Pengertian Kebudayaan dan Akulturasi

Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari kata Sanskerta yaitu buddhayah, merupakan bentuk jamak dari buddhi, yang
memiliki makna kekal. Sedangkan culture (Inggris) berasal dari bahasa Latin colere yang bermakna mengolah dan mengerjakan (terutama berhubungan tanah dan alam). Jadi istilah kebudayaan dan culture, keduanya memiliki makna yang sama yaitu “segala daya upaya serta tindakan  manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.”1
Pengertian Kebudayaan dan Akulturasi

Kebudayaan dalam pengertian sehari-hari seringkali difahami oleh banyak orang dengan makna yang sangat terbatas terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, misalnya candi, seni rupa, seni suara, susastra, tarian, dan filsafat. Agar lebih mudah memahami pengertian/definisi kebudayaan maka dibawah ini akan dikemukakan beberapa pengertian kebudayaan oleh para pakar, diantaranya:

Koentjaraningrat, mengatakan kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang  dijadikan miliknya dengan cara belajar.2 Sedangkan Parsudi Suparlan memberikan penjelasan bahwa kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi tingkahlakunya.

Clifford Geertz, mengekplanasi bahwa kebudayaan merupakan sebuah sistem berupa konsepsi-konsepsi
yang diwariskan dalam bentuk simbolik sehingga dengan cara ini komunikasi antar manusia dapat terjalin, mereka mampu melestarikan, mengembangkan pengetahuan serta sikapnya terhadap kehidupan mereka dalam kurun masa yang panjang.

Untuk dapat memahami sebuah kebudayaan, seorang  peneliti harus mengetahui unsur-unsur kebudayaan universal yaitu berbagai unsur kebudayaan yang telah terintegrasi dalam kebudayaan sebuah bangsa.
Sebagaimana Koentjaraningrat mengutip pendapat C. Kluckhohn, Universal Categories of Culture (1953), bahwa isi pokok setiap kebudayaan suatu bangsa meliputi tujuh unsur kebudayaan universal, antara lain: 1.
Bahasa; 2. Sistem pengetahuan; 3. Organisasi sosial; 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi; 5. Sistem mata pencaharian; 6. Sistem religi; dan 7. Kesenian.3

Pengertian Akulturasi (Percampuran)

Kebudayaan bukanlah hal yang statis melainkan sesuatu yang dinamis mengingat pelakunya manusia yang memiliki keinginan untuk bertindak dan melakukan berbagai hal agar kehidupannya lebih baik dari generasi
(masyarakat) sebelumnya. Kebudayaan akan lebih maju ketika masyarakat sebagai penyangga kebudayaan
tersebut senantiasa mau memiliki berbagai tantangan (challange) dan mampu menjawabnya (response) sebagai lahirnya kebudayaan baru yang sesungguhnya merupakan hasil equilibirium atau dialektika antara kebudayaan asli/ lama ketika berhadapan dengan pengaruh kebudayaan asing/baru.

Terdapat beberapa faktor lainnya yang turut andil sebagai pembentuk kebudayaan modern, selain manusia (masyarakat), faktor lain diantaranya lingkungan alam (environment), karakter manusia, perekonomian dan
pendidikan.4 Sedangkan perubahan kebudayaan itu sendiri setidaknya mengenal tiga jenis teori terjadinya perubahan sebuah kebudayaan, yaitu teori evolusi, difusi, dan akulturasi. Sebuah kebudayaan dapat kekal lestari dan dapat diwarisi oleh antar generasinya sebagai masyarakat pendukung maka kebudayaan tersebut harus melakukan proses sosialisasi secara terus menerus, proses internalisasi (internalization), dan proses enkulturasi (enculturation; institutionalization).5 Selanjutnya akan diuraikan pengertian akulturasi sebagai faktor terjadinya perubahan budaya baru itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akulturasi
dinyatakan sebagai proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan memengaruhi.6

Definisi lainnya, akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.7 Jadi Akulturasi kebudayaan adalah proses kontak satu atau lebih kebudayaan asing terhadap suatu kebudayaan yang lambat laun kebudayaan asing tersebut diserap ke dalam kebudayaan asli, namun hasil dari interaksi tersebut tidak menghilangkan nilai-nilai asli kebudayaan penerima.

Contoh akulturasi, dalam seni bangunan masjid/gereja banyak yang menyerap unsurunsur filosofi kebudayaan Hindu-Budha, Islam, dan kolonial Eropa. Akhirnya seni bangunan tersebut menjadi  ciri khas tersendiri bagi masyarakat setempat. Misalnya masjid Jami’ Aceh, Demak, Menara Kudus, Cheng Hoo (Surabaya), dan Gereja Blenduk (Semarang), serta Gereja Katedral (Jakarta).

Sedangkan wujud/bentuk akulturasi dapat ditemukenali melalui tujuh unsur-unsur budaya berikut ini: Bahasa; Religi/Kepercayaan; Organisasi Sosial Kemasyarakatan; Sistem Pengetahuan; Hidup dan Teknologi; dan Kesenian. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi akulturasi yaitu: faktor Intern, terlihat bertambah dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi). Kedua, faktor Ekstern (bencana/perubahan alam dan peperangan).8

Faktor-faktor yang memperkokoh dan menguatkan potensi akulturasi dalam taraf individu adalah kepribadian yang mengedepankan kepekaan toleransi, berkarakter dan mengembangkan sikap prilaku multikulturalisme, mau melihat kesamaan nilai, berani mengambil resiko, kemampuan kognitif, bersikap egaliter dan bersikap terbuka. Jadi dua kebudayaan yang memiliki nilai-nilai yang sama akan lebih mudah terjadinya akulturasi, jika dibandingkan dengan kebudayaan yang berbeda nilai.9

Sumber
Koentjaraningrat, (2005). Pengantar Antropologi I, Cetakan ketiga, Jakarta: Rieneka Cipta, hlm. 73—74.

 Selo Soemardjan (1964). Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta : Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas  Indonesia), hlm. 113.

Supartono Widyosiswoyo, (2006). Sejarah Kesenian Indonesia, Jakarta: Universitas Trisakti, hlm. 39—42.

(2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 24.

Nur Rokhman, Diktat Bernuansa Karakter, Mata Kuliah Sejarah Indonesa Masa Islam, Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, hlm. 4—5.

9 Nana Supriatna (2004), Terbentuknya Identitas Kebangsaan Pada Masa Sebelum dan sesudah Kemerdekaan, Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jendral Pendidikan
Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 4—146; Agustina Magdalena Djuliati Suroyo, (2002), Integrasi Nasional Dalam Perspektif Sejarah Indonesia: Sebuah Proses Yang Belum Selesai, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Semarang: Universitas Diponegoro, 9 Februari, hlm. 1—40; Syarief Moeis, (2009), “Pembentukan Kebudayaan Nasional,” Makalah, Disajikan dalam diskusi Jurusan Pendidikan Sejarah, Bandung: FPIPS UPI, hlm. 1—24.

Post a Comment

0 Comments