Konsep Dasar Sejarah

Konsep Dasar Sejarah


Kata sejarah diambil dari bahasa Arab “syajaratun” yang artinya pohon atau keturunan atau asal usul yang kemudian berkembang sebagai kata dalam bahasa Melayu “syajarah”, akhirnya menjadi kata sejarah dalam bahasa Indonesia (Frederick dan Soeri Soeroto, 1982: 1). Jadi kata pohon di sini  mengandung pengertian suatu percabangan geneologis dari suatu kelompok keluarga tertentu yang kalau dibuat bagannya menyerupai profil pohon yang ke atas penuh dengan cabang serta ranting-rantingnya serta ke bawah juga menggambarkan percabangan dari akar-akarnya. Dengan demikian kata syajarah itu mula-mula dimaksudkan sebagai gambaran silsilah/ keturunan (Widja, 1988: 6)

Dengan demikian terdapat perbedaan makna antara kata sejarah dan history. Pada istilah sejarah (yang tradisional) terkandung usaha mengabadikan/menjunjung kebesaran penguasa atau cikal bakal kelompok orang dengan menekan terutama unsur asal usul keturunan serta peristiwa yang menyangkut tokoh-tokoh tersebut dan biasa-nya diuraikan secara magis-religius. Sedangkan pada istilah history, adalah usaha untuk mengetahui apa yang telah terjadi sebelum kehidupan, atau keinginan untuk mengetahui perjalanan waktu (Widja, 1988: 7). Dalam hubungan ini terlihat di Barat pengertian history dari semula sudah menunjuk pada unsur-unsur keilmuan.

a. Konsep-konsep Pembangun Ilmu Sejarah

1) Manusia
Sejarah adalah ilmu tentang manusia. Sejarah mengkaji aktivitas manusia di segala bidang dalam perspektif waktu. Sejarah juga bukan kisah manusia pada masa lampau secara keseluruhan. Manusia yang sudah memfosil menjadi objek kajian Antropologi Ragawi. Demikian juga benda-benda, meskipun sebagai hasil karya manusia, tetapi menjadi bidang kajian Arkeologi.

2) Waktu/Temporal
Menurut Kuntowijoyo (1995), dalam waktu terjadi empat hal, yaitu (1) perkembangan, (2) kesinambungan, (3) pengulangan, (4) perubahan. Perkembangan terjadi bila berturut-turut masyarakat bergerak dari satu
bentuk ke bentuk lainnya. Contoh: pada awal-awal Proklamasi Kemerdekaan kondisi yang ada merupakan kesinambungan dari masa-masa sebelumnya,  sehingga di tempat-tempat ter-tentu masyarakat tidak sabar untuk  melakukan perubahan, seperti di Aceh dan Tiga Daerah (Brebes, Tegal, Pekalongan).

3) Ruang/Spasial
Dalam melakukan aktivitas, manusia terikat pada ruang atau tempat tertentu. Ada hubungan yang erat antara peristiwa dengan ruang, seperti dinyatakan dalam teori Diterminisme Geografis, bahwa faktor geografis sebagai satusatunya faktor penentu jalannya peristiwa sejarah (Selanjutnya lihat Kausalitas).

4) Peristiwa
Sejarawan terutama tertarik pada peristiwa-peristiwa yang mempunyai arti istimewa. Untuk itu, Reiner (1997:99) membedakan apa yang disebut occurrence dengan event. Occurrence menunjuk pada peristiwa biasa, sedangkan event merupakan peristiwa istimewa. Ada pula yang menggunakan istilah kejadian “non historis” untuk peristiwa biasa, dan  kejadian “historis” untuk peristiwa istimewa (Widja, 1988: 18).

5) Kausalitas
Apabila pengungkapan sejarah bersifat deskriptif, maka fakta-fakta yang perlu diungkapkan terutama bersangkutan dengan apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana. Dengan mengetahui data deskriptif itu sebagian besar dari keingintahuan terhadap peristiwa sejarah tertentu terpenuhi. Dalam jawaban terhadap bagaimananya peristiwa, pada umumnya telah tercakup beberapa keterangan tentang sebab-sebabnya, meskipun tidak  dinyatakan secara eksplisit. Sejak abad ke-19 muncul teori diterministik yang menjelaskan, tentang kausalitas suatu peristiwa, keadaan atau perkembangan dikembalikan kepada satu faktor saja (Kartodirdjo, 1992: 94). Faktor itu dipandang sebagai faktor tunggal atau satu-satunya faktor yang menjadi faktor kausal.

Diterminisme geografis berpandangan bahwa faktor lokasi yang menentukan situasi atau perkembangan suatu bangsa. Bangsa-bangsa di negeri dingin pada umumnya maju oleh karena kondisi ekologinya menuntut jiwa yang mampu menyesuaikan diri dan mengatasi kondisi alamiah yang berat.   Sebaliknya, di negeri panas (tropika) alam sangat memudahkan hidup  sehingga tidak banyak menimbulkan tantangan berat. Diterminisme rasial  lebih menekankan faktor biologis sebagai penentu kemajuan suatu bangsa.

Diterminisme ekonomi adalah diterminan dari struktur dan perkembangan masyarakat. Teori Karl Marx terkenal sebagai diterminisme ekonomis. Seluruh lembaga-lembaga sosial, politik, dan kultural ditentukan oleh proses ekonomi pada umumnya dan sistem produksi khususnya. Misalnya, sistem produksi agraris dengan teknologi tradisional menciptakan struktur politik dan sosial yang feodalistik sifatnya, yang kesemuanya berkisar sekitar hubungan antara tuan tanah dan penggarap atau buruh tani.  Pertumbuhan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu-ilmu sosial  khususnya melahirkan teori perspektivisme. Walaupun tidak berhasil seluruh-nya teori ini mendesak teori diterminisme. Perspektivisme adalah  pandangan atau visi terhadap permasalahan atau objek pengkajian yang mendekati dari berbagai segi atau aspek dan perspektif. Timbulnya  perspektivisme disebabkan oleh semakin luasnya kesadaran bahwa berbagai gejala tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu yang sederhana tetapi bersifat kompleks. Menurut Kartodirdjo (1992) kompleksitas hanya dapat dikupas dan dianalisis berbagai unsur dan aspeknya, dengan pendekatan dari berbagai perspektif, antara lain perspektif ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain. Istilah lain dari perspektivisme adalah multikausalitas
Teori berikutnya dikenal dengan motivasi pribadi. Kausalitas dalam  tindakan individual biasanya dikembalikan kepada motivasi. Motivasi sangat ditentukan oleh nilai-nilai atau norma-norma, yang keduanya merupakan faktor kultural yang berfungsi sebagai prinsip atau dasar hidup dan yang melandasi kelakuan. Ternyata kelakuan individual senantiasa berpedoman pada nilai. Apabila kelakuan telah membudaya menurut pola tertentu sesuai dengan orientasi nilai dan diekspresikan sebagai sikap dan konsistensi dalam bertindak serta berkelakuan, maka akan membentuk watak tertentu dan akhirnya menjadi kepribadian.

6) Tidak Berulang
Sejarah bersifat tidak berulang (einmaliq). Jika terdapat dua peristiwa atau lebih yang mempunyai kesamaan, bukan berarti sejarah berulang. Hal ini hanya sebuah kemiripan, karena unsur-unsur yang melekat dalam masingmasing peristiwa (waktu, pelaku, tempat, kausalitas) berbeda. Contoh PKI  terlibat perlawanan pada tahun 1927, 1948, dan 1965. Dari aspek waktu,  tokoh-tokoh yang terlibat, intensitas keterlibatan, tempat perlawanan, jelas berbeda, dan masih banyak perbedaan-perbedaan yang lain.

Pengertian Negatif Sejarah

Kuntowijoyo (1995: 7-12) memaparkan pengertian negatif sejarah sebagai berikut.
1) Sejarah Bukan Mitos
Sama-sama menceritakan masa lalu sejarah berbeda dengan mitos. Mitos menceritakan masa lalu dengan: (1) waktu yang tidak jelas, dan (2) kejadian yang tidak masuk akal bagi orang masa kini. Mitos bersama
nyanyian rakyat, mantra, syair dan pepatah termasuk tradisi lisan. Untuk masyarakat yang belum mengenal tulisan akan mengandalkan diri pada tradisi lisan dalam penulisan sejarah.

2) Sejarah Bukan Filsafat
Sejarah berbicara tentang manusia, maka yang dibicarakan ialah orang tertentu yang mempunyai tempat dan waktu serta terlibat dalam kejadian. Filsafat sebaliknya, kalau berbicara tentang manusia, maka manusia
dimaksud adalah manusia pada umumnya, manusia yang ada dalam  gambaran angan-angan. Ada dua kemungkinan penyalahgunaan sejarah oleh filsafat; (1) sejarah dimoralkan, dan (2) sejarah sebagai ilmu yang
kongkrit dapat menjadi filsafat yang abstrak.

3) Sejarah Bukan Ilmu Alam
Sejarah sering dimasukkan dalam ilmu-ilmu manusia, yang dalam perjalanan waktu dipecah ke dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu  kemanusiaan. Ilmu-ilmu manusia dibedakan dengan ilmu-ilmu alam yang  memiliki tujuan menemukan hukum-hukum yang berlaku umum, atau  bersifat nomothetis, sedangkan sejarah berusaha mendeskripsikan halhal yang khas, atau idiografis.

4) Sejarah Bukan Sastra
Sejarah berbeda dengan sastra setidaknya dalam empat hal: (1) cara kerja, (2) kebenaran, (3) hasil keseluruhan, dan (4) kesimpulan. Dari cara  kerja-nya, sastra adalah pekerjaan imajinasi yang lahir dari kehidupan sebagaimana dimengerti oleh pengarangnya. Kebenaran bagi pengarang secara mutlak ada di bawah kekuasaannya, dengan kata lain pengarang  akan bersifat subjektif dan tidak ada yang mengikatnya. Kebebasan bagi  pengarang demikian besarnya, sehingga ia berhak membangun sendiri  dunianya. Hasil keseluruhan hanya menuntut supaya pengarang taat  asas dengan dunia yang dibangunnya sendiri.

Dimensi Sejarah


a. Sejarah Sebagai Ilmu

Dalam dunia ilmu, sebuah pengetahuan dapat dikatakan sebuah ilmu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

1) Objek
Objek sejarah adalah aktivitas manusia pada masa lampau. Sejarah merupakan ilmu empiris. Sejarah seperti ilmu-ilmu lain yang mengkaji manusia, bedanya sejarah mengkaji aktivitas manusia dalam dimensi waktu.
Aspek waktu inilah yang menjadi jiwa sejarah. Objek sejarah dibedakan menjadi dua, yakni objek formal dan objek material. Objek formal sejarah adalah keseluruhan aktivitas masa silam umat manusia. Objek material  berupa sumber-sumber sejarah yang merupakan bukti adanya peristiwa pada masa lampau (Zed, 2002: 48). Bukti-bukti tersebut merupakan kesaksian sejarah yang bisa dilihat. Tegasnya, rekonstruksi sejarah hanya mungkin kalau memiliki bukti-bukti berupa dokumen atau jenis peninggalan lainnya.

2) Tujuan
Menurut Sutrasno (1975: 22) sejarah bertujuan sebagai berikut.
a. Memberikan kenyataan-kenyataan sejarah yang sesungguhnya, menceritera-kan segala yang terjadi apa adanya.
b. Membimbing, mengajar, dan mengupas setiap kejadian sejarah secara kritis dan realistis.

3) Metode
Metode sejarah bertumpu pada empat langkah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Metode sejarah bersifat universal, artinya metode sejarah dapat dimanfaatkan oleh ilmu-ilmu lain untuk keperluan
memastikan fakta pada masa lampau. Dengan semakin mendekatnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu sejarah, maka semakin terlihat pemanfaatan  metode sejarah dalam ilmu-ilmu sosial.

4) Kegunaan
Menurut Widja (1988: 49-51) sejarah paling tidak mempunyai empat kegunaan, yaitu edukatif, inspiratif, rekreatif, dan instruktif.
Guna edukatif adalah sejarah memberikan kearifan dan kebijaksanaan bagi orang yang mempelajari-nya. Menyadari guna edukatif dari sejarah berarti menyadari makna dari sejarah sebagai masa lampau yang penuh arti.

Guna inspiratif, berfungsi bagi usaha menumbuhkan harga diri dan identitas sebagai suatu bangsa. Guna sejarah semacam ini sangat berarti dalam rangka pembentukan nation building. Di negara-negara yang
sedang ber-kembang guna inspiratif sejarah menjadi bagian yang sangat penting, terutama dalam upaya menumbuhkan kebanggaan kolektif.

Guna rekreatif menunjuk kepada nilai estetis dari sejarah, terutama kisah yang runtut tentang tokoh dan peristiwa. Di samping itu, sejarah memberikan kepuasan dalam bentuk “pesona perlawatan”. Dengan
membaca sejarah seseorang bisa menerobos batas waktu dan tempat  menuju zaman lampau dan tempat yang jauh untuk mengikuti berbagai peristiwa di dunia ini

Guna instruktif adalah fungsi sejarah dalam menunjang bidang-bidang  studi kejuruan/ketrampilan seperti navigasi, teknologi senjata, jurnalistik, taktik militer, dan sebagainya. 

Kuntowijoyo (1995: 19-35) membedakan guna sejarah menjadi guna ekstrinsik dan guna intrinsik. Guna intrinsik sejarah meliputi, (1) sejarah sebagai ilmu, (2) sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, (3)
sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan (4) sejarah sebagai profesi.

Guna ekstrinsik merupa-kan manfaat sejarah terutama di bidang pendidikan. Sejarah mempunyai fungsi pendidikan, yaitu sebagai pendidikan (1) moral, (2) penalaran, (3) politik, (4) kebijakan, (5) perubahan, (6) masa depan, (7) keindahan, (8) ilmu bantu. Dalam guna ekstrinsik selain pendidikan, sejarah juga berfungsi sebagai (1) latar belakang, (2) rujukan, dan (3) bukti.

5) Sistematika
Sistematika dalam sejarah bentuknya berupa periodisasi dan percabangan dalam ilmu sejarah. Periodisasi adalah pemenggalan waktu dalam periode-periode dengan menggunakan kriteria tertentu. Secara garis besar materi sejarah dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok teori sejarah dan kelompok kajian sejarah. Kelompok teori sejarah, seperti Pengantar Ilmu Sejarah, Filsafat Sejarah, Metodologi dan Historiografi. Kelompok kajian sejarah masih terbagi lagi dalam sejarah dunia, sejarah  Indonesia dan sejarah tematis. Masing-masing masih terpecah dalam cabang-cabang lagi, seperti sejarah tematis terdiri atas sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah maritim, dan sebagainya.

6) Kebenaran
Terdapat dua teori kebenaran yang dapat dikaitkan dengan usaha pengujian kebenaran fakta, yaitu kebenaran korespondensi dan kebenaran koherensi. Kebenaran korespodensi adalah pernyataan benar
apabila sama dengan realitasnya (konteks sejarah yang benar-benar telah terjadi. Kebenaran koherensi adalah suatu pernyataan benar jika  cocok dengan pernyataan-pernyataan lain yang pernah
diucapkan/dinyatakan dan diterima kebenarannya.

7) Generalisasi
Generalisasi atau kebenaran-kebenaran yang bersifat umum sering  terabaikan dalam kajian sejarah. Sejarawan, umumnya tidak menjadikan generalisasi sebagai tujuan utamanya tetapi lebih memusatkan perhatian pada usaha menerangkan, dan mengartikan jalan yang sebenarnya dari peristiwa-peristiwa khusus, kejadian-kejadian dalam dimensi waktu,  ruang, dan kondisi-kondisi tertentu (Widja, 1988: 3).

8) Prediksi
Prediksi dapat diartikan sebagai berlakunya hukum dikemudian hari. Hukum sejarah adalah keteraturan yang dapat diserap pada sejumlah kejadian, yang memberikan rupa persamaan pada perubahan-perubahan keadaan tertentu dalam sejarah. Dalam sejarah keteraturan yang menjadi unsur utama dari suatu hukum dikaitkan dengan suatu kondisi tertentu,  dan dibatasi hanya pada kejadian yang mempunyai persamaan, bukan  kejadian yang memang benar-benar sama (identik). Dengan kata lain,  hukum dapat berlaku apabila unsur-unsurnya pada peristiwa, benar-benar ada


B. Sejarah Sebagai Seni

Menurut Kuntowijoyo (1995: 67-70) kedudukan sejarah sebagai seni  disebabkan alasan-alasan sebagai berikut.

1) Sejarah memerlukan intuisi
Apa yang harus dikerjakan setiap langkah memerlukan kepandaian sejarawan dalam memutuskan apa yang harus dilakukan. Sering terjadi untuk memilih suatu penjelasan, bukan peralatan ilmu yang berjalan tetapi intuisi. Dalam hal ini cara kerja sejarawan sama dengan seniman. Dalam menghadapi ketidakpastian, (keadaan tidak tahu) sejarawan menggunakan intuisi. Untuk mendapatkan intuisi sejarawan harus kerja keras dengan data yang ada. Di sinilah beda intuisi seorang sejarawan  dengan seniman. Mungkin seniman akan melamun, tetapi sejarawan  harus tetap ingat akan data-datanya.

2) Sejarah memerlukan imajinasi
Sejarawan hendaknya mampu menerobos masa silam, membayangkan peristiwa dan kondisi yang mengiringinya dalam konteks jaman di mana peristiwa yang dibayangkan benar-benar terjadi berdasarkan fakta yang  ada (bukti-bukti), sehingga tidak terjebak dalam anakronisme.

3) Sejarah memerlukan emosi
Sejarawan dapat menghadirkan objeknya seolah-olah pembacanya mengalami sendiri peristiwa dimaksud berdasar pada fakta yang ada. Penulisan sejarah yang melibatkan emosi sangat penting untuk pewarisan nilai. Untuk keperluan ini, dalam sejarah dikenal historical  thinking atau cara berpikir historis, yaitu upaya menempatkan pikiranpikiran pelaku sejarah pada pikiran sejarawan. Historical thinking didasari bahwa peristiwa sejarah mempunyai aspek luar dan aspek dalam. Aspek  luar adalah bentuk dari peristiwa, seperti pemberontakan, perubahan  sosial, dan lain-lain. Sedangkan aspek dalam merupakan pikiran-pikiran  dari pelaku sejarah.

4) Sejarah memerlukan gaya bahasa
Gaya bahasa yang baik, tidak berarti gaya bahasa yang berbunga-bunga. Kadang-kadang gaya bahasa yang lugas lebih menarik. Gaya yang berbelit-belit dan tidak sistematis jelas merupakan bahasa yang jelek. Akan tetapi perlu diingat, seperti dinyatakan Kuntowijoyo (1995: 11) bahwa sejarah bukan sastra. Sejarah berbeda dengan sastra dalam hal: (1) cara kerja, (2) kebenaran, (3) hasil keseluruhan, dan (4) kesimpulan.
Dari cara kerjanya, sastra adalah pekerjaan imajinasi yang lahir dari  kehidupan sebagaimana dimengerti oleh pengarangnya. Kebenaran bagi  pengarang secara mutlak ada di bawah kekuasaannya

5)Sejarah Sebagai Peristiwa dan Kisah

Sejarah sebagai peristiwa hanya terjadi satu kali pada masa lampau. Orang masa kini mengetahui bahwa telah terjadi peristiwa melalui bukti-bukti (evidensi) yang ditinggalkan. Bagi sejarawan bukti-bukti merupakan sesuatu yang utama dan pertama. Tanpa adanya bukti peristiwa masa lalu hanya  mitos belaka. Untuk mengungkapkan peristiwa, bukti-bukti itu selanjutnya diolah melalui kritik sejarah. Hasil upaya Mempertanyakan bukti-bukti disebut fakta sejarah. Jadi, fakta dalam ilmu sejarah berarti informasi atau
keterangan yang diperoleh dari sumber atau bukti setelah melalui proses kritik.
Deretan fakta-fakta belum dapat disebut sejarah, melainkan masih pseudo sejarah (sejarah semu) dan belum mempunyai arti. Agar dapat berarti dan dipahami maka perlu dilakukan sintesis (interpretasi). Ketika hasil sintesis  dituliskan maka lahirlah sejarah sebagai kisah. Dengan demikian sejarah sebagai kisah, merupakan produk serangkaian kerja intelektual dari seorang  sejarawan dan bagaimana menangani bukti-bukti hingga mewujudkannya dalam tulisan sejarah (historiografi).

Post a Comment

2 Comments