadhan, maka batal puasanya dan harus menganti pada hari lain serta membayar kifarat dengan salah satu dari tiga hal yaitu;
§  Harus memerdekakann hamba sahaya yang mukminim, atau;
§  Berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu ia harus,
§  Memberi makan 60 orang fakir miskin dengan makanan yang mengenyangkan ¾ liter untuk setiap orang.
Ø Sengaja mengeluarkan sperma (dengan cara bersentuhan dengan wanita atau dengan cara lain).
Ø Keluar darah Haidl atau nifas.
Ø Gila, apabila seorang tekena penyakit ingatan atau pada siang hari, maka batallah puasanya.
Ø Berbuka puasa bagi orang yang berhalangan.
Orang-orang yang dalam keadaan tertentu di perbolehkan untuk berbuka puasa, sebaia rukhsah (keringanan hukum).
Adapun orang-orang yang diberikan keringanan adalah sebagai berikut;
a.    Orang sakit yang tidak kuat berpuasa atau bila berpuasa khawatir penyakitnya akan bertambah parah, diberikan keringanan untuk berbuka puasa, tetapi harus menganti pada hari lain.
b.    Bagi orang yang dalam perjalan jauh, boleh juga berbuka puasa dengan menganti pada hari lain.
c.    Orang-orang yang sudah tua, tidak mampu lagi berpuasa, maka ia boleh berpuasa dengan kewajiban fidyah, yaitu memberi makan kepada orang-orang miskin.

d.   Wanita-wanita hamil atau wanita yang sedang menyusui anak, di bolehkan tidak berpuasa. Terhadap mereka diwajibkan membayar fidiyah dengan memberi makan kepada orang miskin. Tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa mereka diwajibkan mngqadla pada hari yang lain dan tidak membayar fidiyah.
Sabda Rasulullah SAW. Berikut ini;
Dari anas. Rasulullah Saw. Telah berkata, sesungguhnya Allah telah memaafkan setengah salat dari orang musafir, dan memaafkan pula puasanya, dan dia memberikan (kemurahan) kepada wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui.’ (riwayat lima orang ahli hadis).
E.       Waktu haram berpuasa dan mengadha puasa
v puasa pada tanggal 10 Dzulhijjah (Hari Raya Idul fitri dan idul adha).
Diharamkan bagi wanita muslimah berpuasa pada hari raya idul fitri maupun idul adha, baik itu untuk mengqadha’ puasa yang ditinggalkan, membayar kafarat maupun sebagai puasa sunnat. Hal ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan Abi Ubaid Maula Azhar,dimana ia bercerita;
“aku pernah menghadiri salat ‘ Ied bersama Umar Bin Khatab dimana ia datang dan mengerjakan shalat. Kemudian berkhutbah dengan menyampaikan pesan; sesungguhnya pada kedua hari, Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam melarang untuk berpuasa. Yaitu, satu hari untuk berbuka dari puasa kalian dan satu hari yang lain lagi adalah waktu kalian makan dan berhenti dari mengerjakan manasik haji.”
v Pada hari-hari Tasyriq
Puasa pada hari-hari tasyriq juga diharamkan. Sebagaimana diriwayatkan dari Nabisyah Al-Hadzali, bahwa Raulullah SAW bersabda;
“ Hari-hari tasyriq adalah hari untuk makan, minum dan berzikir kepada Allah Azza wa Zalla.”

v Di bolekan berbuka bagi wanita yang sakit
Menurut ijma ulama, bagi wanita muslimah yang sedang sakit pada bulan Ramadhan, maka diperbolehkan baginya yang berbuka. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT;
“ Barang siapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalan, lalu berbuka, maka wajiblah baginya menganti puasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.(Al-Baqarah;148)

Orang sakit yang diperolahkan untuk berbuka adalah yang sakitnya akan bertambah parah apabila berpuasa atau dikhawatirkan akan menghambat proses kesembuhannya.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya; bilaman orang yang sakit itu  diperbolehkan berbuka? Imam Ahmad menjawab; apabila tidak mampu untuk berpuasa. Lalu ditanyakan lagi; apakah seperti penyakit demam misalnya? Imam Ahmad menjawab; juga semua penyakit yang lebih parah dari demam. “ dikisahkan dari sebagaian ulama salaf, bahwa mereka memperbolehkan berbuka bagi orang yang terserang penyakit apapun juga, termasuk luka di jari-jari atau sakit gigi yang membuat orang tersebut tidak mampu untuk berpuasa.
v Berbukanya seorang wanita yang berpuasa sunnat
Bagi wanita muslimah yang sedang berpuasa sunnat diperbolehkan untuk membatalkan puasa yang tengah dijalaninya. Hal ini didasarkan pada hadist diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-khudri Radhiyallahu Anhu. Dmana ia menceritakan.

“Aku pernah membuatku makanan untuk Rasulullah  ketika beliau datang bersama para sahabatnya ke rumah. Pada saat makanan itu disungguhkan, ada seorang sahabat berkata; aku sedang berpuasa. Lalu Rasulullah bertanya kepadanya; saudara kalian ini telah mengundang dn akan menjamu kalian. Karenanya, batalkan puasamu dan berpuasalah pada hari lain untuk mengantinya.
              Hadis ini meberikan keringanan untuk membatalkan puasa sunnat. Banyak dari para ulama yang memperbolehkan hal itu dan menganjurkan untuk menganti puasanaya pada hari lain.
F.   Di spensasi Puasa, serta Faedah Berpuasa
ü Adapun dispensasi khusus bagi mereka yang memang berat menjalankan puasa karna usia atau sakit yang berat dan sulit diharapakan kesembuhannya, yang dimaksudkan dari sakit yang diperbolehkan meninggalkan puasa ialah sakit yang akan menganggu puasa, seperti ketika sakit lalu berpuasa akan menambah sakit tetapi ketika tidak terganggu untuk puasa, tentu tidak diberikan dispensasi.
ü Sementara yang untuk ukuran berpergian /safar, juga terdapat ketika jauh tempul yang melebihi 83 km, diberikan dispensasi pada saat perjalanan tersebut sudah benar-benar dijalankan.
ü Dispensasi yang tidak wajib untuk digantikan puasa di hari lain yakni hanya cukup dengan mengantikan dengan fidyah atau tembusan memberi makan fakir dan miskin.
Adapun faedah dari puasa;
Allah Ta’ala Berfirman;
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana di wajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga bertakwa”.
Rasulullah SAW bersabda;
“ Puasa itu tameng (untuk menghindari api neraka)
Ketahuilah bahwa puasa itu adalah ibadah yang berfaedah banyak yang diantaranya;
v Puasa mengistiralkan pencernaan dan perut  dari kelelahan kerja yang terus menerus, mengeluakan sisa makanan dalam tubuh, memperkuat badan dan bermanfaat pula bagi penyembuhan beberapa penyakit.
v Puasa merupakan latihan dan pembiasaan jiwa untk berbuat kebaikan dan disiplin. Ketaatan dan kesabaran.
v Orang yang tidak berpuasa merasakan adanya perasaan dengan saudaranya yang berpuasa.
v Rasul bersabda “ Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh imam dan mencari Ridho Allah maka ia akan di ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.(Muttafad Alaih).
G.  KESIMPULAN
Kesimpulan adalah orang mukmin yang memberi kelongaran di perbolehkan untuk tidak bolah puasa Ramadhan. Puasa yang menjadi salah satu pilar utama agama islam bukanlah semata-mata berupa sekumpulan norma keagamaan yang tidak memiliki manfaat atau hikma bagi keseluruhan kehidupan manusia. Puasa di syariatkan Allah teryata memiliki ragam di mensi hikmah bagi kebahagiaan hidup manusia, di dunia dan di akhirat, fisik ataupun psikis. Puasa merupakan salah satu menujub pemedayaan hidup manusia yang beriman, yaitu dengan usaha menahan diri dari segala sesuatu secara mutlak yang membatalkan puasa, sehingga orang yang menahan diri dari berbicara, pada hakikatnya adalah. Berpuasa.


DAFTAR PUSTAKA

Muhammad ‘uwaidah syai’h kamil muhammad, fikih wanita “puasa”(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998), ceT. I, hal. 231.
H. Rasyid Sulaiman, “puasa fikih islam” (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), cet. 27, hal. 220.

Oleh : Emi Rohmiati
          Sunarti Dahlan

Post a Comment

0 Comments