Dasar Hukum Tasrhiah



BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kehidupan dalam bermasyarakat memang penting, apalagi manusia tidak dapat hidup sendiri. Oleh sebab itu manusia saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, atau disebut juga dengan bermuamalah. Memang telah kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan muamalah. Namun tidak semua masyarakat mengetahui secara kaffah akan peraturan-peraturan dalam bermuamalah, misalnya dalam kasus jual beli.

Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Secara umum kita tahu bahwa pasar merupakan tempat yang paling ramai dikunjungi oleh para pembeli, di pasar merupakan suatu tempat jual beli yang cukup ramai, pasar disini dapat berupa swalayan atau supermarket dan pertokoan. Disamping itu pula kegiatan jual beli terdapat di perbankan. Di perbankan lebih umumnya adalah penjualan produk atau market-market lainnya.
Namun hal yang mungkin menjadi perhatian adalah apakah transaksi jual beli di Indonesia telah sesuai dengan ajaran agama, atau paling tidak transaksi jual beli sudah saling menguntungkan atau bahkan merugikan. Didalam isalam, jual beli sudah dikemas sedemikian rupa agar kedua belah pihak salaing untung. Maka dari itu transaksi jual beli dalam islam sangat diatur sedemikian rupa, baik oleh Allah Swt langsung melalui firmannya, dari Nabi Saw melalui haditsnya dan dari para ulama melalui nalar ijtihadnya. Dewasa ini Tidak sedikit kaum muslimin yang mengabaikan dalam mempelajari muamalat, melalaikan aspek ini sehingga tidak mempedulikan lagi, apakah barang itu halal atau haram menurut syariat Islam.
Syari'at Islam telah melarang beberapa macam jual beli yang berbahaya bagi maslahat seseorang, maslahat masyarakat atau bahkan maslahat pasar konsumtif. Larangan ini berdampak pada batal atau rusaknya akad jual beli yang dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya penipuan (ghaban) dan tindakan eksploitatif (pemerasan), menghindari bahaya bagi maslahat pihak-pihak pelaku pasar dan menjauhi tindakan menekan konsumen dengan harga yang mahal, juga menghindari perselisihan antar manusia akibat sebuah transaksi jual beli ini.
Sebab timbulnya bermacam-macam perselisihan yang paling berbahaya adalah jual beli atau mu'amalah. Oleh karena itu harus dihindari hal-hal yang menyebabkan perpecahan dan kelemahan, kebencian dan kedengkian, eksploitasi dan penipuan.




BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum penulis melakukan pembahasan mengenai hukum penjualan hewan yang ditashriah, terlebih dahulu penulis memaparkan definisi dari jual beli dan landasan hukumya.
A.  Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam istilah fiqh disebut al-ba’I yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikannya secara bahasa dengan “menukar sesuatu dengan dengan sesuatu yang lainnya”. Kata al-ba’I dalam arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-ba’I berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.
Secara terminology, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan para ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi sama. Menurut Sayyid sidiq jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan, atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Menurut wahbah al-zuhaily jual beli ialah saling tukar harta dengan harta melalui cara tertentu atau tukar menukar sesuatu yang diinginkan dengan sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Menurut pendapat lain yang dikemukakan oleh idnu qudamah (seorang ulama malikiyah) jual beli ialah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemiliknya[1].
Di kalangan para ulama Hanafi terdapat dua definisi tentang jual belia, yang pertama, jual beli adalah saling tukar menukar harta dengan harta melalui cara tertentu. Yang kedua, jual beli adalah tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melaui cara tertentu yang bermanfaat.
Ulama madzhab maliki, Syafi’I dan Hanbali memberikan pengertian, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Definisi ini menekankan pada aspek milik pemilikan, untuk membedakan tukar menukar harta/barang yang tidak mempunyai akibat milik kepemilikan, seperti sewa menyewa. Demikian juga harta yang dimaksud adalah harta dalam pengertian luas, bias barang atau uang.[2]
Pengertian jual beli secara syara’ adalah tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan emberi kepemilikan. Sebagian ulama member pengertian; tukar menukar harta meskipun ada dalam tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan sesuatu yang semisal dengan keduanya untuk memberikan secara tetap. Kedua pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandung hal-hal antara lain:
1.    Jual beli dilakukan oleh dua orang yang saling melakukan tukar menukar
2.    Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau suatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak
3.    Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjual belikan
4.    Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memiliki sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan pemilikan yang abadi.[3]
B.  Landasan/Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli dibolehkan dengan adanya dalil dari al-Quran, dan as-Sunnah dan juga Ijma’ Ulama. Adapun dalil dari al-Quran adalah firman Allah SWT.
1.    Surah Al-Baqarah ayat 275
 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4

Dan allah menghalakan jual beli dan mengharamkan riba (Qs; AL-Baqarah, 2:275)
Dalil dari sunnah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari riwayat Ibnu Abbas r.a, dia berkata “pasar Ukadz, Mujnah, dan Dzul Majaz adalah pasar yang sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika datang islam, mereka membencinya lalu turnlah ayat:
2.    Surah Al-Baqarah ayat 198

}§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4 !#sŒÎ*sù
tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari tuhanmu…..”(al-Baqarah 2:198)
dan Nabi Saw bersabda “penjual dan pembeli mempunyai hak iyar selama mereka belum berpisah” (Muttafaq’alaih).[4]
3.    Surah an-Nisa ayat 29

HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB

Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…. (an-Nisa ayat 29)

Dasar hukum berdasarkan sunnah Rasulullah, antara lain:
1.    Hadits yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi
Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasulullah SAW menjawab: usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati (HR. Al-Bazzar dan Al-Hakim)
2.    Hadits dari Al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibbah, Rasulullah menyatakan: ”Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka”
3.    Hadits yang diriwayatkan al-Tarmizi, Rasulullah SAW bersabda: ”pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di syurga) dengan para nabi, shaddiqin dan syuhada”
Dari kandungan ayat al-Quran dan Hadits diatas para ulam fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli adalah mubah (boleh). Akan tetapi pada situasi-situasi tertentu menurut imam al-Syathibi (w. 790 H) pakar fiqh maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Imam al-Syathibi memberi contoh terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Apabila seseorang melakukan ihtikar yang menyebabkan harga melonjak naik yang ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, maka pihak pemerintah boleh memaksa pedagang menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga[5].
C.  Hukum penjualan hewan yang ditashriah
Dari sekian transaksi jual beli yang dilarang oleh agama salah satunya adalah transaksi jual beli hewan yang ditashriah.
            Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ قَيْسٍ عَنْ مُوسَى بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَلْيَنْقَلِبْ بِهَا فَلْيَحْلُبْهَا فَإِنْ رَضِيَ حِلَابَهَا أَمْسَكَهَا وَإِلَّا رَدَّهَا وَمَعَهَا صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ

Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa membeli seekor kambing yang ditashriah (yang tidak diperah susunya agar disangka subur), hendaklah ia membawa kembali lalu memerahnya, jika ia rela dengan susu perahannya, maka ia boleh menahan kambing itu (tidak mengembalikan) dan jika tidak rela, ia boleh mengembalikannya disertai satu sha` kurma. (Shahih Muslim No.2802)
Dalam hadist lain rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ ابْتَاعَ شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ فِيهَا بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَرَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa membeli kambing yang ditashriyah (susunya sengaja tidak diperah), maka ia boleh berkhiyaar (memilih) selama tiga hari. Kalau berkehendak, maka ia dapat mempertahankan kambing itu, dan kalau tidak berkehendak, maka ia dapat mengembalikannya beserta satu sha’ kurma.” {Muslim 5/6}
Khiyar, yang berararti memilih. Dalam jual beli menurut agama islam diperbolehkan, apakah akan meneruskan jual beli atau akan membatalkannya karena terjadinya sesuatu hal, khiar dibagi menjadi tiga bagian:
1.    Khiar majelis, artinya antar penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majelis), khair majelis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli. Rasulullah bersabda: “penjual dan pembeli boleh khiar selama belum berpisah’ (Riwayat Bukhari dan Muslim) Bila keduanya telah berpisah dari tempat akad tersebut, maka khiar majelis tidak berlaku lagi, batal.
2.      Khiar Syarat, yaitu penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli, seperti seseorang berkata “saya jual rumah ini dengan harga rp. 100.000.000 dengan syarat khiar selama tiga hari. Rasulullah bersabda: “kamu boleh khiar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam” (Riwayat Baihaqi).
3.      Khiar aib, artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli, seperti seseorang berkata; “saya beli mobil itu seharga sekian, bila mobil itu cacat akan saya kembalikan”, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu dawud dari Aisyah r.a. bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh berdiri didekatnya, didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu diadukannya kepada rasul, maka budak itu dikembalikan pada penjual.[6]
Hadist diatas menunjukkan bahwa larangan penjualan hewan yang ditashriah adalah karena didalam transaksinya terdapat unsur penipuan untuk mencari keuntungan yang lebih besar. Dalam islam, transaksi jual beli sangat dilarang jika tujuannya adalah hanya mencari keuntungan sepihak, baik dari penjual maupun pembeli. Upaya mencari keuntungan yang tidak seimbang dapat mendekatkan kepada penghasilan yang riba. Allah sangat menganjurkan jual beli namun jika terdapat riba Allah sangat melarang riba tersebut, sebagaiman firman Allah Swt:
Surah Al-Baqarah ayat 275
 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4

Dan allah menghalakan jual beli dan mengharamkan riba (Qs; AL-Baqarah, 2:275)

Dalam sebuah riwayat lain dikatakan: "Rasulullah saw melarang "talaqqi" dan seorang pendatang menjual barangnya kepada yang mukim, perempuan memohon perceraian saudaranya, seorang yang meninggikan harga setelah kesepakatan, dan beliau juga melarang jual beli "najasy" dan "tashriah" (membiarkan binatang tidak diperah selama tiga hari supaya susunya menumpuk, sehingga pembeli akan terkecoh dengan banyak susu binatang tersebut).

       Hadits dengan riwayat ini menunjukkan haramnya jenis-jenis jual beli tersebut, karena semuanya mengandung madharat dan tipuan, juga dapat menimbulkan perselisihan. Hadits tersebut juga menyatakan haramnya hal-hal yang dapat menyebabkan perpecahan antara kedua suami istri dan melarang pinangan atas pinangan yang telah disepakati bersama.
Islam mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam masalah jual-beli, maupun dalam seluruh macam mu'amalah. Seorang muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya, Sebab keikhlasan dalam beragama, nilainya lebih tinggi daripada seluruh usaha duniawi.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Dua orang yang sedang melakukan jual-beli dibolehkan tawar-menawar selama belum berpisah; jika mereka itu berlaku jujur dan menjelaskan (ciri dagangannya), maka mereka akan diberi barakah dalam perdagangannya itu; tetapi jika mereka berdusta dan menyembunyikan (ciri dagangannya), barakah dagangannya itu akan dihapus." (Riwayat Bukhari)
Dan beliau bersabda pula:
"Tidak halal seseorang menjual suatu perdagangan, melainkan dia harus menjelaskan ciri perdagangannya itu; dan tidak halal seseorang yang mengetahuinya, melainkan dia harus menjelaskannya." (Riwayat Hakim dan Baihaqi)
Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. pernah melalui seorang laki-laki yang sedang menjual makanan (biji-bijian). Beliau sangat mengaguminya, kemudian memasukkan tangannya ke dalam tempat makanan itu, maka dilihatnya makanan itu tampak basah, maka bertanyalah beliau: Apa yang diperbuat oleh yang mempunyai makanan ini? Ia menjawab: Kena hujan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Mengapa tidak kamu letakkan yang basah itu di atas, supaya orang lain mengetahuinya?! Sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat Muslim)
Dalam salah satu riwayat dikatakan:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melalui suatu (tumpukan) makanan yang oleh pemiliknya dipujinya, kemudian Nabi meletakkan tangannya pada makanan tersebut, tetapi tiba-tiba makanan tersebut sangat jelek, lantas Nabi bersabda: 'Juallah makanan ini menurut harga yang pantas dan ini menurut harga yang pantas; sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat Ahmad)
Begitulah yang dikerjakan oleh orang-orang Islam zaman dahulu, dimana mereka itu menjelaskan cacat barang dagangannya dan samasekali tidak pernah merahasiakannya. Mereka selalu berbuat jujur dan tidak berdusta, ikhlas dan tidak menipu.
Ibnu Sirin pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si pembelinya: 'Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya cacat.'
Begitu juga al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan (jariyah), kemudian ia berkata kepada si pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah dari hidungnya satu kali."
Walaupun hanya sekali, tetapi 'jiwa seorang mu'min merasa tidak enak kalau tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berat.[7]
Hadits tersebut diatas menunjukkan bahwa jual beli yang didasarkan pada tipuan demi mencari keuntungan yang besar sangat dilarang, larangan ini karena jalan yang ditempuh nerupakan jalan kebatilan, sedangkan jalan kebatilan merupakan jalan yang sangat dilarang oleh allah. Allah Swt berfirman:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  

 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”(QS An Nisa : 29
Kesemuanya itu dimaksudkan untuk menghindari perselisihan dan perseteruan, kebencian dan kedengkian, agar terwujudnya rasa persaudaraan di kalangan manusia[8].

Di sini jelas bahwa dalam jual beli tidak boleh melalui jalan yang batil, sebab orang yang melakukan kebatilan tentu ia akan melakukan segala cara agar perdagangannya mendapatkan untung yang besar, ia todak peduli apakah yang ia lakukan adalah halal atau haram. Maka dari itu sebagai seorang mukmin yang baik, tentu dalam melakukan jual beli hendaklah berprilaku adil dan tidak menipu. Disisi lain tentu dalam berniaga atua jual beli tidak ada unsur paksaan dan penipuan. Penjual dan pembeli harus dalam keadaan suka sama suka. Si penjual dan pembeli suka dan rela dengan barang dan harga yang disepakati bersama, yang nantinya akan timbul ikhlas dan insya Allah barokah. Seperti yang tercantum dalam hadits berikut ini.

Dari Abdullah Ibnu Harits dari Hakim Ibnu Hizam berkata, Rasulullah SAW bersabda:“Penjual dan pembeli sama - sama bebas menentukan jual belinya selagi keduanya belumterpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang maka jual beli mereka akan diberkahi Allah,tetapi jika saling mendustaidan curang maka berkah dalam jual beli itu akan terhapus” (Bukhari, Muslim).
Kedua pihak dalam jual beli, penjual dan pembeli harus jujur dan berterus terang. Jujur di sini dapat diartikan penjual tidak menyembunyikan kekurangan / cacat barang, memberitahukankekurangan dan kelebihan barang yang menjadi obyek jual beli. Dan bagi pembeli tidak membohongi penjual. Misalnya, membeli barang sebelum sampai di pasar dengan harga yang jauh sekali di bawah harga pasar, atau dengan kata lain pembeli membeli barang dalam keadaan si penjual belum mengetahui harga yang berlaku di pasar.
Di sini diperlukan jiwa mulia yang mengendalikan kejujuran dalam jual beli dan tukarmenukar di pasar, di toko, dan di kios - kios. Islam membenci muamalah / perbuatan yang serakah dan permainan kotor yang mencampurinya. (Ahmad Sunarto, 1990 : 62)

Sabda Rasulullah yang artinya:
“Penjual dan pembeli itu kuasa memilih selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya benar dan mau menerangkan (cacat barang dagangannya) maka diberi berkah keduanya dalam jual belinya. Dan jika keduanya menyembunyikan (cacat barang dagangannya) dan berdusta, maka kemungkinan keduanya mendapat laba, namun keduanya telah memusnahkan berkah jual belinya. Sumpah palsu itu melariskan barang dagangan, memusnahkan keuntungan.” (Bukhari dan Muslim)
Demikian Rasulullah SAW menjelaska tentang jual beli. Bagi penjual yang berdusta/bohong dalam menawarkan barang dagangannya sehingga si pembeli mempercayainya, maka perbuatanyang demikian termasuk khianat yang besar. Selain itu kita semua tahu bahwa kegiatan jual beli atau transaksi perdagangan yang ada di sekitar kita tidak selamanya dilakukan dengan kejujuran sesuai dengan perintah agama. Walaupun Nabi Muhammad SAW sudah mencontohkan kepada umatnya bahwa dengan modal jujur bisa membawa kesuksesan besar dalam perdagangan, namun tetap saja masih banyak orang yang lebih menyukai keuntungan besar sesaat walaupun hukumnya haram.[9]






BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Jual beli merupakan suatu upaya atau kegiatan usaha atau transaksi dalam tukar menukar barang yang bisa ditukar dengan barang sejenisnya atau dengan uang, asalkan harga barang tersebut sesuai dengan kesepakatan. Inti dari transaksi jual beli adalah saling menguntungkan, jika diantara kedua belah pihak ada yang dirugikan, maka transaksi tersebut dapat dikatan telah keluar dari syariat islam, karena islam itu sendiri telah mengatur sedemikian rupa agar transaksi jual beli tidak ada yang dirugikan. Penjual merasa untuk dan pembeli pun merasa untung.

2.    Saran
Dalam penulisan ini tentu terjadi banyak kesalahan. Saran dan kritikan tentu akan ditampung guna untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini belum semua penulis jelaskan dalam pembahsan diatas, masih terdapat banyak kekurangan, dari itu penulis akan menerima segala saran dan masukan yang membangun.


[1] Abdul Rahman Ghazali, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) hal. 67
[2] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, ( Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009) hal. 53
[3] Syeikh Abdurrahman As-Sa’di, dkk, Fiqih Jual Beli, ( Jakarta: 2008) hal. 143
[4] Ibid. hal 144
[5] Abdul Rahman Ghazali, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) hal. 69
[6] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010) hal. 83
[7] http://www.zonastudi.co.cc/2010/09/jual-beli-yang-terlarang.htm
[8] http://najiullohalamuddin.blogspot.com/2011/05/jual-beli-yang-terlarang.html
[9] http://fadlyknight.blogspot.com/2011/10/hadits-hadits-tentang-perintah-berusaha.html

Post a Comment

0 Comments