BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kehidupan
dalam bermasyarakat memang penting, apalagi manusia tidak dapat hidup sendiri.
Oleh sebab itu manusia saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya,
atau disebut juga dengan bermuamalah. Memang telah kita ketahui, manusia adalah
makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan muamalah. Namun tidak semua
masyarakat mengetahui secara kaffah akan peraturan-peraturan dalam bermuamalah,
misalnya dalam kasus jual beli.
Islam
melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia
itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas,
termasuk aktivitas ekonomi. Secara umum kita tahu bahwa pasar merupakan tempat
yang paling ramai dikunjungi oleh para pembeli, di pasar merupakan suatu tempat
jual beli yang cukup ramai, pasar disini dapat berupa swalayan atau supermarket
dan pertokoan. Disamping itu pula kegiatan jual beli terdapat di perbankan. Di
perbankan lebih umumnya adalah penjualan produk atau market-market lainnya.
Namun
hal yang mungkin menjadi perhatian adalah apakah transaksi jual beli di
Indonesia telah sesuai dengan ajaran agama, atau paling tidak transaksi jual
beli sudah saling menguntungkan atau bahkan merugikan. Didalam isalam, jual
beli sudah dikemas sedemikian rupa agar kedua belah pihak salaing untung. Maka
dari itu transaksi jual beli dalam islam sangat diatur sedemikian rupa, baik
oleh Allah Swt langsung melalui firmannya, dari Nabi Saw melalui haditsnya dan
dari para ulama melalui nalar ijtihadnya. Dewasa ini Tidak sedikit kaum
muslimin yang mengabaikan dalam mempelajari muamalat, melalaikan aspek ini
sehingga tidak mempedulikan lagi, apakah barang itu halal atau
haram menurut syariat Islam.
Syari'at
Islam telah melarang beberapa macam jual beli yang berbahaya bagi maslahat
seseorang, maslahat masyarakat atau bahkan maslahat pasar konsumtif. Larangan
ini berdampak pada batal atau rusaknya akad jual beli yang dilakukan. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari adanya penipuan (ghaban) dan tindakan
eksploitatif (pemerasan), menghindari bahaya bagi maslahat pihak-pihak pelaku
pasar dan menjauhi tindakan menekan konsumen dengan harga yang mahal, juga
menghindari perselisihan antar manusia akibat sebuah transaksi jual beli ini.
Sebab
timbulnya bermacam-macam perselisihan yang paling berbahaya adalah jual beli
atau mu'amalah. Oleh karena itu harus dihindari hal-hal yang menyebabkan
perpecahan dan kelemahan, kebencian dan kedengkian, eksploitasi dan penipuan.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum penulis melakukan pembahasan mengenai hukum penjualan hewan yang
ditashriah, terlebih dahulu penulis memaparkan definisi dari jual beli dan
landasan hukumya.
A. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam istilah fiqh disebut
al-ba’I yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah
al-Zuhaily mengartikannya secara bahasa dengan “menukar sesuatu dengan dengan
sesuatu yang lainnya”. Kata al-ba’I dalam arab terkadang digunakan untuk
pengertian lawannya, yaitu kata al-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-ba’I
berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.
Secara terminology, terdapat beberapa
definisi jual beli yang dikemukakan para ulama fiqh, sekalipun substansi dan
tujuan masing-masing definisi sama. Menurut Sayyid sidiq jual beli ialah pertukaran
harta dengan harta atas dasar saling merelakan, atau memindahkan milik dengan
ganti yang dapat dibenarkan. Menurut wahbah al-zuhaily jual beli ialah saling
tukar harta dengan harta melalui cara tertentu atau tukar menukar sesuatu yang
diinginkan dengan sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Menurut
pendapat lain yang dikemukakan oleh idnu qudamah (seorang ulama malikiyah) jual
beli ialah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan
pemiliknya[1].
Di kalangan para ulama Hanafi terdapat
dua definisi tentang jual belia, yang pertama, jual beli adalah saling tukar
menukar harta dengan harta melalui cara tertentu. Yang kedua, jual beli adalah
tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melaui cara tertentu
yang bermanfaat.
Ulama madzhab maliki, Syafi’I dan
Hanbali memberikan pengertian, jual beli adalah saling menukar harta dengan
harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Definisi ini menekankan pada
aspek milik pemilikan, untuk membedakan tukar menukar harta/barang yang tidak
mempunyai akibat milik kepemilikan, seperti sewa menyewa. Demikian juga harta
yang dimaksud adalah harta dalam pengertian luas, bias barang atau uang.[2]
Pengertian jual beli secara syara’
adalah tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan emberi kepemilikan.
Sebagian ulama member pengertian; tukar menukar harta meskipun ada dalam
tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan sesuatu yang semisal dengan
keduanya untuk memberikan secara tetap. Kedua pengertian tersebut mempunyai kesamaan
dan mengandung hal-hal antara lain:
1. Jual
beli dilakukan oleh dua orang yang saling melakukan tukar menukar
2. Tukar
menukar tersebut atas suatu barang atau suatu yang dihukumi seperti barang,
yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak
3. Sesuatu
yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk
diperjual belikan
4. Tukar
menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memiliki
sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan
pemilikan yang abadi.[3]
B. Landasan/Dasar Hukum Jual Beli
Jual
beli dibolehkan dengan adanya dalil dari al-Quran, dan as-Sunnah dan juga Ijma’
Ulama. Adapun dalil dari al-Quran adalah firman Allah SWT.
1. Surah
Al-Baqarah ayat 275
¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
Dan allah menghalakan jual beli dan
mengharamkan riba (Qs; AL-Baqarah, 2:275)
Dalil
dari sunnah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari
riwayat Ibnu Abbas r.a, dia berkata “pasar Ukadz, Mujnah, dan Dzul Majaz adalah
pasar yang sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika datang islam, mereka
membencinya lalu turnlah ayat:
2. Surah
Al-Baqarah ayat 198
}§øŠs9 öNà6ø‹n=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§‘ 4 !#sŒÎ*sù
“tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
(rezeki hasil perniagaan) dari tuhanmu…..”(al-Baqarah 2:198)
dan
Nabi Saw bersabda “penjual dan pembeli
mempunyai hak iyar selama mereka belum berpisah” (Muttafaq’alaih).[4]
3. Surah
an-Nisa ayat 29
HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB …
Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu….
(an-Nisa ayat 29)
Dasar
hukum berdasarkan sunnah Rasulullah, antara lain:
1.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi
Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat mengenai
pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasulullah SAW menjawab: usaha tangan
manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati (HR. Al-Bazzar dan
Al-Hakim)
2.
Hadits
dari Al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibbah, Rasulullah menyatakan: ”Jual beli
itu didasarkan atas suka sama suka”
3.
Hadits
yang diriwayatkan al-Tarmizi, Rasulullah SAW bersabda: ”pedagang yang jujur dan
terpercaya sejajar (tempatnya di syurga) dengan para nabi, shaddiqin dan
syuhada”
Dari kandungan ayat al-Quran dan Hadits diatas para ulam
fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli adalah mubah (boleh). Akan
tetapi pada situasi-situasi tertentu menurut imam al-Syathibi (w. 790 H) pakar
fiqh maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Imam al-Syathibi memberi
contoh terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari
pasar dan harga melonjak naik). Apabila seseorang melakukan ihtikar yang
menyebabkan harga melonjak naik yang ditimbun dan disimpan itu, maka
menurutnya, maka pihak pemerintah boleh memaksa pedagang menjual barangnya itu
sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga[5].
C. Hukum penjualan hewan
yang ditashriah
Dari sekian transaksi jual beli yang dilarang oleh
agama salah satunya adalah transaksi jual beli hewan yang ditashriah.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ
قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ قَيْسٍ عَنْ مُوسَى بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَلْيَنْقَلِبْ بِهَا فَلْيَحْلُبْهَا فَإِنْ رَضِيَ حِلَابَهَا أَمْسَكَهَا وَإِلَّا رَدَّهَا وَمَعَهَا صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَلْيَنْقَلِبْ بِهَا فَلْيَحْلُبْهَا فَإِنْ رَضِيَ حِلَابَهَا أَمْسَكَهَا وَإِلَّا رَدَّهَا وَمَعَهَا صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ
Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa membeli
seekor kambing yang ditashriah (yang tidak diperah susunya agar disangka
subur), hendaklah ia membawa kembali lalu memerahnya, jika ia rela dengan susu
perahannya, maka ia boleh menahan kambing itu (tidak mengembalikan) dan jika
tidak rela, ia boleh mengembalikannya disertai satu sha` kurma. (Shahih Muslim
No.2802)
Dalam hadist lain rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَنْ ابْتَاعَ شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ فِيهَا بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِنْ
شَاءَ أَمْسَكَهَا وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَرَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”(QS An Nisa : 29
Dari Abu Hurairah RA,
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa membeli kambing yang ditashriyah (susunya sengaja tidak
diperah), maka ia boleh berkhiyaar (memilih)
selama tiga hari. Kalau berkehendak, maka ia dapat mempertahankan kambing itu,
dan kalau tidak berkehendak, maka ia dapat mengembalikannya beserta satu sha’
kurma.” {Muslim 5/6}
Khiyar,
yang berararti memilih. Dalam jual beli menurut agama islam diperbolehkan,
apakah akan meneruskan jual beli atau akan membatalkannya karena terjadinya
sesuatu hal, khiar dibagi menjadi
tiga bagian:
1. Khiar majelis,
artinya antar penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau
membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majelis), khair
majelis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli. Rasulullah bersabda: “penjual dan pembeli boleh khiar selama belum
berpisah’ (Riwayat Bukhari dan Muslim) Bila keduanya telah berpisah dari
tempat akad tersebut, maka khiar majelis tidak berlaku lagi, batal.
2. Khiar Syarat,
yaitu penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun
oleh pembeli, seperti seseorang berkata “saya jual rumah ini dengan harga rp.
100.000.000 dengan syarat khiar selama tiga hari. Rasulullah bersabda: “kamu boleh khiar pada setiap benda yang
telah dibeli selama tiga hari tiga malam” (Riwayat Baihaqi).
3. Khiar aib,
artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli,
seperti seseorang berkata; “saya beli mobil itu seharga sekian, bila mobil itu
cacat akan saya kembalikan”, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu dawud
dari Aisyah r.a. bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh
berdiri didekatnya, didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu diadukannya
kepada rasul, maka budak itu dikembalikan pada penjual.[6]
Hadist diatas menunjukkan bahwa larangan
penjualan hewan yang ditashriah adalah karena didalam transaksinya terdapat unsur
penipuan untuk mencari keuntungan yang lebih besar. Dalam islam, transaksi jual
beli sangat dilarang jika tujuannya adalah hanya mencari keuntungan sepihak,
baik dari penjual maupun pembeli. Upaya mencari keuntungan yang tidak seimbang
dapat mendekatkan kepada penghasilan yang riba. Allah sangat menganjurkan jual
beli namun jika terdapat riba Allah sangat melarang riba tersebut, sebagaiman
firman Allah Swt:
Surah
Al-Baqarah ayat 275
¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
Dan allah menghalakan jual beli dan
mengharamkan riba (Qs; AL-Baqarah, 2:275)
Dalam sebuah riwayat lain
dikatakan: "Rasulullah saw melarang
"talaqqi" dan seorang pendatang menjual barangnya kepada yang mukim,
perempuan memohon perceraian saudaranya, seorang yang meninggikan harga setelah
kesepakatan, dan beliau juga melarang jual beli "najasy" dan
"tashriah" (membiarkan binatang tidak diperah selama tiga hari supaya
susunya menumpuk, sehingga pembeli akan terkecoh dengan banyak susu binatang
tersebut).
Hadits dengan riwayat ini menunjukkan haramnya jenis-jenis jual beli tersebut, karena semuanya mengandung madharat dan tipuan, juga dapat menimbulkan perselisihan. Hadits tersebut juga menyatakan haramnya hal-hal yang dapat menyebabkan perpecahan antara kedua suami istri dan melarang pinangan atas pinangan yang telah disepakati bersama.
Hadits dengan riwayat ini menunjukkan haramnya jenis-jenis jual beli tersebut, karena semuanya mengandung madharat dan tipuan, juga dapat menimbulkan perselisihan. Hadits tersebut juga menyatakan haramnya hal-hal yang dapat menyebabkan perpecahan antara kedua suami istri dan melarang pinangan atas pinangan yang telah disepakati bersama.
Islam mengharamkan seluruh macam penipuan, baik
dalam masalah jual-beli, maupun dalam seluruh macam mu'amalah. Seorang muslim dituntut
untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya, Sebab keikhlasan dalam beragama,
nilainya lebih tinggi daripada seluruh usaha duniawi.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Dua orang yang sedang melakukan jual-beli
dibolehkan tawar-menawar selama belum berpisah; jika mereka itu berlaku jujur
dan menjelaskan (ciri dagangannya), maka mereka akan diberi barakah dalam
perdagangannya itu; tetapi jika mereka berdusta dan menyembunyikan (ciri
dagangannya), barakah dagangannya itu akan dihapus." (Riwayat Bukhari)
Dan beliau bersabda pula:
"Tidak halal seseorang menjual suatu
perdagangan, melainkan dia harus menjelaskan ciri perdagangannya itu; dan tidak
halal seseorang yang mengetahuinya, melainkan dia harus menjelaskannya." (Riwayat Hakim dan
Baihaqi)
Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. pernah melalui
seorang laki-laki yang sedang menjual makanan (biji-bijian). Beliau sangat
mengaguminya, kemudian memasukkan tangannya ke dalam tempat makanan itu, maka
dilihatnya makanan itu tampak basah, maka bertanyalah beliau: Apa yang
diperbuat oleh yang mempunyai makanan ini? Ia
menjawab: Kena hujan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Mengapa tidak kamu
letakkan yang basah itu di atas, supaya orang lain mengetahuinya?! Sebab
barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami."
(Riwayat Muslim)
Dalam salah satu riwayat
dikatakan:
"Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. pernah melalui suatu (tumpukan) makanan yang oleh pemiliknya
dipujinya, kemudian Nabi meletakkan tangannya pada makanan tersebut, tetapi
tiba-tiba makanan tersebut sangat jelek, lantas Nabi bersabda: 'Juallah makanan
ini menurut harga yang pantas dan ini menurut harga yang pantas; sebab
barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat Ahmad)
Begitulah
yang dikerjakan oleh orang-orang Islam zaman dahulu, dimana mereka itu
menjelaskan cacat barang dagangannya dan samasekali tidak pernah
merahasiakannya. Mereka selalu berbuat jujur dan tidak berdusta, ikhlas dan
tidak menipu.
Ibnu Sirin pernah menjual
seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si pembelinya: 'Saya akan
menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya cacat.'
Begitu juga al-Hassan bin
Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan (jariyah), kemudian ia berkata
kepada si pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah dari hidungnya satu
kali."
Walaupun hanya sekali,
tetapi 'jiwa seorang mu'min merasa tidak enak kalau tidak menyebutkan cacatnya
itu, sekalipun berat.[7]
Hadits tersebut diatas menunjukkan bahwa jual beli yang
didasarkan pada tipuan demi mencari keuntungan yang besar sangat dilarang,
larangan ini karena jalan yang ditempuh nerupakan jalan kebatilan, sedangkan
jalan kebatilan merupakan jalan yang sangat dilarang oleh allah. Allah Swt
berfirman:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”(QS An Nisa : 29
Kesemuanya itu dimaksudkan untuk menghindari perselisihan dan perseteruan,
kebencian dan kedengkian, agar terwujudnya rasa persaudaraan di kalangan
manusia[8].
Di
sini jelas bahwa dalam jual beli tidak boleh melalui jalan yang batil, sebab
orang yang melakukan kebatilan tentu ia akan melakukan segala cara agar perdagangannya
mendapatkan untung yang besar, ia todak peduli apakah yang ia lakukan adalah
halal atau haram. Maka dari itu sebagai seorang mukmin yang baik, tentu dalam
melakukan jual beli hendaklah berprilaku adil dan tidak menipu. Disisi lain
tentu dalam berniaga atua jual beli tidak ada unsur paksaan dan penipuan.
Penjual dan pembeli harus dalam keadaan suka sama suka. Si penjual dan
pembeli suka dan rela dengan barang dan harga yang disepakati bersama,
yang nantinya akan timbul ikhlas dan insya Allah barokah. Seperti yang
tercantum dalam hadits berikut ini.
Dari
Abdullah Ibnu Harits dari Hakim Ibnu Hizam berkata, Rasulullah SAW
bersabda:“Penjual dan pembeli sama - sama bebas menentukan jual belinya selagi
keduanya belumterpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang maka jual beli
mereka akan diberkahi Allah,tetapi jika saling mendustaidan curang maka berkah
dalam jual beli itu akan terhapus” (Bukhari, Muslim).
Kedua pihak dalam jual
beli, penjual dan pembeli harus jujur dan berterus terang. Jujur di sini dapat
diartikan penjual tidak menyembunyikan kekurangan / cacat barang,
memberitahukankekurangan dan kelebihan barang yang menjadi obyek jual beli. Dan
bagi pembeli tidak membohongi penjual. Misalnya, membeli barang sebelum
sampai di pasar dengan harga yang jauh sekali di bawah harga pasar, atau
dengan kata lain pembeli membeli barang dalam keadaan si penjual belum
mengetahui harga yang berlaku di pasar.
Di sini diperlukan jiwa
mulia yang mengendalikan kejujuran dalam jual beli dan tukarmenukar di pasar,
di toko, dan di kios - kios. Islam membenci muamalah / perbuatan yang serakah
dan permainan kotor yang mencampurinya. (Ahmad Sunarto, 1990 : 62)
Sabda Rasulullah yang artinya:
“Penjual dan pembeli itu
kuasa memilih selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya benar dan
mau menerangkan (cacat barang dagangannya) maka diberi berkah keduanya
dalam jual belinya. Dan jika keduanya menyembunyikan (cacat barang
dagangannya) dan berdusta, maka kemungkinan keduanya mendapat laba, namun
keduanya telah memusnahkan berkah jual belinya. Sumpah
palsu itu melariskan barang dagangan, memusnahkan keuntungan.” (Bukhari dan
Muslim)
Demikian
Rasulullah SAW menjelaska tentang jual beli. Bagi penjual yang berdusta/bohong
dalam menawarkan barang dagangannya sehingga si pembeli mempercayainya, maka
perbuatanyang demikian termasuk khianat yang besar. Selain
itu kita semua tahu bahwa kegiatan jual beli atau transaksi perdagangan yang
ada di sekitar kita tidak selamanya dilakukan dengan kejujuran sesuai dengan
perintah agama. Walaupun Nabi Muhammad SAW sudah mencontohkan kepada umatnya
bahwa dengan modal jujur bisa membawa kesuksesan besar dalam perdagangan, namun
tetap saja masih banyak orang yang lebih menyukai keuntungan besar sesaat
walaupun hukumnya haram.[9]
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Jual beli merupakan suatu upaya atau kegiatan usaha atau
transaksi dalam tukar menukar barang yang bisa ditukar dengan barang sejenisnya
atau dengan uang, asalkan harga barang tersebut sesuai dengan kesepakatan. Inti
dari transaksi jual beli adalah saling menguntungkan, jika diantara kedua belah
pihak ada yang dirugikan, maka transaksi tersebut dapat dikatan telah keluar
dari syariat islam, karena islam itu sendiri telah mengatur sedemikian rupa
agar transaksi jual beli tidak ada yang dirugikan. Penjual merasa untuk dan
pembeli pun merasa untung.
2. Saran
Dalam penulisan ini tentu terjadi banyak kesalahan. Saran
dan kritikan tentu akan ditampung guna untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini belum semua penulis jelaskan
dalam pembahsan diatas, masih terdapat banyak kekurangan, dari itu penulis akan
menerima segala saran dan masukan yang membangun.
[1]
Abdul Rahman Ghazali, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010) hal. 67
[2]
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, ( Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009) hal. 53
[3]
Syeikh Abdurrahman As-Sa’di, dkk, Fiqih Jual Beli, ( Jakarta: 2008) hal. 143
[4]
Ibid. hal 144
[5]
Abdul Rahman Ghazali, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010) hal. 69
[6]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010) hal. 83
[8]
http://najiullohalamuddin.blogspot.com/2011/05/jual-beli-yang-terlarang.html
[9]
http://fadlyknight.blogspot.com/2011/10/hadits-hadits-tentang-perintah-berusaha.html
0 Comments