BAB I
A. Latar Belakang
Allah itu bersih dan suci. Untuk menemuinya,
manusia harus terlebih dahulu bersuci atau disucikan. Allah mencintai sesuatu
yang bersih dan suci. Dalam hukum Islam bersuci dan segala seluk beluknya
adalah termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting terutama karena diantaranya
syarat-syarat sholat telah ditetapkan bahwa
seseorang yang akan melaksanakan
sholat, wajib suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian dan tempatnya dari
najis. Dalam kehidupan sehari-hari
kita tidak terlepas dari sesuatu (barang) yang kotor dan najis sehingga
thaharah dijadikan sebagai alat dan cara bagaimana mensucikan diri sendiri agar
sah saat menjalankan ibadah.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian?
2. Sebutkan pembagian thaharah?
3. Sebutkan macam-macam air dan pembagiannya?
4. Benda apa sajakah yang najis?
5. Sebutkan pembagian najis?
6. Bagaimana cara-cara bersuci dari hadas dan
najis?
C.
TUJUAN
1.
Ingin mengetahui tentang thaharah.
2.
Ingin mengetahui pembagian thaharah.
3.
Ingin mengetahui macam-macam air dan pembagiannya.
5.
Ingin mengetahui pembagian najis.
6.
Memahami cara-cara bersuci dari hadas dan najis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. THAHARAH
1.
Pengertian Thaharah
Thaharah menurut bahasa ialah bersih dan bersuci dari
segala kotoran, baik yang nyata seperti najis, maupun yang tidak nyata seperti
aib. Menurut istilah para fuqaha’ berarti membersihkan diri dari hadas
dan najis, seperti mandi berwudlu dan bertayammum. (Saifuddin Mujtaba’, 2003:1)
Definisi, Penjelasan Hukum dan Jenis-jenis
Taharah
Taharah secara
etimologinya ialah bersih dan suci daripadaberbagai kotoran. Sedangkan taharah menurut
syariat ialahbersih daripada segala hadath, atau najis.Hukumnya atau konsekuensi hukum yang timbul kerananya ialahdibenarkannya
sesuatu yang tidak halal dilakukan tanpakewujudannya.
Atau dengan kata lain, sesuatu itu tidak boleh dantidak halal dilakukan
tanpa adanya taharah tersebut. Misalnyasolat. Ia tidak boleh dilaksanakan
kecuali setelah adanya taharahyang benar menurut peraturan syariat.Daripada
definasi taharah tersebut dapat diketahui bahawasanyataharah itu mempunyai dua
jenis iaitu taharah daripada najis dan,yang disebut sebagai
taharah haqiqiyyah.
Dan yang kedua ialahtaharah daripada hadath,
yang dikenali dengan nama
taharahhukmiyyah.
Suci dari hadas ialah dengan mengerjakan wudlu,
mandi dan tayammum. Suci dari najis ialah menghilangkan najis yang ada
di badan, tempat dan pakaian.
Urusan bersuci meliputi
beberapa perkara sebagai berikut:
a. Alat
bersuci seperti air, tanah, dan sebagainya.
b. Kaifiat
(cara) bersuci.
c. Macam
dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan.
d. Benda yang
wajib disucikan.
e.
Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri. (QS. 2:222)
Adapun thaharah dalam ilmu
fiqh ialah:
a.
Menghilangkan najis.
b.
Berwudlu.
c.
Mandi.
d.
Tayammum.
Alat
yang terpenting untuk bersuci ialah air. Jika tidak ada air maka
tanah, batu dan sebagainya dijadikan sebagai alat pengganti air.
Macam-macam
air
Air yang dapat
dipergunakan untuk bersuci ada tujuh macam:
1.
Air hujan.
2.
Air sungai.
3.
Air laut.
4.
Air dari mata air.
5.
Air sumur.
6.
Air salju.
7.
Air embun.
Pembagian air
Air
tersebut dibagi menjadi 4, yaitu :
1.
Air mutlak (air yang suci dan mensucikan), yaitu air yang masih murni, dan
tidak bercampur dengan sesuatu yang lain.
2.
Air musyammas (air yang suci dan dapat mensucikan tetapi makhruh
digunakan), yaitu air yang dipanaskan dengan terik matahari di tempat logam
yang bukan emas.
3.
Air musta’mal (air suci tetapi tidak dapat mensucikan), yaitu air yang
sudah digunakan untuk bersuci.
4.
Air mutanajis (air yang najis dan tidak dapat mensucikan), yaitu air
telah kemasukan benda najis atau yang terkena najis.
b. Bersuci
menghilangkan najis.
Najis menurut bahasa ialah apa saja yang kotor,
baik jiwa, benda maupun amal perbuatan. Sedangkan menurut fuqaha’
berarti kotoran (yang berbentuk zat) yang mengakibatkan sholat tidak sah.
Benda-benda
najis
a)
Bangkai (kecuali bangkai ikan dan belalang)
b)
Darah
c)
Babi
d)
Khamer dan benda cair apapun yang memabukkan
e) Anjing
f) Kencing dan kotoran (tinja) manusia
maupun binatang
g)
Susu binatang yang haram dimakan dagingnya
h) Wadi dan madzi
i) Muntahan dari perut
Macam-macam najis
Najis dibagi menjadi 3 bagian:
1. Najis
mukhaffafah (ringan), ialah air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2
tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali ASI.
Cara mensucikannya, cukup dengan memercikkan
air ke bagian yang terkena najis sampai bersih.
2. Najis
mutawassithah (sedang), ialah najis yang keluar dari kubul dan dubur
manusia dan binatang, kecuali air mani.
Najis ini dibagi menjadi dua:
a. Najis ‘ainiyah,
ialah najis yang berwujud atau tampak.
b. Najis hukmiyah,
ialah najis yang tidak tampak seperti bekas kencing atau arak yang sudah kering
dan sebagainya.
Cara mensucikannya, dibilas dengan air sehingga
hilang semua sifatnya (bau, warna, rasa dan rupanya)
3. Najis mughallazah
(berat), ialah najis anjing dan babi.
Cara mensucikannya, lebih dulu dihilangkan
wujud benda najis itu, kemudian dicuci dengan air bersih 7 kali dan salah
satunya dicampur dengan debu.
c.
Bersuci dari hadas
Hadas menurut makna bahasa
“peristiwa”. Sedangkan menurut syara’ adalah perkara yang dianggap mempengaruhi
anggora-anggota tubuh sehingga menjadikan sholat dan pekerjaan-pekerjaan lain
yang sehukum dengannya tidak sah karenanya,
karena tidak ada sesuatu yang meringankan. Hadas dibagi menjadi dua :
1)
Hadas kecil, adalah perkara-perkara yang dianggap mempengaruhi empat anggota
tubuh manusia yaitu wajah, dua tangan dan dua kaki. Lalu menjadikan
sholat dan semisalnya tidak sah. Hadas kecil ini hilang dengan cara berwudlu.
2)
Hadas besar, adalah perkara yang dianggap mempengaruhi seluruh tubuh lalu menjadikan
sholat dan pekerjaan-pekerjaan lain yang sehukum dengannya tidak sah. Hadas
besar ini bisa hilang dengan cara mandi besar.
HIKMAH BERSUCI
1.
Thaharah termasuk tuntutan fitrah.
2.
Memelihara kehormatan dan harga diri orang Islam.
3.
Memelihara kesehatan.
4.
Menghadap Allah dalam keadaan suci dan bersih.
5.
Thaharah berfungsi menghilangkan hadas dan najis juga berfungsi sebagai
penghapus dosa kecil dan berhikmah membersihkan kotoran indrawi.
Bagi wanita yang mengalami haid dan nifas
diharamkan melakukan hal-hal yang diharamkan bagi orang yang hadas kecil. Yaitu
: haram melakukan shalat, thawaf, memegang mushhaf dan membawanya. Dan juga
hal-hal yang diharamkan bagi orang Junub (hadats besar). Yaitu: empat hal
diatas, diam di masjid dan membaca Al-Qur'an dengan tujuan membaca. Ditambah
lagi, wanita yang haid dan nifas haram melakukan puasa, ditalak, lewat didalam
masjid bila takut melumuri masjid dengan darah, bersenang-senang dengan anggota
badan antara pusar dan lutut dan bersuci dengan niat ibadah. Semuanya akan kami terangkan dengan terperinci di bawah ini.
A. Shalat
Wanita yang mengalami haid dan nifas
dilarang melakukan shalat walaupun cuma shalat sunnah, shalat jenazah, sujud
tilawah dan sujud syukur.
Dan dalam kesempatan ini,
kami akan menjelaskan dua masalah penting. Yaitu masalah yang berkenaan dengan hilangnya
penghalang dan datangnya penghalang.
1. Hilangnya Penghalang
Ketika wanita yang haid dan nifas mengalami
suci sebelum habisnya waktu (shalat), dengan sekedar waktu yang cukup untuk
digunakan takbiratul ihraom (takbir al-ihram), maka ia wajib meng-qodlo
shalat waktu itu dengan dua syarat :
a. Setelah suci terdapat masa
selamat dari beberapa penghalang (seperti gila, mabuk, dll. Penterjemah.)
selama waktu yang cukup untuk digunakan bersuci dan juga melakukan syarat-
syarat shalat.[1] (Dengan demikian, jika wanita suci dari haid pada saat shalat
ashar akan habis waktunya dalam satu menit lagi, kemudian setelah satu menit
dari awal suci ia gila, maka ia tidak wajib meng-qodlo shalat ashar
karena waktu satu menit tidak cukup untuk dibuat bersuci. Penterjemah.)
b. (Setelah suci) terdapat masa selamat
dari beberapa penghalang selama masa waktu yang cukup untuk melakukan shalat
pada waktu itu dengan cara shalat secepat mungkin (shalat dengan melakuan
rukun-rukunnya saja. Penterjemah.)
(Kesimpulannya, wanita yang
suci pada saat waktu shalat belum habis ia wajib meng-qodlo shalat
apabila terdapat masa selamat dari beberapa penghalang selama waktu yang cukup
untuk digunakan bersuci dan melakukan shalat dengan cepat. Untuk memudahkan pemahaman akan kami sajikan contoh dengan menentukan
perkiraan waktu sebagai berikut. Waktu untuk bersuci 3 menit dan waktu untuk
melakukan shalat dengan cepat 2 menit.
Waktu ashar akan habis kurang 1 menit, seorang wanita yang haid mengalami suci
selama 4 menit, selanjutnya langsung terserang penyakit gila. Maka, ia tidak
wajib meng-qodlo shalat ashar karena waktu 4 menit tidak cukup digunakan
untuk bersuci dan shalat dengan cepat.
Waktu ashar akan habis kurang 1 menit seorang wanita
yang haid mengalami suci selama 5 menit. Maka ia wajib meng-qodlo shalat
ashar karena waktu 5 menit sudah cukup untuk digunakan untuk bersuci dan
melakukan shalat dengan cepat. Penterjemah.)
Selain wajib meng-qodlo
shalat waktu itu, ia juga wajib meng-qodlo shalat sebelumnya yang bisa
di-jama' dengannya, seperti dhuhur dengan ashar dan maghrib dengan
isya', dengan syarat setelah hilangnya penghalang terdapat masa selamat dari
beberapa penghalang sekedar waktu yang cukup untuk digunakan melakukan bersuci
dan dua shalat fasdlu dengan cepat.
Contoh :
Waktu ashar habis kurang 1 menit, seorang yang
haid mengalami suci selama 8 menit. Maka, ia wajib meng-qodlo shalat
ashar dan dhuhur karena waktu 8 menit sudah cukup untuk digunakan bersuci dan
melakukan dua sholat dengan cepat (perkiraan waktu untuk bersuci 3 menit dan
dua sholat fardlu 4 menit seperti perkiraan di atas) Penterjemah.)
2. Datangnya penghalang
ketika seorang wanita mengalami haid atau nifas
di awal waktu atau pertengahan waktu, maka nanti ketika penghalang sudah hilang
ia wajib meng–qodlo' shalat waktu itu. Tetapi dengan syarat sebelum
datangnya penghalang, ia menemukan waktu yang cukup untuk melakukan shalat itu
serta bersuci. Di syaratkan juga harus ada waktu yang cukup digunakan untuk
bersuci ini, apabila sesucinya tidak bisa dilakukan sebelum masuk waktu. (Orang
yang sesucinya tidak boleh dilakukan sebelum masuk waktu adalah orang yang
bertayamum, beser, dan istihadloh). Orang-orang seperti ini wajib meng-qodlo'
kalau memang ia menemukan waktu yang cukup untuk bersuci dan shalat. Tetapi,
kalau orang lain (bukan orang yang istihadloh, beser, dan tayamum ) ia
wajib qodlo' kalau menemukan waktu yang cukup untuk shalat saja.
Penterjemah)
Contoh :
Setelah waktu shalat masuk
selama 60 menit, haid datang. Maka, wanita ini nanti ketika suci wajib qodlo'.
Karena sebelum datangnya penghalang ia menemukan waktu yang cukup untuk digunakan
shalat (perkiraan waktu untuk shalat 2 menit)
Haid datang bersamaan dengan dikumandangkannya
adzan ashar. Maka, wanita ini tidak wajib meng-qodlo' ashar karena ia
tidak menemukan waktu yang cukup untuk shalat.
Memegang dan Membawa Mushhaf
Wanita yang haid dan nifas dilarang memegang
dan membawa mushhaf berdasarkan ayat yang berbunyi :
لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ
(الواقعة : 79)
Artinya : "Tidak boleh mnyentuh mushhaf
kecuali orang yang suci."(al-Waqi'ah : 79)
Adapun yang dimaksud mushhaf adalah sesuatu
yang ditulisi Al-Qur'an walaupun cuma sebagian ayat yang dapat dipaham dengan
tujuan untuk dibuat belajar. Haram juga hukumnya memegang mushhaf walaupun
dilapisi dengan kain. Adapun membawa mushhaf yang bersamaan dengan barang lain,
hukumnya boleh, selama yang diniati adalah membawa barang tersebut. Apabila
diniati membawa mushhaf saja, maka hukumnya haram. Sedangkan bila diniati
keduanya, atau dimutlakkan (tidak ada niat) maka hukumnya halal menurut
Ar-Ramli dan haram menurut Ibnu Hajar.[6]
E. Diam di Masjid
Haram bagi wanita yang haid dan nifas berdiam
diri di masjid. Berdasarkan hadits yang berbunyi :
إِنِّي لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ
لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
Artinya : "Aku tidak menghalalkan masjid
bagi orang yang haid dan junub."[7]
F. Membaca Al-Qur'an Dengan Tujuan Membaca
Haram bagi wanita haid dan nifas membaca
Al-Qur'an berdasakan hadits nabi yang berbunyi :
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ
الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ.
Artinya : "Orang yang junub dan haid
dilarang membaca sesuatu dari Al-Qur'an."
Keharaman membaca Al-Qur'an ini, apabila telah
memenuhi beberapa syarat di bawah ini.
1. Membaca Al-Qur'an dengan tujuan membaca saja
atau tujuan membaca dan tujuan yang lain (misalnya dzikir). Maka, jika tidak
ada tujuan membaca, seperti bertujuan dzikir, mauidhoh, cerita, menjaga
diri, membentengi diri dan tujuan-tujuan ini tidak disertai dengan tujuan
membaca, maka hukumnya tidak haram. Seandainya ia tidak
mempunyai tujuan sama sekali (mutlak), maka juga tidak haram.
2. Membacanya dengan suara sekiranya dirinya
sendiri mendengar. Karena itu, tidak diharamkan melantunkan bacaan Al-Qur'a di
dalam hati dengan tanpa menggerakkan lidah, begitu juga melihat mushhaf dengan
tanpa menggerakkan lidah.[8]
Para ulama' sepakat, bahwa diperbolehkan membaca tasbih, tahlil, dan
dzikir-dzikir yang selain Al-Qur'an bagi wanita yang haid dan nifas.[9]G. Puasa
Umat islam sepakat bahwa wanita haid dan nifas dilarang berpuasa dan bila ia
puasa maka puasanya tidak sah. Dalil tentang haramnya puasa adalah hadis :
عَنْ
عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ : {كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ
نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ}
Artinya : " Dari aisyah, belieu
berkata:"Kita di perintah untuk meng-qodlo' puasa dan kita tidak di
perintah untuk mengqodlo' shalat". [10]
Hadits ini menunjukkan bahwa mereka tidak puasa ketika haid.
I. Melewati Masjid Jika Khawatir Mengotorinya
Haram bagi wanita haid dan nifas lewat di dalam masjid jika ia kuatir mengotori
masjid. Walaupun cuma kemungkinan saja. Karena untuk menjaga masjid. Sama
hukumnya dengan orang haid dan nifas adalah setiap orang yang terkena kotoran
atau najis yang di khawatirkan dapat mengotori masjid. Dengan demikian, bila ia
yakin aman dari mengotori masjid maka hukum melewati masjid adalah makruh saja [13].
J. Bersentuhan Pada
Anggota Badan Antara Pusar dan Lutut
Para ulama'
sepakat diharamkannya menyetubuhi wanita yang haid berdasarkan ayat 222 surat
Al-Baqoroh dan bebrapa hadits nabi. Menurut imam Asy-Syafi'i : barang siapa
menyetubuhi istrinya pada saat haid, maka ia telah melakukan dosa besar[14].
Begitu juga, haram melakukan persentuhan pada anggota badan antara pusar
dan lutut. Berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abu dawud :
عَنْ حَرَامِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ
عَمِّهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : مَا يَحِلُّ لِي
مِنْ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِضٌ ؟ فَقَالَ : لَكَ مَا فَوْقَ الْإِزَارِ.
Artinya : "Dari Haram bin hakim dari
pamannya, ia berkata : " aku bertanya kepada rosul tentang apa yang halal
bagiku dari istriku ketika ia haid. Nabi menjawab ." anggota di atas izar
(sewek/sarung).[15]
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhâri
dan muslim yang berbunyi :
عَنْ
عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ : { كَانَتْ إحْدَانَا إذَا كَانَتْ حَائِضًا
فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُبَاشِرَهَا أَمَرَهَا أَنْ
تَتَّزِرَ ثُمَّ يُبَاشِرُهَا , قَالَتْ : وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إرْبَهُ كَمَا
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَمْلِك إرْبَهُ }
Artinya :
"Dari 'Aisyah r.a beliau
berkata: " Ketika salah salah satu dari kita haid dan nabi SAW.
menginginkan untuk bersentuhan dengannya, maka beliau memerintahkan agar ia
menggunakan izar, baru setelah itu nabi menyentuhnya,". Aisyah berkata:
"Siapa dari kamu yang mampu menguasai hajatnya sebagaimana nabi mampu
menguasai hajatnya ,"[16]
Para ulama' berselisih pendapat, apakah yang haram itu bersentuhan atau
bersenang senang.[17] Sebagian mereka berpendapat, yang haram adalah
bersetuhan pada anggota badan antara pusar dan lutut. Karena itulah, diharamkan
memegang (anggota badan antara pusat dan lutut) dengan tanpa adanya
penghalang (alas) baik dengan syahwat atau tidak, dan diperbolehkan melihat
walaupun dengan syahwat.
Dan sebagian yang lain berpendapat, yang haram
adalah bersenang-senang pada anggota badan antara pusar dan lutut. Karena
itulah, haram melihat dan memegang (anggota badan antara pusar dan lutut)
dengan tanpa adanya alas penghalang tapi dengan syarat bila terjadi syahwat.
K. Bersuci Dengan Niat Ibadah
Ketika seorang wanita haid, haram baginya
bersuci (seperti mandi, penterjemah) dengan niat melakukan ibadah padahal ia
tahu bahwa sesucinya tidak sah, sehingga ia berdosa, karena ia bermain -main
dengan ibadah.
Ketidak-sah-an bersucinya wanita yang haid itu
adalah bersuci dengan tujuan menghilangkan hadats, baik wudlu' ataupun mandi.
Adapun bersuci yang disunnahkan dengan tujuan untuk membersihkan (badan),
seperti mandi untuk melakukan ihram, wukuf dan melempar jumrah, maka hukumnya
tetap sunnah dengan tanpa adanya khilaf pendapat.[18] Hal ini berdasarkan sabda
nabi kepada 'Aisyah yang berbunyi :
اصْنَعِي مَا يَصْنَعُ الْحَاجُّ
غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي (رواه البخارى ومسلم)
Artinya : ''Lakukanlah
hal-hal yang dilakukan orang haji, tapi jangan thawaf. ''(HR.Bukhori
muslim
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kebersihan yang sempurna menurut syara’ disebut
thaharah, merupakan masalah yang sangat penting dalam beragama dan menjadi
pangkal dalam beribadah yang menghantarkan manusia berhubungan dengan Allah
SWT. Tidak ada cara bersuci yang lebih baik dari pada cara yang dilakukan oleh
syarit Islam, karena syariat Islam menganjurkan manusia mandi dan berwudlu.
Walaupun manusia masih dalam keadaan bersih, tapi ketika hendak melaksanakan
sholat dan ibadah-ibadah lainnya yang mengharuskan berwudlu, begitu juga dia
harus pula membuang kotoran pada diri dan tempat ibadahnya dan mensucikannya
karena kotoran itu sangat menjijikkan bagi manusia Al Qurän dan Terjemahnya, terj. Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci
Al-Qur’an Dept. Agama RI, 1985/1986)
DAFTAR PUSTAKA
BMHN
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., terj. Muhammad Al-Baqir (Bandung: Karisma, 1993)
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., terj. Muhammad Al-Baqir (Bandung: Karisma, 1993)
BPI
Aisha Chuang, Beginilah Pacaran Islami: Manajemen cinta musim panas (naskah, direncanakan segera terbit di tahun 2005)
Aisha Chuang, Beginilah Pacaran Islami: Manajemen cinta musim panas (naskah, direncanakan segera terbit di tahun 2005)
DCAHA
Iip Wijayanto, Dengan Cinta Aku Hidup Abadi (Yogyakarta: Gama Media, 2001)
Iip Wijayanto, Dengan Cinta Aku Hidup Abadi (Yogyakarta: Gama Media, 2001)
DI
Abu Zahrah, Dakwah Islamiah, terj. Ahmad Subandi dan Ahmad Sumpeno (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994)
Abu Zahrah, Dakwah Islamiah, terj. Ahmad Subandi dan Ahmad Sumpeno (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994)
FBSSB
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî
[1]
Ditambah ada waktu yang cukup untuk melakukan syarat-syarat shalat
ini adalah pendapat Ibnu Hajar. Tapi imam Ar-Ramli tidak mensyaratkan hal ini.
Busyra Al-Karim : 1/54
0 Comments