Pesantren merupakan saka guru pendidikan di Indonesia.
Kesimpulan tersebut tidak berlebihan karena kehadiran pesantren di Nusantara
telah ada sejak ratusan tahun lalu. Istilah “pesantren” sendiri sangat khas
Nusantara. Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa istilah pesantren berasal
dari akar kata bahasa Sangsekerta yaitu "cantrik" atau
"santri" yang artinya "orang yang mencari pengetahuan dan
kebenaran" sama seperti kata "murid" dalam bahasa Arab yang
berarti "seseorang yang telah memperoleh talqin dari mursyid
tarekat." Kemudian akar kata tersebut di beri imbuhan bahasa Jawa pe-en
yang merubahnya menjadi kata keterangan tempat, yaitu "pesantren".
Setelah kedatangan Islam pesantren mendapatkan
tambahan kata yang mempertegas sistem pengajarannya yaitu "pondok".
Kata ini berasal dari bahasa Arab,“funduq” yang berarti “penginapan”. Keharusan
untuk menginap di madrasah / pesantren pada awalnya karena apara kyai selalu
membangun pesantrennya jauh dari pemukiman warga. Pemilihan tempat ini tentu
memiliki pertimbangan bahwa dalam upaya pengajaran dan pendidikan pesantren
seorang santri harus fokus dalam pelajarannya dan jangan terpengaruh oleh
budaya masyarakat yang masih menganut kepercayaan lama.
Berdasarkan istilah yang digunakan, maka pesantren merupakan tradisi pendidikan yang telah digunakan sejak pra Islam, yaitu berasal dari tradisi Mandala atau pertapaan dalam pengajaran agama Hindu-Buddha. Tradisi pesantren walaupun memiliki istilah yang berbeda memiliki kemiripan dengan tradisi pendidika di negara-negara lain, misalnya perguruan Budha-Shaolin di Cina yang juga membentuk komunitas belajar sendiri, tradisi pendidikan Huzah di Persia dan tradisi pendidikan Akademia di Yunani yang telah terselenggara sejak masa Plato.
Istilah santri pun lebih dekat dengan istilah murid dalam bahasa Arab dari pada "tilmidz", karena dalam pengajaran di pondok pesantren seorang santri tidak hanya diajarkan ilmu-ilmu duniawi saja tetapi juga dilatih mental dan spiritualnya. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah Wali Sangga yang mana Syaikh Ja'far Shadiq atau Sunan Kudus memiliki salah satu guru yang bernama Kyai Telingsing, seorang ulama asal negeri Cina yang dalam pesantrennya tidak hanya mengajarkan Ilmu-ilmu agama Islam tetapi juga ilmu arsitektur, pertukangan serta bela diri. Tidak seperti pendidikan formal saat ini yang lebih mengedepankan jenjang kelas.
Sistem
pendidikan pesantren sejak pendidikan dasarnya lebih mengedepankan sitem
pendidikan Akademia yang mana seorang santri tidak akan melanjutkan pelajaran
berikutnya sebelum benar-benar menguasai pelajaran landasannya, dari mulai ilmu
'alat, fiqih, aqidah, akhlaq, ushul fiqih, mantiq, kalam, hingga ilmu haqiqat
atau disebut juga ilmu tasawuf dan termasuk juga hikmah (filsafat). Setiap
pesantren memiliki corak fokus kajiannya sendiri, misalnya ada pesantren yang
hanya fokus dalam ilmu 'alat tetap lemah dalam ilmu lainnya, maka sang kyai
akan menyuruh santrinya untuk belajar kepada kyai yang lain untuk memperdalam
ilmu selanjutnya. Dengan demikian tradisi pendidikan pesantren juga beriringan
dengan tradisi rihlah 'ilmiyah (perjalan menunutut ilmu).
Seorang santri dalam mempelajari suatu ilmu tidak pernah "serakah", sehingga ia akan terlebih dahulu fokus dalam mempelajari satu ilmu terlebih dahulu tanpa mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan sekarang yang mana seorang pelajara harus mempelajari banyak ilmu sekaligus dalam satu tahun, sehingga ilmu-ilmu yang dipelajari tersebut tidak ada yang dikasai dengan baik. Saat ini pondok pesantren dapat dikatakan hanyalah sebuah nama saja. Tradisi-tradisi dan metode yang digunakan sudah menyimpang dari hakikat pesantren. Hal ini dikarenakan formalisasi pendidikan yang tidak mampu diadopsi dengan baik oleh para aktivis pesantren sehingga terbawa arus sekulerisasi pendidikan yang selalu membeda-bedakan mana pendidikan agama dan mana pendidikan umum
0 Comments